Jumat, 09 Desember 2011

Salah Kaprah Dalam Memperjuangkan Islam

Bagian Kelima
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

KEDUA : FENOMENA MENENTANG PENGUASA
Sesungguhnya fenomena menentang penguasa, merupakan fenomena lama yang merupakan buah dari tindakan menghukumi penguasa yang menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah (al-Qur'an) yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam zaman dahulu dan diikuti oleh sebagian kelompok pada zaman sekarang. Hal yang demikian itu karena mereka mengatakan sesungguhnya penguasa yang tidak memerintah dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir berdasarkan firman Allah, "Dan barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir " (al-Maidah: 44) dengan tanpa perincian (Ket : Telah terbit kepada kami buku yang berjudul "Fitnatut Takfir" karya Imam al-Albani dengan pujian dari Imam Abdullah Bin Baz dan komentar Ibnu Utsaimin di dalamnya terdapat perincian ilmiah serta mendalam untuk masalah pengkafiran dan masalah meng-hukumi dengan selain yang diturunkan Allah, dan telah dicetak untuk yang kedua kalinya dengan cetakan baru, dikaji ulang dan dibenarkan oleh Imam al-Albani dan Ibnu Utsaimin dan terdapat tambahan yang baik dan bermanfaat)
Kelompok ini telah berpendapat untuk menentang penguasa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah dan berpendapat pula untuk menghalalkan darah dan hartanya, dan barangkali termasuk kehormatannya dalam sebagian kondisi. Dan mengintimidasi penguasa tersebut untuk melepaskan kekuasaannya untuk digantikan dengan yang lain, atau kembali sadar kemudian menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah dan semua itu dikarenakan ia kafir.
Dan disini kita bertanya-tanya, "Apakah boleh menentang penguasa yang tidak memerintah dengan apa yang diturunkan oleh Allah tanpa perincian? Apakah ia kafir, zalim, atau fasik?" Maka apabila ia zalim atau fasik apakah boleh menentangnya? Atau harus bersabar dan memperhitungkan? Dan apabila ia kafir apakah boleh juga menentangnya? Atau harus berdasarkan syarat-syarat tertentu?"
Atas pertanyaan-pertanyaan ini kami menjawab, "Para ulama telah menetapkan kriteria dan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada penguasa yang akan ditentang, dan syarat-syarat ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana pada hadits Ubadah Bin Shomit radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, "Kami membai'at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap mendengar dan menaati dalam kondisi semangat maupun terpaksa dan dalam kondisi susah ataupun senang dan kita harus memprioritaskannya, dan tidak boleh menentang urusan terhadap ahlinya." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانْ
"Kecuali apabila kamu sekalian melihat kekufuran yang nyata maka bagi kalian telah ada penjelasannya dari Allah." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No 7056 dan Imam Muslim No. 1841).)
Syaikh Ibnu Utsaimin telah menjelaskan syarat-syarat ini, ia berkata, (Ket: Kitab as-Sahwah al-Islamiyah Dawabit-wa-Taujihat halaman 286, 287 cetakan ketiga.) "Hendaklah diketahui bahwasanya menentang penguasa tidak dibolehkan kecuali dengan syarat-syarat berikut:
* Hendaknya "melihat", yakni mengetahui dengan yakin bahwa penguasa tersebut melakukan kekufuran.
* Hendaknya yang diperbuat oleh penguasa itu adalah "kekufuran", adapun kefasikan maka tidak boleh ditentang dengan alasan kefasikan tersebut walaupun besar.
* Hendaknya kekufuran tersebut "nyata", yakni memberikan kejelasan tanpa ada kemungkinan untuk ditakwilkan.
* "Bagi kalian dalam permasalahan ini telah ada penjelasannya dari Allah Ta'ala", yakni berdasarkan atas dalil yang pasti dari kitab dan sunnah atau kesepakatan ummat.
Maka syarat-syarat ini ada empat. Adapun syarat yang kelimanya diambil dari dasar-dasar yang umum untuk agama Islam, yaitu kemampuan mereka yang menentang untuk menjatuhkan penguasa, karena apabila mereka tidak memiliki kekuatan maka urusannya atau permasalahannya akan berbalik menjadi merugikan bagi mereka dan tidak menguntungkannya, maka bahayanya akan lebih besar dari bahaya yang ditimbulkan oleh sikap diam diri terhadap penguasa ini sehingga kelompok lain yang menuntut tegaknya Islam menjadi kuat.
