Masalah Aktual Perjuangan Islam dari Landasan Perjuangan, Isu Terorisme sampai Bom Bunuh Diri
Bagian Pertama
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Ta'ala, tempat
kita memohon pertolongan dan ampunan, tempat kita memohon perlindungan
dari kejelekan diri dan perbuatan kita. Barangsiapa yang Allah berikan
petunjuk, maka tidak akan ada yang menyesatkanya, dan barangsiapa yang
tersesat dari petunjuk-Nya, maka tidak akan ada yang memberinya
petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak Tuhan selain Allah yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya yang dipilih-Nya dari kalangan makhluk-Nya. Semoga
Allah Ta'ala tetap memberikan shalawat dan salam kepadanya, keluarganya,
dan para sahabatnya sampai hari kiamat.
Pada zaman sekarang tindakan makar
terhadap Islam semakin membesar dan banyak, maka dalam kondisi seperti
ini kita sangat membutuhkan analisa atau pengkajian ulang terhadap apa
yang dilakukan oleh para pendahulu kita yang saleh (Salafuna as-Sholeh
radhiallahu ‘anhum) dalam hal ketangguhan atau kedalaman iman mereka,
keluasan ilmunya, dan kebenaran atau kejujuran mereka terhadap apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah Ta'ala. Kita tidak boleh gegabah
dalam perjalanan hidup kita, kita harus hidup setiap hari atau setiap
bulan dengan fikroh dan acuan yang jelas agar kita tidak ditimpa bencana
yang dapat mencerai-beraikan kebersamaan, menghancurkan semangat dan
memecah belah umat. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya." (al-An'am: 153)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam telah diutus kepada kaumnya sementara mereka berada dalam
kemusyrikan. Mereka menyembah patung-patung berhala, maka Nabi pun
mengajak mereka untuk menyembah hanya kepada Allah yang Maha Esa.
Sebagian dari mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan ada pula yang
menentangnya. Mereka (yang menentang) adalah musuh-musuh Allah yang
dikalahkan setan, mereka tercengang dengan adanya dakwah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembah hanya kepada Allah semata
yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berhijrah ke Madinah, maka tersebar luaslah dakwah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah Ta'ala pun membukakan bagi
beliau dan para pengikutnya kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri yang
besar, sekalipun dibarengi oleh tipu daya dan kedengkian-kedengkian
orang-orang yang dengki dari kalangan yahudi dan para pengikutnya dari
orang-orang munafikin... Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat
dan telah meninggalkan umatnya dalam suasana terang benderang, malam
harinya bagaikan siang hari. Tidak ada yang berpaling darinya kecuali
orang-orang yang celaka.
Kondisi manusia masih tetap istiqamah
pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Mereka
tidak melakukan apa yang telah dilarang bagi mereka. Begitu pula keadaan
ini masih tetap berlangsung pada awal kekhalifahan Ustman radhiallahu
‘anhu sehingga muncullah kelompok yang keluar darinya dan mereka
berusaha untuk mencopotnya, Ustman berkata kepada mereka "Saya tidak
akan mencopot pakaian yang telah Allah Ta'ala pakaikan kepada saya."(
Sunnah Imam Khalal juz 1 hal 325,326 no 418 dan sunnah Ibnu Abi Ashim
juz II, hal 558-559. dan karya Ibnu Abi Syaibah juz (12/49), Imam
al-Bani berkata bahwa sanadnya sahih. ) Maka ketika mereka membunuhnya
terjadilah apa yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam haditsnya,
إِذَا وَقَعَ السَّيْفُ عَلىَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ فَلَنْ يُرْفَعْ عَنْهَا إِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Apabila pedang telah menimpa umat ini,
maka tidak akan bisa diangkat lagi darinya sampai hari kiamat."(
Potongan hadits ini dikeluarkan Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no.
3952 Tirmidzi no. 2202 dan Ahmad dalam musnadnya juz 4 hal 123 dan juz 5
hal 278, 284 dari hadits Tsauban RA, Imam at-Tirmidzi berkata ini
adalah hadits hasan shahih) maka terjadilah seperti terjadinya perang
Jamal dan Shifin.
Setelah peristiwa ini muncullah dua
kelompok besar yaitu Khawarij dan Syi'ah. Adapun Khawarij adalah
kelompok orang-orang yang menentang Imam Ali radhiallahu ‘anhu setelah
beliau menerima "Tahkim" (menjadikan seseorang sebagai hakim pada kitab
Allah), sehingga salah seorang dari mereka berkata kepada Ali
radhiallahu ‘anhu, "Demi Allah wahai Ali, apabila engkau tidak
meninggalkan "Tahkim" niscaya aku akan menerangi engkau demi mendapatkan
pahala dan keridaan dari Allah Ta'ala." ( buku milal wa-Nihal juz 1 hal
114, makalah islamiyah juz 1 hal 56 dan Tarikh Thabari juz 5 hal 72. )
Dan mereka telah bersepakat untuk mengkafirkan Ali radhiallahu ‘anhu.
Juga sepakat bahwa setiap dosa besar adalah kufur.
Hal ini berbeda dengan madzhab salaf.
Sesungguhnya mereka tidak mengkafirkan seseorang dikarenakan berbuat
dosa. Mereka menyerahkan permasalahan orang yang berbuat dosa itu kepada
Allah Ta'ala, apabila Allah Ta'ala menghendaki niscaya Dia akan
mengampuninya.
Sedangkan Syi'ah, mereka adalah
orang-orang yang mengklaim dirinya, bahwa mereka loyal terhadap "Ahlul
Bait" dan mencintainya. Mereka berlebihan dalam kecintaannya itu
sehingga mereka menjadikan "Ahlul Bait" sebagai tuhan dan mereka
mengkafirkan umat yang lain dikarenakan mereka (umat yang lain) telah
menjadikan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai Khalifah.
Dengan adanya penyelewengan dari dua
kelompok ini, mulailah terjadinya penyelewengan dalam masalah akidah
Islamiyah. (Al-Sunnah lil Khallal, ditahtiq oleh DR ‘ Athiyah az-
Zahroni hal 10,11.)
Penyelewengan tersebut terus berlangsung
sampai pada zaman kita sekarang bahkan, terus bertambah sejalan dengan
keter-belakangan zaman. Hal itu disebabkan jauhnya manusia dari kitab
Allah dan sunah Nabi-Nya, sehingga bermunculanlah kelompok, madzhab,
partai, dan jamaah yang banyak yang memiliki orientasi yang berbeda,
baik orientasi politik, agama, atau politik agama.
Pada zaman sekarang kebangkitan Islam
dan kesadaran kaum muda baik laki-laki atau perempuan telah menyeluruh
ke semua negeri Islam. Kebangkitan ini harus diketahui oleh para
pendidik dan aktivis dakwah agar menjadi kebangkitan Islam yang
benar-benar didasarkan kepada al-Qur'an dan as-Sunah. Karena jika
kebangkitan tersebut tidak didasarkan kepada al-Qur'an dan as-Sunah,
niscaya kebangkitan tersebut akan menjadi angin puyuh yang bertiup
kencang yang barangkali akan membawa kerusakan lebih banyak dari pada
yang dibangun. (Buku as-Shahwah al-Islamiyah Dhawabit wa-Taujihad karya
Syaikh Ibnu ‘Ustaimin, hal 14-16.)
