Bagian Kelima
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz
KEDUA : FENOMENA MENENTANG PENGUASA
Sesungguhnya fenomena menentang
penguasa, merupakan fenomena lama yang merupakan buah dari tindakan
menghukumi penguasa yang menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah
(al-Qur'an) yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam zaman dahulu dan
diikuti oleh sebagian kelompok pada zaman sekarang. Hal yang demikian
itu karena mereka mengatakan sesungguhnya penguasa yang tidak memerintah
dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir berdasarkan firman Allah,
"Dan barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah
adalah kafir " (al-Maidah: 44) dengan tanpa perincian (Ket : Telah
terbit kepada kami buku yang berjudul "Fitnatut Takfir" karya Imam
al-Albani dengan pujian dari Imam Abdullah Bin Baz dan komentar Ibnu
Utsaimin di dalamnya terdapat perincian ilmiah serta mendalam untuk
masalah pengkafiran dan masalah meng-hukumi dengan selain yang
diturunkan Allah, dan telah dicetak untuk yang kedua kalinya dengan
cetakan baru, dikaji ulang dan dibenarkan oleh Imam al-Albani dan Ibnu
Utsaimin dan terdapat tambahan yang baik dan bermanfaat)
Kelompok ini telah berpendapat untuk
menentang penguasa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan
Allah dan berpendapat pula untuk menghalalkan darah dan hartanya, dan
barangkali termasuk kehormatannya dalam sebagian kondisi. Dan
mengintimidasi penguasa tersebut untuk melepaskan kekuasaannya untuk
digantikan dengan yang lain, atau kembali sadar kemudian menghukumi
dengan apa yang diturunkan Allah dan semua itu dikarenakan ia kafir.
Dan disini kita bertanya-tanya, "Apakah
boleh menentang penguasa yang tidak memerintah dengan apa yang
diturunkan oleh Allah tanpa perincian? Apakah ia kafir, zalim, atau
fasik?" Maka apabila ia zalim atau fasik apakah boleh menentangnya? Atau
harus bersabar dan memperhitungkan? Dan apabila ia kafir apakah boleh
juga menentangnya? Atau harus berdasarkan syarat-syarat tertentu?"
Atas pertanyaan-pertanyaan ini kami
menjawab, "Para ulama telah menetapkan kriteria dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi pada penguasa yang akan ditentang, dan syarat-syarat ini
diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana pada
hadits Ubadah Bin Shomit radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, "Kami membai'at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap mendengar dan
menaati dalam kondisi semangat maupun terpaksa dan dalam kondisi susah
ataupun senang dan kita harus memprioritaskannya, dan tidak boleh
menentang urusan terhadap ahlinya." Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانْ
"Kecuali apabila kamu sekalian melihat
kekufuran yang nyata maka bagi kalian telah ada penjelasannya dari
Allah." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No 7056 dan Imam Muslim No.
1841).)
Syaikh Ibnu Utsaimin telah menjelaskan
syarat-syarat ini, ia berkata, (Ket: Kitab as-Sahwah al-Islamiyah
Dawabit-wa-Taujihat halaman 286, 287 cetakan ketiga.) "Hendaklah
diketahui bahwasanya menentang penguasa tidak dibolehkan kecuali dengan
syarat-syarat berikut:
* Hendaknya "melihat", yakni mengetahui dengan yakin bahwa penguasa tersebut melakukan kekufuran.
* Hendaknya yang diperbuat oleh penguasa
itu adalah "kekufuran", adapun kefasikan maka tidak boleh ditentang
dengan alasan kefasikan tersebut walaupun besar.
* Hendaknya kekufuran tersebut "nyata", yakni memberikan kejelasan tanpa ada kemungkinan untuk ditakwilkan.
* "Bagi kalian dalam permasalahan ini
telah ada penjelasannya dari Allah Ta'ala", yakni berdasarkan atas dalil
yang pasti dari kitab dan sunnah atau kesepakatan ummat.
Maka syarat-syarat ini ada empat. Adapun
syarat yang kelimanya diambil dari dasar-dasar yang umum untuk agama
Islam, yaitu kemampuan mereka yang menentang untuk menjatuhkan penguasa,
karena apabila mereka tidak memiliki kekuatan maka urusannya atau
permasalahannya akan berbalik menjadi merugikan bagi mereka dan tidak
menguntungkannya, maka bahayanya akan lebih besar dari bahaya yang
ditimbulkan oleh sikap diam diri terhadap penguasa ini sehingga kelompok
lain yang menuntut tegaknya Islam menjadi kuat.
Fatwa-Fatwa Dan Perkataan Para Ulama Dalam Permasalah Menentang Para Penguasa
Setelah kita mengetahui syarat-syarat
yang mesti dipenuhi untuk menentang penguasa Muslim yang tidak
menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, sekarang kita sampai kepada
fatwa-fatwa dan perkataan-perkataan para ulama sekitar permasalahan
menentang penguasa supaya permasalahannya menjadi jelas dan nyata bagi
kebanyakan orang-orang yang melupakannya.
Imam al-Albani ditanya, "Apakah boleh
menentang penguasa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan
Allah." (Ket : Kapankah disyari'atkan untuk menentang penguasa? Kaset
rekaman Imam al-Bani No. 606).) Maka beliau menjawab, "Siapa pun
penguasa pada zaman sekarang dari penguasa-penguasa Muslim yang tidak
kelihatan jelas dari mereka kekufuran yang nyata, maka tidak boleh
menentangnya walaupun tidak dibai'at dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan. Kami mengatakan siapa pun yang menjadi penguasa muslim pada
zaman sekarang dan ia tidak merpelihatkan kekufuran yang nyata, maka
tidak boleh bagi setiap kelompok dari kelompok-kelompok Muslim untuk
menentangnya. Hal itu dikarenakan telah terjadi pada sejarah Islam
bahwasanya banyak dari kalangan para penentang, mereka menentang
penguasa yang dibai'at kemudian kekuasaan tersebut tetap berada di
tangan mereka (penguasa) bersamaan dengan penentangan dan permusuhannya
(para penentang). Para ulama Muslim tidak membolehkan menentang mereka,
dan itu semua termasuk ke dalam kategori menjaga pertumpahan darah kaum
Muslimin dengan sia-sia.
Bahkan sekarang saya katakan walaupun di
sana ada seorang Penguasa Muslim, walaupun hanya secara geografi atau
persaksian diri saja, maka pendapat saya secara pribadi bahwasanya tidak
boleh menentangnya kecuali dengan syarat yang banyak sekali:
Yang pertama dan terpenting: Kaum
Muslimin telah mempersiapkan dirinya untuk menentang penguasa tersebut.