Fatwa-Fatwa Dan Perkataan Para Ulama Dalam Permasalah Menentang Para Penguasa
Setelah kita mengetahui syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk menentang penguasa Muslim yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, sekarang kita sampai kepada fatwa-fatwa dan perkataan-perkataan para ulama sekitar permasalahan menentang penguasa supaya permasalahannya menjadi jelas dan nyata bagi kebanyakan orang-orang yang melupakannya.

Imam al-Albani ditanya, "Apakah boleh menentang penguasa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah." (Ket : Kapankah disyari'atkan untuk menentang penguasa? Kaset rekaman Imam al-Bani No. 606).) Maka beliau menjawab, "Siapa pun penguasa pada zaman sekarang dari penguasa-penguasa Muslim yang tidak kelihatan jelas dari mereka kekufuran yang nyata, maka tidak boleh menentangnya walaupun tidak dibai'at dengan syarat-syarat yang telah disebutkan. Kami mengatakan siapa pun yang menjadi penguasa muslim pada zaman sekarang dan ia tidak merpelihatkan kekufuran yang nyata, maka tidak boleh bagi setiap kelompok dari kelompok-kelompok Muslim untuk menentangnya. Hal itu dikarenakan telah terjadi pada sejarah Islam bahwasanya banyak dari kalangan para penentang, mereka menentang penguasa yang dibai'at kemudian kekuasaan tersebut tetap berada di tangan mereka (penguasa) bersamaan dengan penentangan dan permusuhannya (para penentang). Para ulama Muslim tidak membolehkan menentang mereka, dan itu semua termasuk ke dalam kategori menjaga pertumpahan darah kaum Muslimin dengan sia-sia.
Bahkan sekarang saya katakan walaupun di sana ada seorang Penguasa Muslim, walaupun hanya secara geografi atau persaksian diri saja, maka pendapat saya secara pribadi bahwasanya tidak boleh menentangnya kecuali dengan syarat yang banyak sekali:
Yang pertama dan terpenting: Kaum Muslimin telah mempersiapkan dirinya untuk menentang penguasa tersebut. Masalah ini memiliki pembahasan yang rinci. Saya kira pembahasan ini telah disebutkan dalam sebagian kaset. Untuk mewujudkan apa yang kami ungkapkan dengan dua kalimat yang ringkas "Tashfiyah dan Tarbiyah."
Maksudnya, ketika kaum Muslimin berkumpul di suatu negara, di suatu daerah hendaklah mereka melakukan pemurnian dan pendidikan. Dan yang termasuk aktivitas pendidikan adalah mengamalkan nash-nash yang memerintahkannya baik dari kitab ataupun sunnah, di antaranya firman Allah, "Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kamu mampu dari kekuatan." (Al-Anfal: 60).
Maka ketika kita mendapatkan kelompok seperti ini yang beristiqomah untuk menerapkan Islam yang telah dimurnikan, dan dididik berdasarkan Islam yang dimurnikan ini, kemudian melakukan persiapan-persiapan maknawiyah (ruhiyah) dan materi, ketika itu kita katakan boleh menentang penguasa ini yang menyatakan diri dengan kekufuran yang jelas, tetapi harus berdasarkan syarat juga, yaitu memperingatkannya dan tidak menghilangkannya dengan cara yang disebut revolusi atau kudeta atau yang lainnya. Ini pun dalam masalah i'tiqadi (keyakinan) dan apa yang saya pahami dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kita tidak membolehkannya kecuali dengan syarat ini. Saya berkeyakinan bahwasanya dalam tindakan revolusi dari sebagian kelompok Islam di sebagian negara Islam, mulai dari kelompok Juhaiman di Mekkah, juhaiman Jama'ah Takfir dan Hijrah di Mesir, juga kelompok Marwan Hadid di Suria, kemudian sekarang di Aljazair juga kita mengatakan bahwasanya ini tidak boleh karena mereka sebagaimana yang difirmankan Allah, yang artinya, "Dan apabila mereka mau berangkat niscaya mereka akan menyiapkan persiapan." (at-Taubat: 46) dan kita memiliki pembicaraan yang panjang untuk orang-orang Aljazair barangkali disana telah diabadikan dalam sebagian rekaman. Jadi, akhir dari pertanyaan ini kita tidak membolehkan untuk menentang penguasa secara mutlak pada zaman sekarang karena akan mengakibatkan pertumpahan darah kaum Muslimin tanpa ada faidah, bahkan mengakibatkan bahaya-bahaya yang dampaknya tersebar di kalangan masyaratakat Islam.