Kebangkitan ini yang telah menyeluruh ke
negeri-negeri Islam baik di barat ataupun di timur. Tidak diragukan
lagi bahwasanya kebangkitan tersebut merupakan dampak dari kondisi yang
menyeleweng dan bengkok serta tersebarnya kemaksiatan di negeri-negeri
Islam.
Karena itu, para dai dan aktivis Islam
telah bersepakat untuk menyelamatkan kebangkitan yang berkah ini. Tetapi
sayang sikap dan orientasi mereka berbeda-beda, demikian pula pemikiran
mereka. Bahkan setiap kelompok menyembunyikan jalan yang benar bagi
dirinya sendiri. Sehingga sebagian dari mereka ada yang menempuh jalan
untuk memberikan nasehat saja, ada juga yang cenderung untuk melakukan
perjalanan di muka bumi. Di antara mereka ada yang menempuh jalan
politik dan bergabung dengan para ahlinya, sebagian dari mereka ada juga
yang melakukan kontak fisik (menempuh jalan revolusi atau kekerasan),
dan ada juga yang menempuh jalan kepartaian yang penuh dengan rahasia.
Sebagian dari mereka ada yang melakukan jalan-jalan kebaikan (membuat
lembaga sosial), ada juga yang melakukan jalan shufiyah (ahli sufi), ada
juga yang formal yang hanya berputar pada tempat para pemimpinnya
dengan hanya mendengar dan menaati, ada juga para akademik atau sarjana
yang profesinya hanya ilmu semata yang kering dari ruh keagamaan, ada
juga yang tidak jelas (tidak termasuk kemana-mana) atau mudzabdzabun,
dan ada juga yang memberikan bantuan sembako (makanan dan minuman), ada
juga kelompok rasionalis modern, dan ada juga yang selalu memberikan
semangat yang berkobar, dan masih banyak lagi lainnya baik yang sudah
ada ataupun yang akan ada.( Al-Tashfiyah wa-Tarbiyah wa- Atsaruhuma fi
Istinafi al-Hayat al-Islamiyah, hal 8-9.)
Tapi siapakah yang sudah menempuh jalan keselamatan dan jalan yang hak dari jalan-jalan ini ?
Sesungguhnya hanya satu jalan, yaitu
dengan mengangkat bendera tauhid, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabatnya dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik dari kalangan ahli ilmu dan agama, juga
para penguasa yang saleh yang senantiasa melakukan perbaikan.
Sesungguhnya jalan itu adalah jalan yang
lurus, al-Qur'an dan as-Sunnah, jalan yang jelas serta lurus tak ada
kebengkokan di dalamnya. Allah Ta'ala berfirman, "Dan sesungguhnya (yang
kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang mencerai-berikan kamu dari
jalan-Nya." (al-Anam: 153).
Para kawula muda hendaknya dididik untuk
selalu konsisten dengan dua hal yang pokok ini yaitu al-Qur'an dan
as-Sunah dengan pemahaman salafus salih (ulama-ulama dahulu yang saleh
radhiallahu ‘anhum), dan bahwasanya yang wajib pertama kali ditanamkan
kepada kawula muda adalah akidah, karena akidah merupakan pokok dan
rukun Islam yang pertama. Akidah adalah seruan pertama yang diserukan
oleh para Rasul, yang mana mereka menyeru untuk memperbaiki akidah agar
di atasnya bisa dibangun berbagai amal baik berupa ibadah atau tingkah
laku yang lainnya. Tanpa perbaikan akidah, maka semua amal yang
dilakukan tidak akan berfaidah.
Agama itu adalah nasihat. Orang mukmin
merupakan cermin bagi saudaranya dan ia mencintai saudaranya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri. Dan kita tahu bahwa untuk setiap
pembicaraan ada tempatnya secara khusus, dan kita tidak diperbolehkan
untuk menghina sesuatu dari kebaikan, serta hendaknya kita mengetahui
keutamaan bagi pemiliknya. Risalah (tulisan) ini muncul sebagai
konstribusi dalam menyelesaikan sebagian Syubhat (keragu-raguan) dan
fitnah yang mengguncangkan situasi, juga sebagai penjelas dan sebagai
penerang bagi jalan. Dengan tulisan ini saya hanya mengharap pahala dari
Allah Ta'ala. Risalah ini merupakan kumpulan dari pembicaraan ahli
ilmu. Kami mempersembahkannya ke hadapan siapa saja yang menghendaki
kebenaran kemudian mengikutinya, dan tidak ada tempat bagi saya untuk
memohon pertolongan kecuali kepada Allah Yang Maha Agung.
Saya memohon kepada Allah agar
menjadikan pekerjaaan ini benar-benar ikhlas karena Dzatnya Yang Maha
Mulia, dan mudah-mudahan Allah menuliskannya pada timbangan kebaikanku.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa.
Dan akhir doa kita bahwasannya segala puji bagi Allah yang menguasai
alam semesta. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salamnya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para keluarganya, dan para
sahabatnya.
AL-GHULUW SUMBER SETIAP MUSIBAH
Sikap al-ghuluw (berlerbihan) dianggap
sebagai bagian dari tindakan pemikiran yang sangat berbahaya yang
dihadapi Islam dari semenjak kemunculannya sampai sekarang. Karena
tindak pemikiran tersebut merupakan arus atau gelombang tersembunyi yang
berorientasi untuk menghancurkan agama Islam, merobohkan
rukun-rukunnya, dan menghabiskan setiap yang berdiri di atas agama ini
baik berupa kekhalifahan, kekuasaaan, peradaban, dan kemakmuran. (Kitab
"Harokatu Ghuluw wa Ushuluha al-Farisiyah karya Imam Nadhlah al-Juburi,
hal 5)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya dari sikap berlebihan (al-ghuluw), beliau bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوْ
"Jauhilah oleh kalian sikap berlebihan
(al-ghuluw) karena sesungguhnya hal yang telah menghancurkan umat
sebelum kamu adalah sikap berlebihan."( Dikeluarkan Imam an-Nasai hadist
no. 3059 dan Ibnu Majah no. 3029, dan Imam Ahmad dalam musnadnya jilid 1
hal 215, 347. Ahmad Syakir dalam tahqiq (penelitian) musnad no. 1581,
ia berkata bahwa sanadnya adalah shahih.)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ, هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ, هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ
"Hancurlah al-Mutanathiun, hancurlah
al-Mutanathiun, hancurlah al-Mutanathiun." (HR Muslim no. 2670) Beliau
mengatakannya tiga kali, dan yang dimaksud dengan "al-Mutanaththi'un"
dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang keras dan berlebihan dalam
menjalankan agamanya. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah: ‘Wahai ahli
kitab janganlah kamu sekalian berlebihan dalam agamamu dengan cara yang
tidak benar.'" (al-Maidah: 77)
Yang mesti dilakukan adalah tetap
istiqamah tanpa mela-kukan tindakan berlebihan atau
mengampang-gampangkan, Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam, "Dan tetaplah kamu pada jalan yang benar
sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan orang-orang yang telah taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas." (Hud: 112). Maksudnya
adalah jangan menambah dan jangan bersikap keras.