Masalah ini memiliki pembahasan yang rinci. Saya kira pembahasan ini
telah disebutkan dalam sebagian kaset. Untuk mewujudkan apa yang kami
ungkapkan dengan dua kalimat yang ringkas "Tashfiyah dan Tarbiyah."
Maksudnya, ketika kaum Muslimin
berkumpul di suatu negara, di suatu daerah hendaklah mereka melakukan
pemurnian dan pendidikan. Dan yang termasuk aktivitas pendidikan adalah
mengamalkan nash-nash yang memerintahkannya baik dari kitab ataupun
sunnah, di antaranya firman Allah, "Dan persiapkanlah untuk menghadapi
mereka apa yang kamu mampu dari kekuatan." (Al-Anfal: 60).
Maka ketika kita mendapatkan kelompok
seperti ini yang beristiqomah untuk menerapkan Islam yang telah
dimurnikan, dan dididik berdasarkan Islam yang dimurnikan ini, kemudian
melakukan persiapan-persiapan maknawiyah (ruhiyah) dan materi, ketika
itu kita katakan boleh menentang penguasa ini yang menyatakan diri
dengan kekufuran yang jelas, tetapi harus berdasarkan syarat juga, yaitu
memperingatkannya dan tidak menghilangkannya dengan cara yang disebut
revolusi atau kudeta atau yang lainnya. Ini pun dalam masalah i'tiqadi
(keyakinan) dan apa yang saya pahami dari al-Qur'an dan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kita tidak membolehkannya
kecuali dengan syarat ini. Saya berkeyakinan bahwasanya dalam tindakan
revolusi dari sebagian kelompok Islam di sebagian negara Islam, mulai
dari kelompok Juhaiman di Mekkah, juhaiman Jama'ah Takfir dan Hijrah di
Mesir, juga kelompok Marwan Hadid di Suria, kemudian sekarang di
Aljazair juga kita mengatakan bahwasanya ini tidak boleh karena mereka
sebagaimana yang difirmankan Allah, yang artinya, "Dan apabila mereka
mau berangkat niscaya mereka akan menyiapkan persiapan." (at-Taubat: 46)
dan kita memiliki pembicaraan yang panjang untuk orang-orang Aljazair
barangkali disana telah diabadikan dalam sebagian rekaman. Jadi, akhir
dari pertanyaan ini kita tidak membolehkan untuk menentang penguasa
secara mutlak pada zaman sekarang karena akan mengakibatkan pertumpahan
darah kaum Muslimin tanpa ada faidah, bahkan mengakibatkan bahaya-bahaya
yang dampaknya tersebar di kalangan masyaratakat Islam.
Dalam suatu pertanyaan yang dilontarkan
kepada Syaikh Abdullah Bin Baz ini teksnya (Ket : Imam Abdullah Bin Baz,
Muroja'at Fi Fiqhil wa-qi' Assyiyasi walfikri karangan Dr. Abdullah
Rifa'i halaman 24-26), "Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa
perbuatan maksiat dan dosa besar yang dilakukan penguasa, mengharuskan
untuk menentang mereka dan berusaha untuk menggantinya, meskipun akan
berakibat bahaya bagi orang Muslim di suatu negara. Dan kejadian yang
dirasakan oleh dunia Islam kita adalah banyak, maka apakah pendapat yang
mulia?"
Maka beliau menjawab, "Allah Ta'ala
berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada
Allah dan taatlah kepada Rasul juga pemimpin kamu sekalian, maka apabila
kamu sekalian berselisih pada suatu urusan hendaklah dikembalikan
kepada Allah dan rasul apabila kamu sekalian beriman kepada Allah dan
hari akhir yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik
akibatnya." (Annisa: 59). Ayat ini menyatakan wajibnya taat kepada
pemimpin, mereka adalah para penguasa dan ulama. Dalam sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dijelaskan bahwa ketaatan ini
mesti dan ketaatan ini merupakan kewajiban dalam hal yang ma'ruf.
Ayat tadi memberikan faidah bahwa maksud
darinya menaati mereka (penguasa) dalam hal yang ma'ruf. Maka bagi kaum
Muslimin wajib untuk menaati para penguasa dalam hal yang ma'ruf dan
bukan dalam kemaksiatan. Apabila para penguasa memerintahkan untuk
maksiat, maka tidak boleh ditaati, tetapi tidak dilanjutkan dengan
tindakan menentang mereka dengan sebab kemaksiatan ter-sebut karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ
شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهُ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ
اللهِ, وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ, فَإِنْ خَرَجَ عَنِ
الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ مَاتَ مَيْتَةً الْجَاهِلِيَّةِ
"Barangsiapa yang melihat dari
pemimpinnya suatu maksiat terhadap Allah maka hendaklah ia membenci
kemaksiatan kepada Allah tersebut, dan tidak melepaskan tangan dari
ketaatan, maka sesungguhnya orang yang keluar dari ketaatan dan
meninggalkan jama'ah maka ia mati dalam keadaan jahiliyah." (Ket:
Dikeluarkan oleh Imam Muslim No. 1855 halaman 66, sampai kepada kalimat
"dan tidak boleh melepaskan tangan dari ketaatan" dari hadist Auf Bin
Malik radhiallahu ‘anhu. Adapun perkataan, "Sesungguhnya orang yang
keluar dari ketaatan .dst dikeluarkan oleh Imam Bukhari No 7053 dan Imam
Muslim No. 1849 dari hadist Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu.)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَليَ الْمَرْءِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ, فِي الْمَيْسِرْ وَالْعُسْرِ, فِي
الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ, إِلاَّ أَنْ يُأْمَر بِمَعْصِيَةِ اللهِ,
فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
"Hendaklah seseorang mendengar dan
mentaati pada sesuatu yang disukai dan dibenci dalam keadaan gampang dan
susah, dalam keadaan rela dan terpaksa, kecuali apabila diperintahkan
untuk bermaksiat kepada Allah. Maka apabila ia diperintahkan untuk
bermaksiat kepada Allah, tidak boleh didengar dan ditaati." (Dikeluarkan
oleh Imam Bukhari No. 7144 dan Imam Muslim No.1839 dari hadist Abdullah
Bin Umar radhiallahu ‘anhuma, dan tidak didapatkan dalam riwayat
Bukhari dan Muslim perkataan atau kalimat: "dalam keadaan gampang dan
susah, dalam keadaan rela dan terpaksa".) Sahabat bertanya, "Wahai
Rasulullah, -ketika beliau menyebutkan bahwasanya ada penguasa yang
mereka mengetahuinya dan mengingkarinya- para sahabat bertanya, "Apakah
yang engkau perintahkan kepada kami?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab,
أَدُّوْا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَاسْأَلُوْا اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
"Laksanakanlah kewajiban kamu terhadap
mereka (berikanlah hak-haknya) dan mohonlah kepada Allah yang merupakan
hak kamu sekalian." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 7052 dan Imam
Muslim No. 1843.)