Dalam suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Syaikh Abdullah Bin Baz ini teksnya (Ket : Imam Abdullah Bin Baz, Muroja'at Fi Fiqhil wa-qi' Assyiyasi walfikri karangan Dr. Abdullah Rifa'i halaman 24-26), "Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar yang dilakukan penguasa, mengharuskan untuk menentang mereka dan berusaha untuk menggantinya, meskipun akan berakibat bahaya bagi orang Muslim di suatu negara. Dan kejadian yang dirasakan oleh dunia Islam kita adalah banyak, maka apakah pendapat yang mulia?"
Maka beliau menjawab, "Allah Ta'ala berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul juga pemimpin kamu sekalian, maka apabila kamu sekalian berselisih pada suatu urusan hendaklah dikembalikan kepada Allah dan rasul apabila kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari akhir yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya." (Annisa: 59). Ayat ini menyatakan wajibnya taat kepada pemimpin, mereka adalah para penguasa dan ulama. Dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dijelaskan bahwa ketaatan ini mesti dan ketaatan ini merupakan kewajiban dalam hal yang ma'ruf.
Ayat tadi memberikan faidah bahwa maksud darinya menaati mereka (penguasa) dalam hal yang ma'ruf. Maka bagi kaum Muslimin wajib untuk menaati para penguasa dalam hal yang ma'ruf dan bukan dalam kemaksiatan. Apabila para penguasa memerintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh ditaati, tetapi tidak dilanjutkan dengan tindakan menentang mereka dengan sebab kemaksiatan ter-sebut karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهُ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ, وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ, فَإِنْ خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ مَاتَ مَيْتَةً الْجَاهِلِيَّةِ
"Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya suatu maksiat terhadap Allah maka hendaklah ia membenci kemaksiatan kepada Allah tersebut, dan tidak melepaskan tangan dari ketaatan, maka sesungguhnya orang yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama'ah maka ia mati dalam keadaan jahiliyah." (Ket: Dikeluarkan oleh Imam Muslim No. 1855 halaman 66, sampai kepada kalimat "dan tidak boleh melepaskan tangan dari ketaatan" dari hadist Auf Bin Malik radhiallahu ‘anhu. Adapun perkataan, "Sesungguhnya orang yang keluar dari ketaatan .dst dikeluarkan oleh Imam Bukhari No 7053 dan Imam Muslim No. 1849 dari hadist Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu.)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَليَ الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ, فِي الْمَيْسِرْ وَالْعُسْرِ, فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ, إِلاَّ أَنْ يُأْمَر بِمَعْصِيَةِ اللهِ, فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
"Hendaklah seseorang mendengar dan mentaati pada sesuatu yang disukai dan dibenci dalam keadaan gampang dan susah, dalam keadaan rela dan terpaksa, kecuali apabila diperintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Maka apabila ia diperintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, tidak boleh didengar dan ditaati." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 7144 dan Imam Muslim No.1839 dari hadist Abdullah Bin Umar radhiallahu ‘anhuma, dan tidak didapatkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim perkataan atau kalimat: "dalam keadaan gampang dan susah, dalam keadaan rela dan terpaksa".) Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, -ketika beliau menyebutkan bahwasanya ada penguasa yang mereka mengetahuinya dan mengingkarinya- para sahabat bertanya, "Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
أَدُّوْا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَاسْأَلُوْا اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
"Laksanakanlah kewajiban kamu terhadap mereka (berikanlah hak-haknya) dan mohonlah kepada Allah yang merupakan hak kamu sekalian." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 7052 dan Imam Muslim No. 1843.)