Yang diminta dari seorang Muslim adalah
sikap istiqomah yaitu sikap seimbang atau berada di tengah-tengah di
antara sikap menggampang-gampangkan dan sikap keras. Ini adalah jalannya
para Nabi yaitu beristiqomah di atas agama Allah Ta'ala tanpa dibarengi
dengan sikap keras dan berlebihan serta tidak menggampang-gampangkan
dan tidak terputus-putus. (Syaikh Shalih al-Fauzan dalam buku "Fiqih
Waaqi as-Siasi wa al-Fikri, karya DR ‘Abdullah ar-Rifai hal, 48)
DEFINISI AL-GHULUW
Al-ghuluw secara bahasa adalah
menambahkan, meninggikan, dan melampaui batas serta kadar ukuran yang
biasa pada segala sesuatu, atau berlebihan padanya, seperti kalimat
"ghola fiddin wal amru yaghlu" kalimat ini artinya adalah melampaui
batas. ( Lisanul Arab juz 15 hal 131-132.) Adapun al-ghuluw secara
istilah adalah model atau tipe dari keberagamaan yang mengakibatkan
seseorang keluar dari agama tersebut. (Lisanul ‘Arab juz 15 hal 131,
132.)
Al-Qur'an, hadits, dan bahasa menunjukan
bahwa al-ghuluw artinya melampaui batas dan kadar (ukuran). Sehingga
setiap orang yang mengatakan kenabian untuk orang yang bukan Nabi, atau
menuhankan manusia, atau mengakui kepemimpinan seseorang yang bukan
pemimpin, maka ia layak untuk dikatakan bahwa ia telah melakukan
al-ghuluw. (az-Zinah Fi al-Kalimat al-Islamiyah al-‘Arabiyah, hal 305
dan 354.)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
"Al-ghuluw adalah berlebihan dalam sesuatu dan bersikap keras padanya
dengan tindakan melampaui batasan sesuatu tersebut, dan pada al-ghuluw
juga terkandung makna memperdalam. (Fathul Bari juz 13 hal 291)
Maka makna al-ghuluw secara istilah
adalah berlebihan dalam melampai batas ukuran yang ditetapkan atau
diakui oleh syari'at dalam masalah-masalah agama. (Al-Ghuluw karangan
‘Ali asy-Syibl, hal 22.)
AT-TATHARRUF DAN AL-USHULIYAH
Dari kalimat-kalimat yang sering kita
dengar dari berita atau kita baca dari bacaan-bacaan adalah kalimat
"at-Tatharruf dan al-Ushuliyah". Maka apakah makna dari dua kalimat
tersebut ?
Syekh Ibnu Baz pernah ditanya, (Majmu
Fatawa Syekh bin Baz, juz 8 hal 233.) Pada beberapa media informasi yang
berbeda, para kaum muda yang tengah memperjuangkan kebangkitan telah
dituduh dengan sebutan "Tatharruf dan Ushuliyah" yang telah tersebar,
bagaimana pendapat anda tentang hal ini?"
Beliau menjawab, "Sebenarnya semua ini
adalah kesalahan yang datang dari barat dan timur, dari kaum nasrani,
komunis, yahudi, dan yang lainnya dari orang-orang yang membenci dakwah
kepada Allah Ta'ala dan para penolongnya. Mereka hendak menzalimi dakwah
dengan sebutan "Tatharruf dan Ushuliyah" atau sebutan - sebutan yang
lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa dakwah kepada
Allah adalah agamanya para Rasul. Dakwah adalah madzhab dan jalan
mereka, dan wajib bagi orang yang berilmu untuk berdakwah (mengajak)
kepada Allah, serta bersemangat dalam menjalankan dakwah tersebut. Para
pemuda hendaknya tetap bertakwa kepada Allah dan istiqomah kepada
kebenaran, serta tidak berlebihan juga tidak bersikap keras.
Pada sebagian kaum muda telah terdapat
kebodohan, mereka berlebihan terhadap sebagian masalah atau mereka
kekurangan ilmu sehingga bersikap kasar. Hendaknya semua kaum muda dan
yang lainnya dari kalangan ahli ilmu tetap bertakwa kepada Allah Ta'ala,
dan memperjuangkan yang hak dengan dalil firman Allah dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjauhi bid'ah dan sikap
berlebihan atau lalai. Tidak ada seorang pun dari mereka yang ma'shum,
terkadang muncul dari sebagian manusia suatu kelalaian dengan melakukan
penambahan atau pengurangan. Tetapi ini bukan merupakan aib bagi semua,
melainkan aib ini hanya untuk orang yang melakukannya. Tetapi
musuh-musuh Allah Ta'ala dari kalangan nasrani dan yang lainnya, juga
orang-orang yang mengikutinya mereka menjadikan hal ini sebagai sarana
untuk menghantam dakwah dan menghancurkannya dengan menuduh para
aktivisnya bahwa mereka adalah orang-orang "mutathorrifun" atau
orang-orang yang "ushuliyun".
Apakah Yang Dimaksud Dengan Ushuliyun?
Apabila para aktivis dakwah disebut
Ushuliyun dalam arti bahwasanya mereka berpegang teguh kepada ushul atau
pokok dan berpegang teguh kepada apa yang difirmankan Allah Ta'ala dan
disabdakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam maka ini merupakan
pujian bukan celaan. Berpegang teguh kepada pokok atau dasar dari
al-Qur'an dan as-Sunnah adalah tindakan yang terpuji dan tidak tercela.
Adapun celaan diberikan untuk sikap ekstrim (Tatharruf) atau sikap
keras. Sikap ekstrim, baik dengan melakukan tindakan berlebihan,
kekerasan, atau meremehkan, maka itulah yang tercela.
Sedangkan orang yang berpegang teguh
kepada dasar-dasar yang diakui dari al-Qur'an dan as-Sunnah bukanlah
aib, melainkan kesempurnaan dan sikap terpuji. Ini merupakan kewajiban
para pencari ilmu dan aktivis dakwah yaitu konsisten dengan dasar atau
pokok dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, juga apa-apa yang sudah
diketahui dari dasar-dasar fiqih, dasar-dasar akidah dan dasar-dasar
kemaslahatan dalam hal dalil dan hujjah yang bisa digunakan untuk
berdalih atau berhujjah. Semua ini harus ada dasarnya yang bisa
dijadikan sandaran oleh para aktivis dakwah.