Dan Ubadah radhiallahu ‘anhu berkata,
"Kami membai'at (berjanji setia) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk tidak menentang urusan dari ahlinya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Kecuali apabila kalian melihat
kekufuran yang nyata, dan kalian telah memiliki dalil yang jelas dari
Allah Ta'ala." Hadits ini menunjukan bahwasanya mereka tidak boleh
menentang penguasa dan tidak boleh berpaling darinya kecuali apabila
mereka melihat kekafiran yang nyata pada penguasa tersebut dan dalam
masalah tersebut telah ada dalil yang jelas dari Allah.
Hal itu tiada lain karena bahwasanya
berpaling dari penguasa akan mengakibatkan kerusakan dan kejelekan yang
besar, maka akan menggantikan keamanan dan menghilangkan hak-hak juga
tidak akan membuat jera bagi orang zalim dan tidak akan menolong orang
yang dizalimi, dan jalan-jalan akan menjadi rusak dan tidak aman, yang
kemudian akan berdampak tindakan berpaling dari penguasa tersebut kepada
kerusaan dan kejelekan yang besar.
Kecuali apabila orang Muslim melihat
kekufuran yang nyata dari mereka, maka telah ada dalilnya dari Allah
maka dibolehkan untuk menentang para penguasa ini untuk menumbangkan
kekuasaannya apabila mereka memiliki kemampuan. Namun jika mereka tidak
memiliki kemampuan. maka tidak boleh menentangnya. Atau apabila sikap
menentang tersebut akan mengakibatkan kejelekan yang lebih banyak, maka
tidak boleh menentang demi mempertahankan kemaslahatan umum. Ada kaidah
syariat yang telah disepakati, "Sesungguhnya tidak boleh menghilangkan
kejelekan dengan ke-jelekan yang lebih besar." Tetapi harus
menghilangkan kejelekan dengan sesuatu yang bisa menghilangkannya atau
paling tidak meminimalisirnya. Adapun menghilangkan kejelekan dengan
kejelekan yang lebih banyak maka ini tidak dibolehkan berdasarkan
kesepa-katan kaum Muslimin.
Apabila kelompok yang menginginkan untuk
menghilangkan penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata ini, dan
mereka memiliki kemampuan untuk menumbangkannya, dan menetapkan pemimpin
yang saleh serta baik tanpa berkonsekuensi kerusakan yang besar
terhadap kaum Muslimin dan kejelekan yang lebih besar dari
kejelekan-kejelekan penguasa ini, maka tidak apa-apa (menentangnya).
Adapun jika sikap menentang tersebut
berkonsekuensi pada kerusakan yang besar, dan hilangnya keamanan serta
mengakibatkan kezaliman terhadap manusia dan pembunuhan terhadap orang
yang tidak berhak untuk dibunuh dan kerusakan-kerusakan yang besar
lainnya, maka ini tidak boleh. Maka ia harus bersabar, mendengarkan, dan
menaati dalam hal yang ma'ruf, kemudian menasihati penguasa tersebut
dan mengajaknya kepada kebaikan, dan berusaha keras untuk meminimalisir
dan mengurangi kejelekan serta memperbanyak kebaikan, inilah jalan yang
lurus yang harus ditempuh.
Karena pada yang demikian itu terdapat
kemaslahatan bagi kaum Muslimin secara umum dan pada yang demikian itu
terkandung usaha untuk meminimalisir kejelekan dan memperbanyak
kebaikan. Juga, pada yang demikian ini mengandung makna menjaga keamanan
dan keselamatan kaum Muslimin dari kejelekan yang lebih banyak.
Yang mulia Syaikh Abdullah Bin Jibrin
ditanya, "Apabila penguasa itu menghalangi manusia dari kebaikan dan
membiarkan untuk kejelekan dengan segala sarananya apakah boleh untuk
menentangnya?" (Ket: Majmu Fatawwa wa-Rasa-il Syekh Ibn Jibrin al-Akidah
Juz ke-8)
Maka beliau menjawab, "Kami menasihatkan
untuk tidak menentang walaupun keadaan penguasa sudah seperti ini, hal
itu dikarenakan dalam tindakan menentang terdapat kejelekan yang besar.
Kami katakan, ‘Hendaklah kamu mendengar dan menaati walaupun penguasa
itu memukul punggungmu dan mengambil hartamu sebagaimana disebutkan
dalam hadits." (Ket: potongan dari hadist yang dikeluarkan oleh Imam
Muslim No. 1847 - 52 dari Hudzaifah Bin Yaman y dan lihatlah hadistnya
secara terperinci dengan riwayatnya pada halaman 176.) Dan telah
dinyatakan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menganjurkan untuk taat dan menganjurkan untuk bersabar atasnya dan
beliau berkata,
إِنَّ عَليَ الْمُسْلِمِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي الْعُسْرِ وَالَيُسْرِ, و الأَثَرَةُ فِي
عُسْرِكَ وَ يُسْرِكَ, وَ أَثَرَةٌ عَلَيْكَ, وَأَنْ تَسْمَعَ وتُطِيْعََ
"Sesungguhnya atas orang muslim
mendengar dan mentaati dalam keadaan susah dan gampang dan
memprioritaskan dalam keadaan susahmu dan mudahmu, dan hendaklah
memprioritaskan atas kamu, dan hendaklah kamu mendengar dan mentaati."
(Ket: Yang demikian itu terdapat dalam banyak hadist diantaranya hadist
Ubadah Bin Shomit y ia berkata ‘kami berjanji setia kepada Rasulullah a
untuk mendengar dan menaati dalam keadaan rela dan terpaksa, susah dan
mudah, dan memprioritaskan pada kami dan untuk tidak menentang urusan
terhadap ahlinya" Rasulullah a berkata, "kecuali apabila kamu melihat
kekufuran yang nyata maka kamu sudah memilki dalilnya dari Allah" dan
diantaranya juga hadist Hudzaifah y yang panjang di dalamnya terdapat
perkataan,"hendaklah kamu men-dengar dan taat kepada penguasa, walaupun
dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka hendaklah kamu
mendengarkan dan menaati. Dan akan datang hadits yang terperinci dengan
riwayatnya.)
Yang penting, selama tidak terlihat
adanya kekufuran yang nyata mereka telah memilki dalilnya dari Allah.