Dan Ubadah radhiallahu ‘anhu berkata, "Kami membai'at (berjanji setia) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menentang urusan dari ahlinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian telah memiliki dalil yang jelas dari Allah Ta'ala." Hadits ini menunjukan bahwasanya mereka tidak boleh menentang penguasa dan tidak boleh berpaling darinya kecuali apabila mereka melihat kekafiran yang nyata pada penguasa tersebut dan dalam masalah tersebut telah ada dalil yang jelas dari Allah.
Hal itu tiada lain karena bahwasanya berpaling dari penguasa akan mengakibatkan kerusakan dan kejelekan yang besar, maka akan menggantikan keamanan dan menghilangkan hak-hak juga tidak akan membuat jera bagi orang zalim dan tidak akan menolong orang yang dizalimi, dan jalan-jalan akan menjadi rusak dan tidak aman, yang kemudian akan berdampak tindakan berpaling dari penguasa tersebut kepada kerusaan dan kejelekan yang besar.
Kecuali apabila orang Muslim melihat kekufuran yang nyata dari mereka, maka telah ada dalilnya dari Allah maka dibolehkan untuk menentang para penguasa ini untuk menumbangkan kekuasaannya apabila mereka memiliki kemampuan. Namun jika mereka tidak memiliki kemampuan. maka tidak boleh menentangnya. Atau apabila sikap menentang tersebut akan mengakibatkan kejelekan yang lebih banyak, maka tidak boleh menentang demi mempertahankan kemaslahatan umum. Ada kaidah syariat yang telah disepakati, "Sesungguhnya tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan ke-jelekan yang lebih besar." Tetapi harus menghilangkan kejelekan dengan sesuatu yang bisa menghilangkannya atau paling tidak meminimalisirnya. Adapun menghilangkan kejelekan dengan kejelekan yang lebih banyak maka ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepa-katan kaum Muslimin.
Apabila kelompok yang menginginkan untuk menghilangkan penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata ini, dan mereka memiliki kemampuan untuk menumbangkannya, dan menetapkan pemimpin yang saleh serta baik tanpa berkonsekuensi kerusakan yang besar terhadap kaum Muslimin dan kejelekan yang lebih besar dari kejelekan-kejelekan penguasa ini, maka tidak apa-apa (menentangnya).
Adapun jika sikap menentang tersebut berkonsekuensi pada kerusakan yang besar, dan hilangnya keamanan serta mengakibatkan kezaliman terhadap manusia dan pembunuhan terhadap orang yang tidak berhak untuk dibunuh dan kerusakan-kerusakan yang besar lainnya, maka ini tidak boleh. Maka ia harus bersabar, mendengarkan, dan menaati dalam hal yang ma'ruf, kemudian menasihati penguasa tersebut dan mengajaknya kepada kebaikan, dan berusaha keras untuk meminimalisir dan mengurangi kejelekan serta memperbanyak kebaikan, inilah jalan yang lurus yang harus ditempuh.
Karena pada yang demikian itu terdapat kemaslahatan bagi kaum Muslimin secara umum dan pada yang demikian itu terkandung usaha untuk meminimalisir kejelekan dan memperbanyak kebaikan. Juga, pada yang demikian ini mengandung makna menjaga keamanan dan keselamatan kaum Muslimin dari kejelekan yang lebih banyak.