Tuduhan yang dilontarkan kepada para
aktivis dakwah bahwasanya mereka adalah ushuliyun, ini merupakan
perkataan yang bermakna global yang tidak memiliki hakikat kecuali
celaan, aib, dan julukan yang jelek. Padahal ushuliyun bukanlah celaan
melainkan pada hakekatnya adalah pujian.
Apabila pencari ilmu berpegang teguh
kepada dasar atau pokok dari al-Qur'an, as-Sunnah, dan apa-apa yang
telah ditetapkan oleh para ahli ilmu, kemudian ia memperhatikan dan
menjaganya, maka ini bukanlah aib. Adapun tindakan melampaui batas
(tatharruf) dalam bid'ah, menambah-nambah, dan melebih-lebihkan, maka
ini adalah aib. Atau melampaui batas dengan kebodohan atau pengurangan,
maka ini adalah aib. Karena itu, bagi para da'i hendaklah mereka tetap
konsisten terhadap dasar-dasar atau pokok syari'at dan berpegang teguh
dengan sikap yang netral atau pertengahan sebagaimana Allah telah
menjadikan mereka sebagai umat pertengahan. Para da'i harus mampu
beradaptasi pada posisi pertengahan di antara sikap berlebihan dan sikap
keras, di antara tindakan melebih-lebihkan dan mengurangi (dalam
masalah agama). Hendaklah mereka pun tetap istiqamah di atas kebenaran
dan tetap berada di atasnya dengan dalil-dalilnya yang syar'i, tidak
melebih-lebihkan, dan tidak mengurangi melainkan berada pada posisi atau
sikap yang pertengahan sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala.
Syaikh bin Baz ditanya
(Kumpulan-kumpulan fatwa-fatwa Syaikh bin Baz juz 8 hal 235.),
"Seringkali terulang kata-kata bahwa si fulan mutatharrif (ekstrim),
yang ini mu'tadil (Moderat), yang ini mutazammit (kolot, tidak toleran,
ekskusif, ortodok), dan yang lainnya dari berbagai sebutan atau julukan.
Wahai Syaikh, apakah julukan-julukan tersebut dibolehkan? Bagaimana
kita mengobati problematika tatharruf dalam kenyataan hidup kita
sekarang ?"
Maka beliau menjawab, "Terkadang
kalimat-kalimat ini diucapkan oleh orang-orang yang tidak tahu maknanya,
atau ia mengetahui maknanya dan menuduh dengan kalimat atau julukan
tersebut terhadap orang-orang yang sebenarnya terbebas dari kalimat atau
julukan itu."
Telah disebutkan bahwasannya tatharruf
adalah tidak adanya keseimbangan atau sikap pertengahan disebabkan oleh
tindakan melebih-lebihkan atau mengurangi. Kebanyakan dari mereka
menuduhkan kalimat tatharruf terhadap orang yang menurut anggapan mereka
berlebihan atau melebih-lebihkan. Adapun mutazamit adalah orang yang
tidak memiliki sikap lapang dada untuk perkataan yang benar dan menerima
kebenaran serta tidak memiliki kelapangan untuk berjalan bersama
orang-orang yang berpegang teguh kepada kebenaran.
Ini adalah julukan-julukan yang akan
membuat mereka berpaling dari seruan (dakwah) kepada Allah Ta'ala. Maka
hal yang wajib adalah memberi nasihat. Apabila terlihat dari seseorang
suatu kelalaian dengan melakukan pengurangan dari yang seharusnya maka
harus dinasihati, atau ia melihat seseorang melakukan tambahan atau
melebih-lebihkan maka harus dinasihati pula. Ini bukanlah sifat yang
terjadi pada setiap orang, melainkan hanya dari sebagian manusia. Dan
ini bukanlah merupakan sifat bagi para du'at (aktivis da'wah) secara
umum, tetapi terkadang muncul dari sebagian mereka sesuatu baik berupa
kekurangan atau sikap keras atau sesuatu tindakan melebih-lebihkan dan
menambah-nambahkan, maka mereka harus dinasihati dan diarahkan kepada
yang terbaik serta diajari. Sehingga mereka mampu beristiqomah atau
berada pada jalan yang lurus.
"Jadi bagaimana wahai syaikh, kita mengobati problematika tatharruf ?"
Dengan pembelajaran dan pengarahan dari
para ulama. Apa-bila mereka mengetahui tentang seseorang bahwasanya ia
menambah-nambahkan dan melakukan bid'ah, maka para ulama harus
menjelaskan kepada orang tersebut. Misalnya, orang yang mengkafirkan
pelaku kemaksiatan, ini adalah agamanya kaum Khawarij, yaitu orang-orang
yang mengkafirkan seseorang dengan sebab berbuat maksiat. Tetapi
seharusnya diajari bahwasanya ia harus bersikap pertengahan. Karena
orang yang maksiat ada hukumnya, orang musyrik ada hukumnya, dan orang
yang melakukan bid'ah ada juga hukumnya, maka ia harus diajari dan
diarahkan kepada yang terbaik sehingga ia mendapatkan petunjuk dan
mengetahui hukum-hukum Syar'i sehingga mampu menempatkan seseorang pada
tempatnya yang layak, mengetahui kedudukan orang kafir, serta tidak
menempatkan orang kafir pada tempat atau posisi orang yang bermaksiat,
karena orang-orang yang bermaksiat dosanya di bawah dosa syirik, seperti
pelaku zina, pencuri, orang yang suka ghibah (membicarakan kejelekan
orang lain), orang yang mengadu domba, memakan harta riba. Bagi mereka
semua ada hukumnya tersendiri, dan mereka dibawah kehendak Allah Ta'ala
jika mereka mati dalam keadaan tersebut. Orang musyrik yang menyembah
orang yang berada didalam kuburan serta meminta pertolongan kepada yang
sudah mati selain Allah Ta'ala hukumnya adalah kufur terhadap Allah
Ta'ala. Orang-orang yang menghina agama dan memperolok-olok agama
hukumnya adalah kufur terhadap Allah Ta'ala. Manusia itu
bertingkat-tingkat dan bermacam-macam sehinga mereka tidak berada pada
satu batasan yang sama. Mereka harus diposisikan pada tempatnya dengan
menggunakan dalil syari'at dan ini merupakan tugasnya para ulama.
Karena itu, para ulama hendaknya
mengarahkan manusia dan membimbing para generasi muda yang terkadang
ditakutkan muncul dari mereka sikap tatharruf, sikap keras, atau sikap
lalai. Maka para ulamalah yang mengajari dan mengarahkan mereka, karena
keilmuan para generasi muda masih sedikit sehingga mereka masih harus
diarahkan kepada yang benar.
Syaikh ‘Abdullah bin Jabrin berkata,
"At-Tatharruf adalah berlebihan atau meremehkan, sedangkan at-Tamassuk
(berpegang teguh) adalah sikap yang pertengahan." Maka barangsiapa
mengkafirkan seseorang karena berbuat dosa, dan mengeluarkan orang yang
maksiat dari Islam, kemudian menghalalkan darahnya tanpa diberi
kesempatan untuk bertaubat, serta membolehkan untuk keluar dari penguasa
dikarenakan melakukan pelanggaran atau kesalahan yang sedikit, maka
orang tersebut Mutatharrif (melampaui batas atau berlebihan).