(Ket : Hadits Ubadah Bin Shomit radhiallahu ‘anhu yang terdahulu)
Sebagai contoh dari perbuatan-perbuatan
ini, misalnya ada hakim yang menentang orang yang melakukan kebaikan dan
mendukung orang yang melakukan kejahatan. Selama ia sebagai penguasa
dan memiliki kekuatan serta pelindung, maka tindakan berpaling darinya
akan mengakibatkan fitnah-fitnah, dan akan mengakibatkan pembunuhan di
kalangan kaum Muslimin juga akan mengakibatkan bahaya-bahaya. Maka yang
harus dilakukan adalah bersabar atas penguasa tersebut sampai ia
mendapatkan petunjuk, dan begitu juga menyebarkan dakwah Islamiyah dan
kebaikan-kebaikan Islam adalah lebih utama bagi kaum Muslimin.
Abdullah Bin Jibrin ditanya pula, "Para
kawula muda yang tinggal di sebagian negara yang menghukumi dengan
selain syari'at Allah, mereka mendapatkan kekufuran yang nyata, baik
dari media informasi atau yang lainnya. Maka apakah nasihat yang mulia
untuk saudara di sana dalam permasalahan keterburu-buruan atau ingin
segera dan yang lainnya? Apakah boleh bagi kaum Muslimin yang diperintah
oleh pemerintah kafir yang mengumumkan atau menyatakan kekafirannya
melalui sarana informasi, dan membolehkan yang diharamkan, dan lain
sebagainya dari masalah-masalah kekufuran, apakah boleh untuk
menentangnya?" (Majmu Fatawa wa-Rasa'il Syaikh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz
ke-8-Manuskrip)
Beliau menjawab, "Kami melihat
bahwasanya mereka tidak bisa keluar atau menentang selama mereka tidak
memiliki kekuatan dan tidak memiliki pelindung dan kekuatan itu berada
pada negara, tetapi apabila (yang ingin menentang penguasa) mampu untuk
berdikari dan mengasingkan diri pada suatu kampung atau suatu tempat,
seperti halnya orang-orang yang berhijrah yang memisahkan diri dari
negara kemudian mereka mengurusi urusan mereka dengan dirinya sendiri,
sehingga tidak berada di bawah kekuasaan negara kafir, maka hal itu
adalah lebih utama. Tetapi apabila mereka belum mampu hendaklah mereka
bersabar dan mengabdi kepada Allah sesuai dengan kemampuan mereka,
melakukan ibadahnya, serta merealisasikan apa yang diperintahkan dan
mengingkari dengan hatinya, kemudian mereka berkata, "Ya Allah,
sesungguhnya ini adalah kemungkaran dan kami mengingkarinya." Cukuplah
dengan seperti itu, daripada mengeluarkan senjata yang akan menghinakan
mereka, merendahkan perkataan orang yang melakukan kebaikan, menimbulkan
tekanan dari pemerintah terhadap setiap orang yang memperlihatkan sikap
komitmen terhadap agama dan kebaikan, juga akan melahirkan
tuduhan-tuduhan bahwasanya orang Muslimlah yang melakukan kerusakan di
muka bumi. Mereka adalah teroris dan ekstrimis, mereka hidup di bumi
dengan melakukan kerusakan, atau dengan sebab kekerasan sebagian mereka
terhadap sebagian negara, maka timbulah keba-nyakan dari negara
melontarkan tuduhannya kepada orang yang konsisten dengan agama dan
kebaikan maka mereka menjadikannya sebagai bahaya laten bagi negara, dan
setiap orang yang dilihatnya konsisten dan berpegang teguh kepada
agama, mereka mengatakan inilah orang-orang yang berusaha untuk
melakukan kudeta, atau berusaha untuk menentang pemerintahan, atau
mengumpulkan para revolusioner untuk melakukan revolusi. Kalau sekiranya
mereka membiarkan perkara tersebut, dan mereka menyembah Allah Ta'ala
mengingkari perkara tersebut dengan hatinya, melakukan perbaikan
terhadap kondisi mereka dan kondisi orang-orang yang berada di bawah
kendalinya, gencar menyebarkan Islam dalam bentuk yang nyata, dan
menjelaskan kebaikan-kebaikannya serta senantiasa konsisten dengannya.
Mereka meninggalkan negara dan segala urusannya juga membiarkan negara
dengan aktivitas dan tindakannya apabila negara atau pemerintah tidak
menerima nasihat dari mereka dan mereka tidak bisa memperbaikinya, maka
dalam tindakan seperti itu terdapat keutamaan yang banyak, dan kondisi
akan senantiasa berbeda sesuai dengan realita yang ada.
Yang mulia Abdullah Bin Jibrin berkata
pula (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin bab al-Akidah Juz 2),
"Telah disebutkan dalil-dalil yang banyak tentang kewajiban mendengar
dan taat kepada para penguasa dan para pemimpin kaum Muslimin, karena
dalam persatuan dan kesatuan terkandung kekuatan dan kemaslahatan umum.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan para sahabatnya
untuk mengikuti dan menaati para pemimpin mereka, seperti sabdanya,
إِسْمَعْ وَ أَطِعْ وَ إِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَ أَخَذَ مَالَكَ
‘Dengarkanlah dan taatilah walaupun ia
memukul punggungmu dan mengambil hartamu' beliau menyuruh untuk
mendengar dan menaati pemimpin dalam keadaan susah dan senang, dalam
keadaan rela dan terpaksa dan mengutamakan mereka (Yang seperti ini
terdapat dalam hadits Ubadah Bin Samit radhiallahu ‘anhu). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Ansar, "Sesungguhnya
kalian akan mendapatkan setelah aku keegoisan, maka berasabarlah
sehingga kamu sekalian mendapatkan aku pada suatu danau (al-Haudh).'
(Ket: Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 5860 dan Imam Muslim No, 1059
dari Annas Bin Malik radhiallahu ‘anhu dan di dalam hadist tersebut
terdapat perkataan, ...sesungguhnya kamu sekalian akan mendapatkan
keegoisan yang sangat, maka bersabarlah sehingga kamu bertemu dengan
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku berada pada suatu danau.' Para
sahabat berkata, "Kami akan bersabar." dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari
No. 4330 dan oleh Imam Muslim No. 1061 dari Abdullah Bin Zaid
radhiallahu ‘anhu di dalamnya terdapat perkataan, ".sesungguhnya kamu
sekalian akan mendapatkan setelah aku keegoisan, maka bersabarlah
sehingga kamu sekalian bertemu denganku pada suatu danau(al-Haudh).")
Para Imam kaum Muslimin seperti Imam Ahmad dan yang lainnya
memperingatkan terhadap sikap atau tindakan keluar dari ketaatan, karena
dengan sebab itu terjadilah pembunuhan, pemenjaraan, dan akan
melemahkan kaum Muslimin, menghinakan, serta merendahkan mereka.