Yang mulia Syaikh Abdullah Bin Jibrin ditanya, "Apabila penguasa itu menghalangi manusia dari kebaikan dan membiarkan untuk kejelekan dengan segala sarananya apakah boleh untuk menentangnya?" (Ket: Majmu Fatawwa wa-Rasa-il Syekh Ibn Jibrin al-Akidah Juz ke-8)
Maka beliau menjawab, "Kami menasihatkan untuk tidak menentang walaupun keadaan penguasa sudah seperti ini, hal itu dikarenakan dalam tindakan menentang terdapat kejelekan yang besar. Kami katakan, ‘Hendaklah kamu mendengar dan menaati walaupun penguasa itu memukul punggungmu dan mengambil hartamu sebagaimana disebutkan dalam hadits." (Ket: potongan dari hadist yang dikeluarkan oleh Imam Muslim No. 1847 - 52 dari Hudzaifah Bin Yaman y dan lihatlah hadistnya secara terperinci dengan riwayatnya pada halaman 176.) Dan telah dinyatakan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk taat dan menganjurkan untuk bersabar atasnya dan beliau berkata,
إِنَّ عَليَ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي الْعُسْرِ وَالَيُسْرِ, و الأَثَرَةُ فِي عُسْرِكَ وَ يُسْرِكَ, وَ أَثَرَةٌ عَلَيْكَ, وَأَنْ تَسْمَعَ وتُطِيْعََ
"Sesungguhnya atas orang muslim mendengar dan mentaati dalam keadaan susah dan gampang dan memprioritaskan dalam keadaan susahmu dan mudahmu, dan hendaklah memprioritaskan atas kamu, dan hendaklah kamu mendengar dan mentaati." (Ket: Yang demikian itu terdapat dalam banyak hadist diantaranya hadist Ubadah Bin Shomit y ia berkata ‘kami berjanji setia kepada Rasulullah a untuk mendengar dan menaati dalam keadaan rela dan terpaksa, susah dan mudah, dan memprioritaskan pada kami dan untuk tidak menentang urusan terhadap ahlinya" Rasulullah a berkata, "kecuali apabila kamu melihat kekufuran yang nyata maka kamu sudah memilki dalilnya dari Allah" dan diantaranya juga hadist Hudzaifah y yang panjang di dalamnya terdapat perkataan,"hendaklah kamu men-dengar dan taat kepada penguasa, walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka hendaklah kamu mendengarkan dan menaati. Dan akan datang hadits yang terperinci dengan riwayatnya.)
Yang penting, selama tidak terlihat adanya kekufuran yang nyata mereka telah memilki dalilnya dari Allah. (Ket : Hadits Ubadah Bin Shomit radhiallahu ‘anhu yang terdahulu)
Sebagai contoh dari perbuatan-perbuatan ini, misalnya ada hakim yang menentang orang yang melakukan kebaikan dan mendukung orang yang melakukan kejahatan. Selama ia sebagai penguasa dan memiliki kekuatan serta pelindung, maka tindakan berpaling darinya akan mengakibatkan fitnah-fitnah, dan akan mengakibatkan pembunuhan di kalangan kaum Muslimin juga akan mengakibatkan bahaya-bahaya. Maka yang harus dilakukan adalah bersabar atas penguasa tersebut sampai ia mendapatkan petunjuk, dan begitu juga menyebarkan dakwah Islamiyah dan kebaikan-kebaikan Islam adalah lebih utama bagi kaum Muslimin.
Abdullah Bin Jibrin ditanya pula, "Para kawula muda yang tinggal di sebagian negara yang menghukumi dengan selain syari'at Allah, mereka mendapatkan kekufuran yang nyata, baik dari media informasi atau yang lainnya. Maka apakah nasihat yang mulia untuk saudara di sana dalam permasalahan keterburu-buruan atau ingin segera dan yang lainnya? Apakah boleh bagi kaum Muslimin yang diperintah oleh pemerintah kafir yang mengumumkan atau menyatakan kekafirannya melalui sarana informasi, dan membolehkan yang diharamkan, dan lain sebagainya dari masalah-masalah kekufuran, apakah boleh untuk menentangnya?" (Majmu Fatawa wa-Rasa'il Syaikh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz ke-8-Manuskrip)
Beliau menjawab, "Kami melihat bahwasanya mereka tidak bisa keluar atau menentang selama mereka tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki pelindung dan kekuatan itu berada pada negara, tetapi apabila (yang ingin menentang penguasa) mampu untuk berdikari dan mengasingkan diri pada suatu kampung atau suatu tempat, seperti halnya orang-orang yang berhijrah yang memisahkan diri dari negara kemudian mereka mengurusi urusan mereka dengan dirinya sendiri, sehingga tidak berada di bawah kekuasaan negara kafir, maka hal itu adalah lebih utama. Tetapi apabila mereka belum mampu hendaklah mereka bersabar dan mengabdi kepada Allah sesuai dengan kemampuan mereka, melakukan ibadahnya, serta merealisasikan apa yang diperintahkan dan mengingkari dengan hatinya, kemudian mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya ini adalah kemungkaran dan kami mengingkarinya." Cukuplah dengan seperti itu, daripada mengeluarkan senjata yang akan menghinakan mereka, merendahkan