Barangsiapa membolehkan kemaksiatan,
menghalalkan yang diharamkan, memaafkan pelaku kemaksiatan, memberikan
keluasan tempat kepada mereka, serta mendukung mereka dalam perbuatan
zina, riba, mencuri, membunuh, mabuk, dan yang sebangsanya, maka ia
termasuk mutatharrif (orang yang berlebihan). Sedangkan al-mutamassik
adalah orang-orang yang tidak mengkafirkan seseorang karena perbuatan
dosanya, dan tidak membolehkan kemaksiatan serta mengingkarinya walaupun
hanya dengan hati. (Majmu Fatawa dan risalah Syekh Ibnu Jibrin bab,
al-Aqidah juz ke-8)
Dari perkataan Syaikh ini jelaslah
bahwasanya al-ghuluw lebih khusus dari at-tatharruf, karena at-tathorruf
adalah melampaui batas dan jauh dari sikap pertengahan dan keseimbangan
dengan melakukan penambahan atau pengurangan, serta cenderung kepada
dua sisi permasalahan yang mencakup al-ghuluw, tetapi al-ghuluw lebih
khusus, dikarenakan al-ghuluw adalah melampaui batas kewajaran dalam hal
penambahan dan pengurangan, dalam tindakan dikatakan al-ghuluw begitu
juga dalam penambahan.( Kitab al-Ghuluw, karya ‘Ali asy-Syaibl hal.
22-23)
PERINGATAN AL-QUR'AN DAN AS-SUNAH TERHADAP AL-GHULUW
Sesungguhnya manusia secara tabi'atnya
memiliki kekuatan atau kemampuan yang terbatas, maka janganlah ia
melampauinya. Karena jika ia melampaui batas kemampuannya niscaya ia
akan celaka. Allah Ta'ala telah mencegah atau melarang dari sikap
berlebihan (al-ghuluw) dalam banyak ayat, sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperingatkannya dalam banyak hadits.
Di antaranya adalah firman Allah, "Wahai ahli kitab janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan kepada
Allah kecuali yang benar." (an-Nisa': 171).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata
(Tafsir Qur'an Ibnu Katsir juz 1 hal 589.), "Allah Ta'ala melarang Ahlul
Kitab dari sikap berlebihan dan mengada-ada. Ini banyak dilakukan dalam
agama Nashrani, karena sesungguhnya mereka melampaui batas terhadap Isa
‘alihis salam sehingga mereka mengangkatnya di atas kedudukan atau
tempat yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala. Mereka pun mengalihkan
dari kedudukanya sebagai Nabi kemudian menjadikannya sebagai Tuhan
selain Allah Ta'ala. Mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allah
Ta'ala. Bahkan mereka telah berlebihan atau melampaui batas kepada para
pengikut dan pendukungnya dari orang-orang yang mengaku bahwa ia
mengikuti agamanya. Mereka pun mengklaim bahwa dirinya ma'shum
(terpelihara) sehingga para pengikut dan pendukung mengikuti segala
sesuatu yang mereka katakan, baik perkataan yang haq ataupun bathil,
yang sesat ataupun merupakan petunjuk, benar ataupun salah.
Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah hai
ahli kitab janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara
tidak benar dalam agamamu, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhamad) dan
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus." (al-Maidah: 77)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata
(Tafsir ibnu Katsir juz 2 hal 82.) "Maksudnya adalah janganlah kamu
melampaui batas dalam mengikuti yang haq. Janganlah kamu berlebihan
dalam mengagungkan seseorang yang kamu diperintahkan untuk
mengagungkannya sehingga kamu mengeluarkannya dari posisi kenabian
kepada tempat atau posisi ketuhanan, sebagaimana kamu lakukan terhadap
al-Masih padahal beliau hanya seorang nabi. Namun kamu menjadikannya
sebagai Tuhan selain Allah Ta'ala. Tindakan seperti ini tiada lain
karena kamu telah mengikuti syaikh-syaikh (ulama) kamu yang sesat, yang
mana mereka itu adalah para pendahulu kamu dari kalangan orang-orang
yang dahulunya sesat. "Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan
banyak manusia dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (al-Maidah:
77) maksudnya mereka keluar dari jalan yang istiqomah dan lurus ke jalan
yang bengkok dan sesat.
Peringatan Terhadap Al-Ghuluw Dari As-Sunnah
Sebagaimana al-Qur'an telah
memperingatkan terhadap al-ghuluw (berlebih-lebihan), maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah memperingatkan umatnya dari hal
tersebut agar kaum Muslimin tidak terjerumus sebagaimana kaum yang lain
dari kaum-kaum yang telah diutus kepada mereka para Rasul. Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abas radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّكُمْ وَ الْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ, فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ باِلْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ
"Janganlah kamu sekalian melakukan
tindakan berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya yang telah
menghancurkan umat sebelum kamua adalah sikap berlebih-lebihan dalam
beragama." (Dikeluarkan oleh Imam an-Nasai dalam haditsnya no. 3059,
Ibnu Majah no. 3029 dan Imam Ahmad dalam musnadnya ha 215,347, Imam
Ahmad Syakir berkata dalam tahkik musna: sanadnya adalah shahih.) Dalam
hadits ini Nabi shallallahu ‘alihi wasallam menjelaskan tentang akhir
atau akibat dari orang yang melakukan tindakan berlebihan, bahwasanya
akhir dari mereka adalah kehancuran, sebagaimana telah hancurnya
umat-umat yang telah lalu dengan sebab berlebih-lebihan. Kita senantiasa
memohon kepada Allah Ta'ala kesehatan yang sempurna.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Hancurlah
al-mutanaththu'un", beliau mengatakannya tiga kali. (Dikeluarkan oleh
Imam muslim no. 2670.) Imam Nawawi rahimahullah berkata (Dalam kitab
syarh shahih Muslim oleh Imam Nawawi juz 16 hal 461 no. 2670),
"Hancurlah al-mutanathiun, maksudnya adalah orang yang memperdalam,
berlebihan, serta melampaui batas dalam perkataan dan perbuatannya."