Telah muncul dari banyak penguasa pada
permulaan Islam dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan munkar, yang menjadi
sebab bagi sebagian kelompok untuk melepaskan diri, atau mencabut bai'at
(janji setianya). Maka dengan sebab itu terjadilah fitnah-fitnah dan
peperangan besar, sesungguhnya penduduk Madinah melepaskan bai'at atau
janji setia mereka terhadap Yazid Bin Mu'awiyah dan memperlihatkan sikap
menentang kepadanya. Karena dengan sebab melakukan berbagai perbuatan
yang diharamkan seperti pembunuhan Husain bin Ali dan lain sebagainya,
maka diutuslah kepada mereka (penduduk Madinah) bala tentara yang
banyak, kemudian terjadilah peperangan bebas yang terkenal, yang mana di
dalamnya terbunuh beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang tidak
berdosa, dan banyak pula kehormatan yang dilanggar.
Begitu pula fitnah Ibnul Asy'asts (Akan
datang kisah tentang fitnah Ibnul al-Asyt secara terperinci) yang
mencopot kekuasan Hajjaj atas Irak, kemudian melepaskan janji setia
terhadap khalifah, maka terbunuhlah dengan sebab itu puluhann ribu
orang.
Maka berdasarkan ini kami berkata,
"Sesungguhnya pada ketaatan dan sikap berserah diri terhadap penguasa
terdapat keutamaan yang banyak, seperti keamanan, ketentraman, dan
keistiqomahan untuk melakukan ibadah, menuntut ilmu, dan berdakwah
kepada Allah dengan cara yang baik walaupun didapatkan pada penguasa
tersebut sesuatu penyimpangan yang merusak agama dan keadilan juga
apa-apa yang mereka lihat bahwa di dalamnya akan mendatangkan
kemaslahatan."
Kemudian orang yang mengadopsi ide
pengkafiran pada zaman sekarang, mayoritasnya adalah orang yang
pemahamannya dangkal dan pemikirannya lemah, serta mereka tidak meneliti
secara mendalam terhadap dalil-dalil juga terhadap dampak dan akibat
dari ide atau pemikiran tersebut mereka hanya melihat nash-nash yang
mengandung ancaman dan hanya melihat dalil secara zhahir. Mereka juga
melihat pada penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran dan apa yang
mereka saksikan dari keharaman dan tersebar luasnya kemaksiatan. Mereka
membaca dalam sejarah kehidupan para sahabat dan apa yang mereka lakukan
pada zamannya, seperti perkumpulan, publikasi syi'ar-syi'ar Islam,
keteguhan orang-orang yang taat, dan kekuatan Islam serta kejelasannya.
Maka muncullah dari penglihatan ini ide untuk mengkafirkan orang yang
hidup pada zaman tersebut dikarenakan apa yang telah mereka lakukan dari
penyimpangan atau pelanggaran, dan pemahaman mereka (yang mengkafirkan)
sangat dangkal pula terhadap dampak atau konsekuensi yang akan terjadi
dengan sebab pengkafiran, penentangan terhadap penguasa, dan dari apa
yang dianjurkan oleh penguasa seperti pembunuhan, pengusiran, dan
penekanan yang akan melemahkan keislaman. Mereka (yang mengafirkan) akan
dijebloskan ke dalam penjara yang gelap. Dan setiap orang yang
bersemangat untuk menerapkan ajaran agama Islam akan dituduh bahwa ia
adalah fundamentalis atau teroris. Mereka akan dituduh pula dengan
sebutan berlebihan, keras, dan saklek, atau dengan tuduhan mengkafirkan
umat dan akidah khawarij yang menganggap atau menjadikan sikap memberi
maaf terhadap dosa-dosa adalah kufur.
Tidak diragukan lagi bahwasanya
pemikiran ini adalah salah. Ketika para penguasa dapat menjaga negara
dan penduduknya, dapat menguasai orang yang bertindak bodoh dan zalim,
menghukum orang yang melakukan aniaya terhadap hak orang lain, dengan
merampas, mencuri atau memanfaatkan kekuatannya terhadap orang yang
lebih lemah, maka terjadilah kekacauan secara menyeluruh, dan kerusakan
menjadi tersebar luas, sehingga yang lemah pun akan menjadi
bulan-bulanan bagi orang yang kuat, dan hukum-hukum akan menjadi mandul
(tidak dilaksanakan), perzinahan akan semakin banyak, pencurian, ghashab
(menggunakan hak orang lain tanpa izin), dan monopoli hak-hak manusia
dengan jalan yang tidak benar. Tidak diragukan lagi bahwa kekacauan ini
merupakan sebab bagi timbulnya rasa takut, cemas, dan kelemahan pada
manusia untuk bisa menghadapi atau melawan orang yang melakukan aniaya
terhadap keluarga, harta atau dirinya, maka para penguasa dengan apa
yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekuatan, kedudukan yang
tinggi, dan eksistensi di muka bumi mereka akan mampu menangkap
orang-orang jahat, dan menghukum setiap orang yang didorong oleh hawa
nafsunya untuk melakukan kezaliman, kesombongan, dan menguasai sesuatu
yang tidak dihalalkan baginya dengan cara yang tidak benar.
Karena itu, kami katakan, "Sesungguhnya
yang harus dilakukan adalah menghukum orang yang dikuasai atau
dikalahkan oleh pemikiran seperti ini dan meyakini ide pengkafiran, baik
terhadap individu atau kelompok atau negara, dan memberikan kepuasan
kepada mereka (yang mengkafirkan) bahwasannya ini adalah pemikiran yang
salah. Sesungguhnya yang wajib bagi orang Muslim adalah mendengar dan
menaati serta tetap berada dalam jamaah, dan berusaha untuk melakukan
perbaikan, mengajak atau berdakwah kepada yang baik dengan penuh hikmah
dan nasihat yang baik, serta melakukan penentangan dengan cara yang
terbaik, kemudian menghindari tindakan untuk mengatakan kepada orang
lain kafir, fasik, dan bid'ah dengan tanpa didasari oleh dalil, dan
dengan sebab itu perkataannya akan menjadi lurus, keamanan akan stabil,
dan kesejahteraan pun akan menyeluruh begitu pula orang Muslim akan
merasa aman dan nyaman dalam kehidupannya. Mereka akan istiqamah dalam
beribadah kepada Tuhannya dan dalam melaksanakan hak-hak-Nya pada
sisa-sisa kehidupannya sehingga datanglah janji Allah kepada mereka,
Wallahu a'lam."