perkataan orang yang melakukan kebaikan, menimbulkan tekanan dari pemerintah terhadap setiap orang yang memperlihatkan sikap komitmen terhadap agama dan kebaikan, juga akan melahirkan tuduhan-tuduhan bahwasanya orang Muslimlah yang melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka adalah teroris dan ekstrimis, mereka hidup di bumi dengan melakukan kerusakan, atau dengan sebab kekerasan sebagian mereka terhadap sebagian negara, maka timbulah keba-nyakan dari negara melontarkan tuduhannya kepada orang yang konsisten dengan agama dan kebaikan maka mereka menjadikannya sebagai bahaya laten bagi negara, dan setiap orang yang dilihatnya konsisten dan berpegang teguh kepada agama, mereka mengatakan inilah orang-orang yang berusaha untuk melakukan kudeta, atau berusaha untuk menentang pemerintahan, atau mengumpulkan para revolusioner untuk melakukan revolusi. Kalau sekiranya mereka membiarkan perkara tersebut, dan mereka menyembah Allah Ta'ala mengingkari perkara tersebut dengan hatinya, melakukan perbaikan terhadap kondisi mereka dan kondisi orang-orang yang berada di bawah kendalinya, gencar menyebarkan Islam dalam bentuk yang nyata, dan menjelaskan kebaikan-kebaikannya serta senantiasa konsisten dengannya. Mereka meninggalkan negara dan segala urusannya juga membiarkan negara dengan aktivitas dan tindakannya apabila negara atau pemerintah tidak menerima nasihat dari mereka dan mereka tidak bisa memperbaikinya, maka dalam tindakan seperti itu terdapat keutamaan yang banyak, dan kondisi akan senantiasa berbeda sesuai dengan realita yang ada.
Yang mulia Abdullah Bin Jibrin berkata pula (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin bab al-Akidah Juz 2), "Telah disebutkan dalil-dalil yang banyak tentang kewajiban mendengar dan taat kepada para penguasa dan para pemimpin kaum Muslimin, karena dalam persatuan dan kesatuan terkandung kekuatan dan kemaslahatan umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan para sahabatnya untuk mengikuti dan menaati para pemimpin mereka, seperti sabdanya,
إِسْمَعْ وَ أَطِعْ وَ إِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَ أَخَذَ مَالَكَ
‘Dengarkanlah dan taatilah walaupun ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu' beliau menyuruh untuk mendengar dan menaati pemimpin dalam keadaan susah dan senang, dalam keadaan rela dan terpaksa dan mengutamakan mereka (Yang seperti ini terdapat dalam hadits Ubadah Bin Samit radhiallahu ‘anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Ansar, "Sesungguhnya kalian akan mendapatkan setelah aku keegoisan, maka berasabarlah sehingga kamu sekalian mendapatkan aku pada suatu danau (al-Haudh).' (Ket: Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 5860 dan Imam Muslim No, 1059 dari Annas Bin Malik radhiallahu ‘anhu dan di dalam hadist tersebut terdapat perkataan, ...sesungguhnya kamu sekalian akan mendapatkan keegoisan yang sangat, maka bersabarlah sehingga kamu bertemu dengan Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku berada pada suatu danau.' Para sahabat berkata, "Kami akan bersabar." dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 4330 dan oleh Imam Muslim No. 1061 dari Abdullah Bin Zaid radhiallahu ‘anhu di dalamnya terdapat perkataan, ".sesungguhnya kamu sekalian akan mendapatkan setelah aku keegoisan, maka bersabarlah sehingga kamu sekalian bertemu denganku pada suatu danau(al-Haudh).") Para Imam kaum Muslimin seperti Imam Ahmad dan yang lainnya memperingatkan terhadap sikap atau tindakan keluar dari ketaatan, karena dengan sebab itu terjadilah pembunuhan, pemenjaraan, dan akan melemahkan kaum Muslimin, menghinakan, serta merendahkan mereka.
Telah muncul dari banyak penguasa pada permulaan Islam dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan munkar, yang menjadi sebab bagi sebagian kelompok untuk melepaskan diri, atau mencabut bai'at (janji setianya). Maka dengan sebab itu terjadilah fitnah-fitnah dan peperangan besar, sesungguhnya penduduk Madinah melepaskan bai'at atau janji setia mereka terhadap Yazid Bin Mu'awiyah dan memperlihatkan sikap menentang kepadanya. Karena dengan sebab melakukan berbagai perbuatan yang diharamkan seperti pembunuhan Husain bin Ali dan lain sebagainya, maka diutuslah kepada mereka (penduduk Madinah) bala tentara yang banyak, kemudian terjadilah peperangan bebas yang terkenal, yang mana di dalamnya terbunuh beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang tidak berdosa, dan banyak pula kehormatan yang dilanggar.