Syekh Ibnu Jibrin berkata (Majmu Fatawa
dan risalah Syaikh Ibnu Jibrin, al-‘Akidah juz 8 (manuskrip)),
"At-Tanathu' adalah sikap mempersulit diri dalam berbicara, bersuci atau
yang lainnya dari jenis peribadatan. Maka barangsiapa yang bersikap
keras terhadap dirinya dalam hal bersuci dengan mengulang-ngulang
gosokan maka ia termasuk "mutanathi'." Dan barangsiapa yang bersikap
keras terhadap dirinya dalam masalah niat, takbir, bacaan, rukun shalat,
atau yang lainnya dari jenis peribadatan, maka ia termasuk
"mutanathi'."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادُّ هَذَا الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
, فَسَدِّدُوْا وَ قَارِبُوْا وَ أَبْشِرُوْا وَاسْتَعِيْنُوْا
بِالْغَدْوَةِ وَ الرَّوْحَةِ وَ شَئٍ ٍمِنَ الدَّلْجَةِ. و في لفظ : و
القصد القصد تبلغوا
"Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak
ada seorang pun yang mempersulit agama (dengan sikap berlebih-lebihan)
niscaya ia akan dikalahkan. Maka tetaplah dalam kebenaran dan bersikap
sederhanalah (tidak berlebihan), dan berilah kabar gembira, serta
memohonlah pertolongan pada waktu pagi dan petang juga pada sebahagian
malam." Dalam hadis lain menggunakan lafadz "Wal-qashda al-qashda
tablugu" artinya bersikap sederhanalah (sedikit-sedikit) niscaya kamu
akan sampai (HR Bukhari) (Di keluarkan oleh Imam Bukhari no.39)
Imam Ibnu Hajar berkata (Foot note,
Fathul Bari juz 1 hal 117), "Dan maknanya adalah tidaklah seseorang itu
memperdalam amalan-amalan agama dan meninggalkan kelembutan, kecuali ia
akan lemah atau tidak kuasa dan terputus, maka ia akan dikalahkan.
Kemudian ia berkata, "Sungguh kita telah melihat dan orang-orang sebelum
kita juga telah melihat bahwasanya setiap "mutanathi'" (orang yang
berlebihan) niscaya ia akan hancur."
Sikap keras terhadap diri merupakan
bagian dari jenis-jenis al-ghuluw. Akhir dari orang yang memiliki sikap
keras tersebut adalah kehancuran, karena orang yang berlebihan dalam
agama niscaya ia akan dikalahkan dan itu tidak diragukan lagi.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu ia berkata, "Telah datang tiga orang laki-laki ke
rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan
tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan seakan-akan mereka
menganggap ibadah Nabi amat sedikit. Mereka pun berkata, "Di manakah
derajat kita (ibadah kita) bila dibandingkan dengan Nabi? Beliau telah
diampuni Allah Ta'ala dari dosanya yang telah lewat dan yang akan
datang." Salah satu dari mereka berkata, "Adapun saya, saya akan shalat
malam terus-menerus." Yang lainnya berkata, "Saya akan berpuasa setahun
dan tidak berbuka." Dan yang terakhir berkata, "Saya akan menjauhi
perempuan dan tidak menikah untuk selamanya." Maka datanglah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata,
آنْتُمُ
الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَ كَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ
ِللهِ وَ أَتْقَكُمْ لَهُ, لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَ أُفْطِر وَ أُصَلِّيْ وَ
أَرْقُد, وَ أَتَزَوَّجُ النِّسَآءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ
فَلَيْسَ مِنِّيْ
"Apakah kalian yang telah berkata begini
dan begitu ? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling
takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepada-Nya, tetapi aku
berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi perempuan.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunahku ia tidak termasuk dari
golongan umatku." (Hadits Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401.)
Imam Ibnu Hajar rahimahullah (Fathul
Bari juz 9 hal, 7 dan 8.) dalam mengomentari perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam (sesungguhnya aku orang yang paling takut kepada Allah
dan yang paling bertakwa kepadanya), ia berkata, "Di dalam perkataan
Nabi tersebut terkandung isyarat penolakan terhadap apa yang mereka
yakini bahwa yang telah diampuni tidak membutuhkan lagi kepada tambahan
dalam beribadah dan berbeda dengan yang lainya. Nabi pun mengajarkan
atau memberitahukan kepada mereka bahwasanya walaupun beliau bersikap
keras dalam beribadah, tetapi beliau merupakan orang yang paling takut
kepada Allah dan paling bertakwa dari orang-orang yang bersikap keras.
Beliau melakukan hal itu tiada lain karena orang yang bersikap keras ia
tidak akan pernah aman atau selamat dari perasaan bosan. Berbeda dengan
orang yang sederhana, sesungguhnya ia sangat mungkin untuk
melanjutkannya (istiqamah). Dan sebaik-baik amal adalah yang
terus-menerus dilakukan oleh orang yang melakukannya.
Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, "Barangsiapa yang tidak suka dengan sunahku, maka ia bukan
dari umatku." Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Yang dimaksud
dengan "sunnah" adalah jalan dan bukan kebalikan dari "fardhu" dan
"Rogbah ‘an Syaiin (tidak suka dengan)" artinya adalah berpaling dari
sesuatu kepada sesutau yang lain. Maksud dari sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tersebut adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan
jalanku dan mengambil jalan selain jalanku, maka ia bukan dari umatku.
Rasulullah telah mengisyaratkan dengan hal itu seperti jalannya
kependetaan. Sesungguhnya merekalah yang telah mengada-adakan sikap
keras sebagaimana yang telah disifati Allah. Allah Ta'ala telah mencela
mereka bahwa sesungguhnya mereka tidak memenuhi atau tidak melaksanakan
apa yang telah menjadi komitmen bagi mereka, sedangkan jalannya Nabi
adalah lurus dan toleran. Beliau berbuka supaya kuat berpuasa, tidur
supaya kuat bangun malam, dan menikahi perempuan supaya syahwat dapat
tersalurkan, untuk menjaga diri, serta memperbanyak keturunan.
Sesungguhnya mereka yang bertanya tentang ibadahnya Nabi dalam keadaan
menyendiri, mengira bahwasanya sikap keras terhadap diri mereka,
tindakan berlebihan, dan tindakan mempersulit diri (dalam melak-sanakan
syari'at) adalah jalan yang benar, dengan alasan bahwa mereka tidak
mengetahui apakah mereka termasuk dari golongan yang diampuni ataukah
tidak?
Jika setiap orang berpikir dan melakukan
seperti apa yang mereka lakukan, niscaya hikmah dari penciptaan manusia
yaitu agar beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi tidak akan
terwujud. Sesungguhnya nikah akan menanggulangi syahwat, dan dengan
nikah juga akan memperbanyak keturunan. Ini adalah tuntutan syariat.
Adapun berpuasa yang terus menerus dan tidak tidur, sesungguhnya
keduanya akan mengakibatkan lemahnya badan, karena manusia mesti makan,
minum dan tidur sehingga badannya menjadi kuat. Kemudian, dengan
kekuatan badannya tersebut ia akan mampu melakukan ketaatan kepada Allah
Ta'ala dan akan mampu memakmurkan bumi.
Maka seorang muslim hendaklah ia
berhati-hati dari sikap berlebihan, membebani diri di luar kemampuan,
mempersulit diri, serta mempersulit agama. Ia harus senantiasa bersikap
sederhana dalam semua urusan, karena sebaik-baik urusan adalah yang
pertengahan. Ia harus kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, karena
sesungguhnya kesederhanaan itu merupakan pekerjaan yang sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan dalam kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Kesederhanaan juga merupakan pekerjaan yang telah
ditetapkan dari para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena mereka lebih
dekat kepada pemahaman risalah, sebagaimana pemahaman orang-orang yang
langsung mendapatkan atau menerima syari'at dari mulut ahlinya. Mereka
(para sahabat) merupakan orang yang memiliki pemahaman, kejujuran,
keikhlasan. Di atas jalan para sahabat terdahulu berjalan generasi
salafus shalih yang membawa amanah dengan penuh kejujuran, pengetahuan
dan semangat.