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya pula,
"Sebagian orang berpendapat bahwa peledakan, pembunuhan, dan pengrusakan
adalah merupakan kewajiban untuk melawan penguasa, dengan dalil bahwa
penguasa tersebut tidak menghukumi atau memerintah dengan apa yang
diturunkan Allah. Dan mereka menilai si hakim dalam kondisi ini sebagai
kafir, maka wajib untuk ditentang, dengan melakukan pene-kanan kepadanya
agar melepaskan kekuasaannya dan digantikan oleh yang lain. Anda akan
mendapatkan mereka melakukan peledakan pada sebagian lembaga-lembaga
milik negara atau swasta, atau mereka membunuh sebagian orang yang
memiliki tanggung jawab bekerja pada pemerintah, maka apakah pendapat
yang mulia dari tindakan tersebut? Kemudian kami mengharap dari yang
mulia nasihat untuk para kaum muda dalam rangka menjadikan kitabullah
dan as-sunnah sebagai hukum, dan agar mereka kembali kepada orang yang
terdahulu dari umat ini dalam memahami kitab dan sunnah, kemudian
menggunakan akal dan analisa mereka untuk kemaslahatan umum?" (Majmu
Fattawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz-2 Manuskrip.)
Beliau menjawab, "Tidak diragukan lagi
bahwa perbuatan ini diharamkan, karena di dalamnya terkandung unsur
pengrusakan, membahayakan masyarakat, dan unsur kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkannya. Walaupun terbukti bahwa penguasa itu tidak menghukumi
dengan apa yang diturunkan Allah, tetapi apabila dampak dari perbuatan
tersebut adalah kesempitan, penekanan dan akibat-akibat yang berat, maka
hakim [penguasa] tersebut akan melampiaskan kemarahannya terhadap orang
yang memiliki sifat tersebut, yaitu yang melakukan pengrusakan ini dan
yang melakukan perbuatan yang keji".
Para imam telah melarang terhadap sikap
menentang penguasa, sekalipun mereka menyimpang, berbuat zalim, dan
melakukan perubahan-perubahan (termasuk perubahan hukum). Sebab dari itu
semua mereka menguasai atas orang-orang yang memperjuangkan kebaikan,
membunuh mereka, serta memenjarakannya. Begitu pula para penguasa
menuduh setiap orang yang mengikuti jalan mereka (orang yang melakukan
perbaikan) dengan tuduhan bahwa ia adalah musuh bagi penguasa,
sebagaimana mereka menyebutnya dengan teroris dan revolusioner.
Maka kami menasihati orang yang
memperjuangkan kebaikan dan para kawula muda untuk tetap istiqomah dalam
beramal salih sesuai dengan kemampuan, dan meninggalkan pengkafiran dan
penyesatan (menyatakan orang lain sesat) sehingga kerusakan tidak
menjadi besar dan tidak ada bahaya atas orang muslim apabila ia
melakukan kewajibannya dan menasehati saudaranya yang Muslim. Kemudian,
ia mencukupkan dirinya untuk memberikan nasihat, pe-ngarahan,
menjelaskan kebenaran yang tidak ada syubhat (keraguan) di dalamnya,
serta memberikan peringatan terhadap perbuatan yang menyalahi syari'at,
bid'ah, dan tindakan mengada-ada. Allah lah Dzat yang memberikan
petunjuk yang lurus."
Syubhat Atau Keragu-Raguan Yang Muncul Sekitar Permasalahan Menentang Penguasa Dan Bantahannya
Syubhat Pertama: Menentang Penguasa adalah Wajib Tanpa Melihat Kondisi Lemah.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya
tentang syubhat ini, "inilah nash aslinya," (Ket : Dinukil dari kaset
rekaman dengan judul "Fitnatut Takfir" milik syekh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, dengan komentar dari Syekh Muhammad Salih Utsaimin, lihatlah
buku Fitnatut Takfir halaman 37) Ada syubhat di kalangan para pemuda
yang mempengaruhi akalnya, dan menimbulkan pada mereka permasalahan
menentang penguasa. Yaitu bahwasanya para penguasa mereka telah
mengganti hukum Allah dan membuat undang-undang baru dari mereka
sendiri. Mereka tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah
padahal hukum Allah ada, bahkan mereka membuat undang-undang baru dari
mereka sendiri, sehingga para pemuda menghukumi penguasa tersebut telah
murtad dan kafir. Dengan dasar itu mereka menyatakan bahwasanya para
penguasa selama mereka dalam keadaan kafir wajib diperangi dan tidak
melihat kepada kondisi lemah, karena kondisi lemah ini telah dihapus
dengan ayat saif (pedang). (Ket : yaitu firman Allah Ta'ala, "Apabila
bulan-bulan haram itu telah selesai maka bunuhlah orang-orang
musyrikin... sampai akhir ayat (at-Taubat: 5) Ibnu Katsir rahimahullah
berkata bahwa ayat al-Qur'an ini adalah ayat saif, yang mana Dhahak Bin
Ziham berkata padanya, "Sesungguhnya ayat ini telah menghapus setiap
perjanjian antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setiap orang
dari orang musyrikin juga setiap transaksi serta batas waktu, .(Tafsir
Al-Qur'an Ibnu Katsir Juz 2 halaman 336) ). Maka tidak ada alasan lagi
untuk mengamalkan kondisi lemah (sebagaimana mereka katakan) yang telah
dialami oleh orang Muslim waktu di Mekkah. Kami mengharap penjelasan
syubhat ini dan jawaban atasnya?
Beliau (Syaikh Ibnu Utsaimin) menjawab
tentang syubhat ini dengan menyatakan, "Kita harus mengetahui terlebih
dahulu, apakah pemberian sifat murtad itu cocok atau layak bagi mereka
ataukah tidak? Hal ini membutuhkan pengetahuan tentang dalil yang
menunjukan bahwa perkataan atau perbuatan ini adalah murtad, kemudian
menerapkannya pada orang tertentu, dan apakah pada orang tersebut ada
keraguan ataukah tidak.
Yakni, suatu nash terkadang menunjukkan
bahwa perbuatan ini adalah kufur, dan perkatan ini adalah kufur, namun
di sana ada penghalang yang mencegah untuk menetapkan hukum kafir
terhadap orang tertentu, dan penghalang-penghalang tersebut banyak di
antaranya, prasangka -ini termasuk kebodohan-, kondisi terkuasai atau
dikalahkan oleh perasaan tertentu.