Begitu pula fitnah Ibnul Asy'asts (Akan datang kisah tentang fitnah Ibnul al-Asyt secara terperinci) yang mencopot kekuasan Hajjaj atas Irak, kemudian melepaskan janji setia terhadap khalifah, maka terbunuhlah dengan sebab itu puluhann ribu orang.
Maka berdasarkan ini kami berkata, "Sesungguhnya pada ketaatan dan sikap berserah diri terhadap penguasa terdapat keutamaan yang banyak, seperti keamanan, ketentraman, dan keistiqomahan untuk melakukan ibadah, menuntut ilmu, dan berdakwah kepada Allah dengan cara yang baik walaupun didapatkan pada penguasa tersebut sesuatu penyimpangan yang merusak agama dan keadilan juga apa-apa yang mereka lihat bahwa di dalamnya akan mendatangkan kemaslahatan."
Kemudian orang yang mengadopsi ide pengkafiran pada zaman sekarang, mayoritasnya adalah orang yang pemahamannya dangkal dan pemikirannya lemah, serta mereka tidak meneliti secara mendalam terhadap dalil-dalil juga terhadap dampak dan akibat dari ide atau pemikiran tersebut mereka hanya melihat nash-nash yang mengandung ancaman dan hanya melihat dalil secara zhahir. Mereka juga melihat pada penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran dan apa yang mereka saksikan dari keharaman dan tersebar luasnya kemaksiatan. Mereka membaca dalam sejarah kehidupan para sahabat dan apa yang mereka lakukan pada zamannya, seperti perkumpulan, publikasi syi'ar-syi'ar Islam, keteguhan orang-orang yang taat, dan kekuatan Islam serta kejelasannya. Maka muncullah dari penglihatan ini ide untuk mengkafirkan orang yang hidup pada zaman tersebut dikarenakan apa yang telah mereka lakukan dari penyimpangan atau pelanggaran, dan pemahaman mereka (yang mengkafirkan) sangat dangkal pula terhadap dampak atau konsekuensi yang akan terjadi dengan sebab pengkafiran, penentangan terhadap penguasa, dan dari apa yang dianjurkan oleh penguasa seperti pembunuhan, pengusiran, dan penekanan yang akan melemahkan keislaman. Mereka (yang mengafirkan) akan dijebloskan ke dalam penjara yang gelap. Dan setiap orang yang bersemangat untuk menerapkan ajaran agama Islam akan dituduh bahwa ia adalah fundamentalis atau teroris. Mereka akan dituduh pula dengan sebutan berlebihan, keras, dan saklek, atau dengan tuduhan mengkafirkan umat dan akidah khawarij yang menganggap atau menjadikan sikap memberi maaf terhadap dosa-dosa adalah kufur.
Tidak diragukan lagi bahwasanya pemikiran ini adalah salah. Ketika para penguasa dapat menjaga negara dan penduduknya, dapat menguasai orang yang bertindak bodoh dan zalim, menghukum orang yang melakukan aniaya terhadap hak orang lain, dengan merampas, mencuri atau memanfaatkan kekuatannya terhadap orang yang lebih lemah, maka terjadilah kekacauan secara menyeluruh, dan kerusakan menjadi tersebar luas, sehingga yang lemah pun akan menjadi bulan-bulanan bagi orang yang kuat, dan hukum-hukum akan menjadi mandul (tidak dilaksanakan), perzinahan akan semakin banyak, pencurian, ghashab (menggunakan hak orang lain tanpa izin), dan monopoli hak-hak manusia dengan jalan yang tidak benar. Tidak diragukan lagi bahwa kekacauan ini merupakan sebab bagi timbulnya rasa takut, cemas, dan kelemahan pada manusia untuk bisa menghadapi atau melawan orang yang melakukan aniaya terhadap keluarga, harta atau dirinya, maka para penguasa dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekuatan, kedudukan yang tinggi, dan eksistensi di muka bumi mereka akan mampu menangkap orang-orang jahat, dan menghukum setiap orang yang didorong oleh hawa nafsunya untuk melakukan kezaliman, kesombongan, dan menguasai sesuatu yang tidak dihalalkan baginya dengan cara yang tidak benar.