MACAM-MACAM AL-GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN)
Berlebih-lebihan bisa terjadi pada dua hal:
* Berlebih-lebihan terhadap sosok/figur manusia
* Berlebih-lebihan terhadap prinsip
Pertama: Berlebih-Lebihan Terhadap Manusia
Berlebih-lebihan terhadap manusia
maksudnya adalah melampaui batas dalam mensucikan atau menganggap suci
seseorang dari hamba Allah Ta'ala, sebagaimana yang terjadi pada
sebagian orang yang menganggap tuhan terhadap Amirul Mukminin ‘Ali Bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan sebagaimana kaum Nashrani yang
menjadikan al-Masih bin Maryam sebagai tuhan selain Allah.
Dari sebagian fenomena berlebih-lebihan
pada manusia yang sebagian manusia telah terjerumus ke dalamnya adalah
seperti thariqat shufiyah dan lainya. Mereka berlebih-lebihan dalam
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengangkat beliau di
atas kedudukannya (sebagai nabi), dan mereka berkeyakinan bahwasanya
Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dapat mengabulkan orang yang berdoa
kepadanya, mereka pun memalingkan ibadah kepadanya dari selain Allah.
Sebagian dari mereka yaitu al-Bushairi berkata tentang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bait syairya:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ وُقُوْعِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَ ضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَ الْقَلَمِ
وَإِنْ لَمْ تَكُنْ يَوْمَ حَشْرِيْ آخِذًا بِيَدِيَّ فَضْلاً وَ إِلاَّ فَقُلْ يَا زُلَّةَ القَدَمِ
Wahai makhluk yang paling mulia
Tidak ada tempat berlindung bagi aku disaat hari kiamat tiba kecuali engkau
Sesungguhnya di antara karuniamu adalah dunia dan kekayaannya
Dan di antara ilmumu adalah ilmu "Lauhil Mahfudz"
Dan apabila pada hari pengumpulan nanti
Engkau tidak menjabat tanganku (untuk menolong)
Maka katakanlah: Alangkah celakanya aku
Tidak ada tempat berlindung bagi aku disaat hari kiamat tiba kecuali engkau
Sesungguhnya di antara karuniamu adalah dunia dan kekayaannya
Dan di antara ilmumu adalah ilmu "Lauhil Mahfudz"
Dan apabila pada hari pengumpulan nanti
Engkau tidak menjabat tanganku (untuk menolong)
Maka katakanlah: Alangkah celakanya aku
Hingga pujian lainnya yang
berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Kita memohon kepada Allah keteguhan dalam kebenaran.
Adapun Ahlu Sunnah wal Jamaah mereka
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkeyakinan bahwasanya
beliau adalah sebaik-baik manusia, dan bahwasanya beliau adalah pemimpin
para Rasul, dan penutup para Nabi. Ahlus Sunnah wal Jamaah menilai
bahwa Mukmin yang paling sempurna imannya adalah Mukmin yang paling
sempurna kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Meskipun demikian mereka tetap berkeyakinan bahwasanya beliau
adalah manusia biasa, beliau tidak bisa memberikan manfaat atau
mudharat bagi dirinya (terlebih bagi orang lain) kecuali dengan apa yang
telah ditakdirkan Allah kepada beliau, mereka berkeyakinan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal dunia, dan bahwa agamanya
tetap kekal sampai hari Kiamat. (Aqidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, karya
Muhammad al-Hamdi hal 58 - 60)
Dan masih banyak sekali contoh-contoh
dalam masalah al-ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, terhadap Ahlul Bait, dan terhadap
orang-orang shalih dan yang lainnya. Kita senantiasa memohon kepada
Allah Ta'ala kesehatan yang sempurna.
Kedua: Berlebih-Lebihan Terhadap Prinsip
Berlebih-lebihan terhadap prinsip
merupakan bagian dari al-ghuluw. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Contoh berlebih-lebihan dalam agama adalah memposisikan manusia pada
posisi Tuhan, atau membolehkan keluar dari syari'at Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, atau berbuat ilhad dalam nama-nama Allah Ta'ala dan
ayat-ayat Nya, juga cerita-cerita bohong atau anekdot-anekdot yang
berbau sihir yang dengannya untuk menandingi para Nabi." (Ad-Daulah wa
Nidzamul Hisbah, karya Ibnu Taimiyah hal: 65,66.)
Diantara fenomena sikap berlebihan
terhadap prinsip adalah berlebihannya sebagian orang dan sikap keras
mereka dalam kondisi-kondisi hidup dan dalam beribadah seperti bersuci
dan yang lainya.
Syaikh Ibnu Jibrin berkata ketika ia
ditanya tentang sikap keras dalam agama, dalam prinsip, atau dalam
kehidupan, maka ia menjawab, (Majmu Fatawa Wa-Rosail Syekh Ibnu Jibrin,
al-‘Akidah juz kedua.) "Termasuk dalam kategori tersebut adalah
berlebihan dalam bersuci dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga
kali basuhan, baik dalam hadats kecil maupun hadats besar. Sesungguhnya
sebagian orang ada yang mengulang-ulang dalam mencuci dan menggosok
anggota wudhu dan mereka berlebihan di dalamnya. Barangkali ia mengira
bahwasanya air tersebut jatuh dari anggota wudhu dan tidak membasahinya,
maka ia pun mengulangi mencuci anggota wudhunya berkali-kali. Itu
adalah bisikan setan dengan maksud agar ia bosan melakukan ibadah dan
menganggapnya berat, kemudian ia meninggalkan shalat dikarenakan wudhu
yang dirasa-kannya berat. Demikian pula dalam masalah niat, ada sebagian
dari mereka mengulangi membasuh anggota wudhu dengan mengira bahwa ia
tidak berniat, dan ia mengulang-ngulangi takbiratul ihram hingga
barangkali juga ia mengulangi shalatnya terus menerus dikarenakan
keragu-raguannya dalam masalah niat.
Untuk menyembuhkan hal tersebut
hendaknya ia (orang tersebut) mengetahui bahwasanya tidaklah ia menuju
ke air kecuali dengan niat bersuci, dan tidaklah ia menuju ke mesjid
kecuali dengan niat untuk shalat, maka sebenarnya niat itu pasti sudah
ada. Sesungguhnya yang harus ia lakukan adalah memperbaiki niatnya
dengan hanya mengharap ridha Allah, dan menghilangkan hadats serta
melaksanakan ibadah.