Seorang laki-laki yang berkata kepada
keluarganya, "Apabila aku mati, bakarlah aku dan tebarkanlah abunya di
lautan. Sesungguhnya apabila Allah berkuasa atas aku, maka niscaya Dia
akan mengadzabku dengan adzab yang tidak pernah diberikan kepada seorang
pun dari makhluk-Nya." Secara zhahir akidah orang ini kufur karena
meragukan kekuasaan Allah Ta'ala, tetapi Allah Ta'ala ketika
mengumpulkannya dan berkata kepadanya, orang tersebut menjawab, "Wahai
Tuhanku, sesungguhnya aku takut kepada Engkau, atau perkataan serupa
lainnya, maka Allah pun mengampuninya." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari
no 3291 dan oleh Imam Muslim no 2757 dari Abi Said al-Khudri radhiallahu
‘anhu.) Maka perbuatan ini merupakan takwil dari orang tersebut.
Yang serupa dengan hal tersebut itu
adalah orang yang dikuasai oleh perasaan bahagia, kemudian ia menemukan
untanya sambil berkata, "Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah
Tuhan-Mu." Perkataan ini adalah kufur, tetapi orang yang menyatakan ini
tidak kafir karena ia sedang dikuasai perasaan bahagia. Karena ia
dikuasai perasaan bahagia maka perkataannya menjadi salah, sebenarnya ia
hendak menyatakan, "Ya Allah, Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu." (Ket
: Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 6309 dan oleh Imam Muslim No. 2747
dari Annas Bin Malik y. Ibnul Qayim 5 berkata: dan di dalam hadits
terdapat kaidah ilmu, "Sesung-guhnya lafazh yang salah dikeluarkan oleh
lisan seseorang karena perasaan bahagia yang sangat atau perasaan marah
yang sangat atau yang lainnya, maka ia tidak disiksa dengan sebab
perkataannya, "Engkau hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.")
Orang yang dipaksa pada kekufuran, maka
ia mengatakan perkataan kufur atau melakukan perbuatan kufur, tetapi ia
tidak menjadi kafir karena ada nash al-Qur'an (Ket : Sebagaimana firman
Allah Ta'ala, "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman
(ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa)." (al-Nahl: 106))
karena sebenarnya ia tidak menghendaki dan bukan atas keinginan sendiri.
Dan mereka para penguasa, kita
mengetahui bahwa dalam masalah "Syakhshiyah" seperti nikah, warisan, dan
yang lainnya, mereka menghukumi dengan apa yang ditunjukkan al-Qur'an
sesuai dengan perbedaan madzhab-madzhab. Adapun dalam menghukumi di
antara manusia, maka mereka berbeda (dengan apa yang ditunjukkan
al-Qur'an).
Mereka memiliki syubhat yang didatangkan
atau dibawa oleh sebagian ulama jahat, mereka berkata bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Kalian lebih tahu urusan dunia
kalian" (dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 2363 dari hadits Aisyah dan
Tsabit dari Annas radhiallahu ‘anhu) ini adalah makna umum, maka setiap
urusan yang termasuk dalam kategori urusan dunia kita mempunyai
kebebasan di dalamnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
Ini adalah syubhat yang tidak diragukan
lagi, tetapi apakah bisa dijadikan alasan bagi mereka untuk keluar dari
undang-undang Islam dalam melaksanakan hukum Allah, mencegah minuman
keras dan yang lainnya?
Walaupun dalam sebagian permasalahan ekonomi mereka memiliki syubhat, maka sesungguhnya ini tidak ada keraguan di dalamnya.
Adapun tentang kesulitan yang
dilontarkan, maka dikatakan di dalamnya bahwa jika Allah setelah
mewajibkan perang Dia berfirman, "Apabila di antara kalian ada 20 orang
yang bersabar, niscaya akan dapat mengalahkan 200 orang dan apabila di
antara kalian ada 100 orang niscaya akan dapat mengalahkan 1000 orang
dari orang-orang kafir dikarenakan mereka tidak mengerti." Maka
berapakah mereka? Mereka adalah satu berbanding sepuluh.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman yang
artinya, "Sekarang Allah telah meringankan dari kamu sekalian, dan Allah
mengetahui bahwa pada kamu sekalian ada kelemahan. Maka apabila di
antara kamu sekalian ada 100 orang yang bersabar niscaya akan dapat
mengalahkan 200 orang, dan apabila di antara kamu sekalian ada 1000
orang niscaya akan dapat mengalahkan 2000 orang dengan izin Allah, dan
Allah bersama orang-orang yang sabar." (al-Anfal: 65).
Sebagian ulama berkata, "Sesungguhnya
itu dalam kondisi lemah dan hukum itu senantiasa berbarengan dengan
sebab atau alasannya. Maka setelah Allah mewajibkan atas mereka untuk
bersabar dengan keadaan satu berbanding sepuluh, Allah Ta'ala berfirman,
"Sekarang Allah telah meringankan atas kamu sekalian dan Allah
mengetahui bahwa pada kamu sekalian ada kelemahan." (al-Anfal: 65).
Kemudian kita mengatakan, "Sesunguhnya
kita memiliki nash-nash yang pasti yang menjelaskan dan menerangkan
permasalahan-permasalahan ini. Di antaranya firman Allah Ta'ala, "Allah
Ta'ala tidak membebani seseorang (dari hamba-Nya) melainkan sesuai
dengan kemampuannya", Maka Allah Ta'ala tidak membebani seseorang dari
(hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya, dan Allah
Ta'ala berfirman pula, "Maka bertakwalah kamu sekalian kepada Allah
Ta'ala sesuai dengan kemampuanmu." (at-Thaghabun: 16).
Maka apabila kita tetapkan bahwasanya
tindakan keluar atau menentang terhadap penguasa sebagaimana yang telah
disinggung adalah wajib, sesungguhnya bagi kita tidak wajib, sebab kita
tidak mampu menghilangkannya. Maka masalahnya jelas, tetapi hawa
nafsulah yang selalu membujuk pemiliknya.
Syubhat Kedua: Hujjah atau dalil dari
sebagian orang dalam permasalahan menentang penguasa dengan menggunakan
dalil realita sejarah
Syaikh Imam al-Albani telah ditanya
tentang syubhat berikut (Ket : kapankah menentang penguasa ini
disyari'atkan? Kaset rekaman milik Imam al-Albani no 606.), "Sebagian
orang berdalil dengan apa yang terjadi dalam sejarah Islam, sebagaimana
kisah Ibnul asy'at dan penentangan para Qurraa' yang diketuai Said bin
Jubair dan orang-orang yang mengikutinya, juga apa yang terjadi pada
Aisyah, Zubair dan Thalhah terhadap Ali radhiallahu ‘anhu. Sesungguhnya
peristiwa ini dikategorikan penentangan, tetapi apa yang menjadi tujuan
mereka tidak terwujud. Walaupun tindakan keluar [penentangan] ini
merupakan suatu yang dibolehkan, maka apakah berdalil dengan kisah-kisah
yang telah terjadi pada periode pertama ini dibenarkan? Dan apa
jawabnya? Karena hal ini sering atau banyak digunakan demi membebaskan
atau mengesahkan permasalahan menentang penguasa."
Imam al-Albani menjawab atas syubhat
ini, "Keluar atau menentang penguasa tidak dibolehkan, dan dalil-dalil
ini sebenarnya menimpa orang yang berhujjah dengannya dan bukan untuk
kemaslahatannya sama sekali. Ada hikmah yang diriwayatkan dari Isa
‘Alaihis Salam, tidak begitu penting bagi kita keshahihan sanadnya tapi
yang penting bagi kita adalah keshahihan maknanya, bahwasanya Isa
‘alihis salam pada suatu hari memberikan nasihat kepada para penolongnya
dan memberitahukan mereka bahwa ada seorang Nabi yang akan menjadi Nabi
terakhir, bahwasanya bersamaan dengan dia akan ada pula nabi-nabi
palsu. Mereka bertanya, "Bagaimana kami dapat membedakan Nabi yang
sesungguhnya dari Nabi yang palsu?" Maka ia menjawab dengan hikmah yang
telah disebutkan, Yaitu dari buahnya kalian akan mengetahuinya.".
Maka tindakan keluar atau menentang
penguasa, baik yang ini ataupun yang itu. Di antaranya adalah keluarnya
Aisyah radhiallahu ‘anha, kita Menghukumi tindakan keluar ini dari
buahnya, maka apakah buahnya ini ataukah manis?
Tidak diragukan lagi bahwasanya sejarah
Islam yang menceritakan kepada kita tentang kisah keluarnya ini dan itu
sebenarnya memberitahukan kepada kita bahwa tindakan seperti itu adalah
jelek, maka dengan sebab tersebut (tindakan keluar atau menentang
penguasa) sudah banyak darah orang Muslim yang ditumpahkan dan
disia-siakan dengan tanpa faidah, khususnya yang berkaitan dengan
keluarnya Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha. Sayidah Aisyah radhiallahu
‘anha menyesal atas keluarnya ia, dan ia menangis dengan sangat sehingga
kerudungnya menjadi basah, dan ia berharap untuk tidak bertindak
seperti itu lagi.
Sesungguhnya berhujjah dengan realita sejarah seperti ini:
# Pertama : Ini adalah merupakan hujjah atas mereka, karena ini tidak mendatangkan faidah.
# Kedua: Mengapa kita berpegang teguh
atau berhujjah dengan keluarnya Said bin Zubair dan tidak mau berhujjah
dengan tidak keluarnya para senior dari kalangan sahabat yang hidup pada
zamannya seperti Ibnu Umar dan yang lainnya, kemudian diikuti oleh para
ulama salafus salih, mereka semuanya tidak keluar atau tidak menentang
para penguasa.
Jadi disana ada dua tindakan keluar atau menentang penguasa:
* Tindakan keluar dalam bentuk pemikiran, dan ini lebih berbahaya.
* Tindakan keluar dalam bentuk aksi, dan ini merupakan buah dari yang pertama (pemikiran).
Maka tindakan keluar seperti ini tidak dibolehkan, dan dalil-dalil yang disebutkan tadi adalah dalil atas mereka dan bukan merupakan dalil bagi mereka.
Syubhat Ketiga: Penentangan Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu
Syekh Ibnu Jibrin ditanya tentang syubhat ini, nashnya sebagai berikut:
"Dalam akidah Ahli Sunnah dikatakan,
"Kita tidak boleh keluar dari penguasa," maka bagaimana engkau
menafsirkan perkataan ini dengan perbuatan Husain bin Ali radhiallahu
‘anhu ketika ia keluar atau menentang terhadap salah seorang khalifah
Umawiyah? (Ket : Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz
8.)
Maka beliau menjawab tentang syubhat ini:
* Pertama: Bahwasanya Husain radhiallahu
‘anhu telah bersalah dengan tindakan keluarnya, dan terjadilah apa yang
telah terjadi dari pembunuhan dirinya dan orang-orang yang bersamanya.
* Kedua: Bahwasanya Husain radhiallahu
‘anhu tidak membai'at Khalifah Yazid bin Muawiyah ketika itu, karena
telah tersebar luas atau masyhur bahwasanya Yazid bin Muawiyah orangnya
tidak punya malu dan bermaksiat, ia meminum khomr (arak), dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang mendorong Husain, Ibnu Zubair dan banyak dari
orang-orang Mekkah untuk tidak membai'atnya.
* Ketiga: Bahwasanya penduduk Irak yang
menulis surat kepada Husain dan memintanya untuk datang kepada mereka
untuk membai'atnya sebagai Khalifah, mereka tidak membai'at Yazid, maka
mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami pasti akan membai'atmu wahai
Husain, dan kamu akan menjadi khalifah sebagai pengganti ayahmu. kamu
tinggal bersama kami dan kami akan menolong serta memperkuatmu". Tetapi
mereka tidak menepati hal itu, bahkan mereka berpaling darinya ketika
datang kepadanya kelompok tentara yang akan membunuhnya.
Syubhat Keempat: Keluarnya Mahdi al-Muntadzar pada akhir zaman
Syekh Ibnu Jibrin ditanya tentang syubhat berikut:
Ketika Mahdi al-Muntadzor keluar pada
akhir zaman nanti apakah dikatagorikan menentang atau berpaling dari
penguasa pada zaman itu? Padahal menentang penguasa tidak diperbolekan ?
(Ket : Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah juz 2).
Beliau menjawab, "Tidak demikian.
Dikatakan, ‘Mahdi al-Muntadzor akan keluar atau turun pada waktu di mana
waktu tersebut tidak ada pemimpin, dan ini telah disepakati, Mahdi
al-Muntadzor ketika itu sebagai seorang alim yang diikuti karena
ilmunya. Dan para pemimpin sebagai pelaksana sebagaimana pada kebanyakan
zaman, maka banyak sekali zaman di mana para pemimpin atau Khalifah
berada pada posisi sebagai pelaksana atau penegak bagi hukum-hukum, dan
ia memiliki para ulama, masyayikh (syaikh-syaikh) dan yang lainnya yang
mana posisinya sebagai petunjuk bagi para pemimpin yang mengarahkannya
dan menunjukannya pada dalil, sehingga para pemimpin dengan peranannya
melaksanakan perintah dan yang lainnya (dari para ulama), maka boleh
jadi Mahdi al-Muntadzor seperti itu, dan disana juga ada para pemimpin
yang melaksanakan apa yang dikatakan para ulama, Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.