Kemudian, ada sebagian orang yang
menggampang-gampangkan masalah bersuci. Mereka tidak menyempurnakan
wudhu hingga hadats pun tidak hilang, dan mereka lalai untuk
menyempurnakan seperti yang diminta. Maka sebaik-baik urusan adalah yang
pertengahan, yaitu melaksanakan bersuci sesuai dengan sunnah, baik
dalam hadats kecil ataupun hadats besar.
Dari sebagian sikap berlebihan yang
tercela adalah meninggalkan hal-hal yang dimubahkan atau dibolehkan,
juga mempersulit diri dalam menjauhi syahwat yang dihalalkan Allah
Ta'ala padahal banyak dan dibolehkan, baik meninggalkan makanan seperti
daging, buah-buahan, dan sayur-sayuran dengan hanya mencukupkan makan
roti kering dan air laut atau yang lainnya. Atau meninggalkan mata
pencaharian seperti kerajinan tangan, pertukangan, perniagaan dan
bertani, padahal semuanya itu adalah baik tidak ada syubhat (keraguan)
di dalamnya. Atau meninggalkan tugas dan pekerjaan yang dibolehkan,
menyewakan jasa, kendaraan, atau barang-barang berharga lainnya dengan
ongkos atau bayaran tertentu. Maka sesungguhnya semua itu merupakan
kesederhanaan dan zuhud yang melampaui kadar yang semestinya atau yang
dibutuhkan.
Sementara ada juga orang-orang yang
berlapang-lapang pada sesuatu yang dimubahkan dan mengambil atau
mengkonsumsi sebagian yang syubhat yang akan menjerumuskan dia pada
keharaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
"Barangsiapa yang meninggalkan syubhat
maka ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya. Barangsiapa yang
terjerumus pada syubhat berarti ia telah terjerumus pada yang
haram."(Muttafaq alaih) (Dikeluarkan al-Bukhari no. 52, dan Muslim no.
1599 dari hadist Nu'man bin Basyir RA.)
Hal tersebut di atas terjadi pada
orang-orang yang berlapang atau bersikap longgar dalam bermuamalah
dengan bank-bank yang memberlakukan riba, memberikan pinjaman dengan
disertai bunga, menambah harga dari harga yang telah ditentukan pada
jual beli kredit, memahalkan kebutuhan orang-orang miskin dan mengambil
harta dengan kebohongan, tipu daya yang diharamkan, sogok menyogok, dan
pemalsuan.
Begitu pula (termasuk kategori bersikap
longgar) orang yang tidak menghindarkan dirinya dari memakan daging yang
di import yang diperkirakan dengan kuat bahwa daging tersebut adalah
bang-kai, atau tidak disembelih dengan sembelihan yang sesuai dengan
syari'at, melakukan makan-makan dengan orang-orang yang memiliki harta
syubhat (diragukan) dan yang lainya. Maka mereka itu telah bersikap
longgar atau berlapang-lapang sehingga mereka terjerumus ke dalam
syubhat, dan mereka (yang pertama tadi) bersikap keras atau mempersulit
diri, sehingga melarang dirinya dari sesuatu yang telah dimubahkan.
Sebaik-baik urusan adalah pertengahan.
Dikatakan, "Begitu pula (termasuk sikap
berlebihan yang tercela) adalah berlebihan terhadap pendapat para ulama
dan para pemuda yang konsisten. Sesungguhnya sebagian dari para pemuda
ada yang bersikap keras. Mereka tidak mau menerima jawaban seorang ulama
atau jawaban yang dinukil dari kitab (buku referensi), atau pendapat
seorang Mujtahid yang telah mengerahkan kemampuannya untuk membahas
tentang solusi permasalahan yang terjadi padanya, kemudian ia memilih
pendapat yang ditunjukan oleh ijtihadnya, dan menulis pendapat hasil
ijtihad tersebut pada sebuah buku. Anda akan melihat bahwa mereka
berpaling dari buku-buku yang telah bersusah payah disusun para ulama
yang telah melakukan perbaikan. Padahal tidaklah mereka menulis
pendapat-pendapat tersebut, kecuali setelah melakukan penelitian,
penglihatan, pembahasan yang panjang, mengutip dari para ulama Ahlus
Sunnah dan setelah mempraktekannya dalam waktu yang cukup lama. Mereka
pun sangat berhati-hati dalam mengikuti dan taklid terhadap ‘Atsar.
Mereka (para mujtahid) telah memeras keringat dan bekerja keras dalam
menulis buku atau pendapat tersebut. Mereka menasihati umat dengan
tujuan mem-berikan kemudahan pada generasi yang datang setelahnya, juga
mengharapkan pahala dalam pemberian manfaat terhadap umat dan
kesinambungan (umat tersebut) dalam mengamalkan ilmu yang
dimanfaatkannya, baik dalam masalah aqidah, adab (etika), syariat atau
lainnya. Generasi muda sekarang (modern) berpaling dari buku-buku (yang
memuat pendapat para ulama mujtahid) tersebut. Mereka menganggap bahwa
buku-buku tersebut adalah sampah yang hanya layak untuk dijual bukan
untuk dimiliki. Mereka juga menganggap buku-buku tersebut hanya sekedar
memuat pendapat-pendapat dan kebohongan-kebohongan tanpa ada dalil.
Sesungguhnya tidak ada kebutuhan, kecuali hanya menyebutkan hukum setiap
permasalahan yang terpikirkan, yang mungkin akan terjadi, dan
alasan-alasan lainnya.
Ada pula sebagian yang lain (dari
kalangan pemuda) mereka menerima pendapat-pendapat tersebut, dan
meyakininya sebagai nash-nash syari'at serta mengunggulkannya di atas
dalil-dalil yang shahih, juga di atas firman Allah Ta'ala dan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka bersikap berlebihan terhadap para
pengarangnya dan fanatik terhadap pengarang tersebut dengan mengikuti
madzhab-madzhab. Mereka berpegang teguh kepada apa yang telah ditulis
oleh guru-guru mereka, dan taklid pada setiap masalah kecil dan besar.
Mereka berpaling dari kitab-kitab selain kitab para guru-guru mereka,
dan berpaling pula dari kitab-kitab hadits dan hukum-hukum, dan mereka
berlebihan pada taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
dalilnya).
Begitulah mereka telah berbagi-bagi
dalam bersikap terhadap Masyayikh (yang dianggap guru) pada suatu zaman,
maka setiap orang dari mereka (para pemuda) akan mendahulukannya atas
yang lainnya, walaupun sama-sama terkenal, kuat dan utama. Setiap
kelompok fanatik terhadap seorang alim yang dipilihnya, dan mereka
selalu menerima setiap kata-katanya walaupun salah, serta berpaling dari
kata-kata selainnya (selain orang alim yang dipilihnya).
Kewajiban yang mesti dilakukan adalah
kembali pada yang haq, mendahulukan orang yang mengatakannya, serta
menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai hakim, sebagaimana yang
difirmankan Allah Ta'ala, "Apabila kamu sekalian berselisih pada suatu
urusan maka kembalikanlah pada Allah dan Rasul Nya." (an-Nisa: 59).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.