Karena itu, kami katakan, "Sesungguhnya yang harus dilakukan adalah menghukum orang yang dikuasai atau dikalahkan oleh pemikiran seperti ini dan meyakini ide pengkafiran, baik terhadap individu atau kelompok atau negara, dan memberikan kepuasan kepada mereka (yang mengkafirkan) bahwasannya ini adalah pemikiran yang salah. Sesungguhnya yang wajib bagi orang Muslim adalah mendengar dan menaati serta tetap berada dalam jamaah, dan berusaha untuk melakukan perbaikan, mengajak atau berdakwah kepada yang baik dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik, serta melakukan penentangan dengan cara yang terbaik, kemudian menghindari tindakan untuk mengatakan kepada orang lain kafir, fasik, dan bid'ah dengan tanpa didasari oleh dalil, dan dengan sebab itu perkataannya akan menjadi lurus, keamanan akan stabil, dan kesejahteraan pun akan menyeluruh begitu pula orang Muslim akan merasa aman dan nyaman dalam kehidupannya. Mereka akan istiqamah dalam beribadah kepada Tuhannya dan dalam melaksanakan hak-hak-Nya pada sisa-sisa kehidupannya sehingga datanglah janji Allah kepada mereka, Wallahu a'lam."
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya pula, "Sebagian orang berpendapat bahwa peledakan, pembunuhan, dan pengrusakan adalah merupakan kewajiban untuk melawan penguasa, dengan dalil bahwa penguasa tersebut tidak menghukumi atau memerintah dengan apa yang diturunkan Allah. Dan mereka menilai si hakim dalam kondisi ini sebagai kafir, maka wajib untuk ditentang, dengan melakukan pene-kanan kepadanya agar melepaskan kekuasaannya dan digantikan oleh yang lain. Anda akan mendapatkan mereka melakukan peledakan pada sebagian lembaga-lembaga milik negara atau swasta, atau mereka membunuh sebagian orang yang memiliki tanggung jawab bekerja pada pemerintah, maka apakah pendapat yang mulia dari tindakan tersebut? Kemudian kami mengharap dari yang mulia nasihat untuk para kaum muda dalam rangka menjadikan kitabullah dan as-sunnah sebagai hukum, dan agar mereka kembali kepada orang yang terdahulu dari umat ini dalam memahami kitab dan sunnah, kemudian menggunakan akal dan analisa mereka untuk kemaslahatan umum?" (Majmu Fattawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz-2 Manuskrip.)
Beliau menjawab, "Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini diharamkan, karena di dalamnya terkandung unsur pengrusakan, membahayakan masyarakat, dan unsur kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya. Walaupun terbukti bahwa penguasa itu tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, tetapi apabila dampak dari perbuatan tersebut adalah kesempitan, penekanan dan akibat-akibat yang berat, maka hakim [penguasa] tersebut akan melampiaskan kemarahannya terhadap orang yang memiliki sifat tersebut, yaitu yang melakukan pengrusakan ini dan yang melakukan perbuatan yang keji".
Para imam telah melarang terhadap sikap menentang penguasa, sekalipun mereka menyimpang, berbuat zalim, dan melakukan perubahan-perubahan (termasuk perubahan hukum). Sebab dari itu semua mereka menguasai atas orang-orang yang memperjuangkan kebaikan, membunuh mereka, serta memenjarakannya. Begitu pula para penguasa menuduh setiap orang yang mengikuti jalan mereka (orang yang melakukan perbaikan) dengan tuduhan bahwa ia adalah musuh bagi penguasa, sebagaimana mereka menyebutnya dengan teroris dan revolusioner.
Maka kami menasihati orang yang memperjuangkan kebaikan dan para kawula muda untuk tetap istiqomah dalam beramal salih sesuai dengan kemampuan, dan meninggalkan pengkafiran dan penyesatan (menyatakan orang lain sesat) sehingga kerusakan tidak menjadi besar dan tidak ada bahaya atas orang muslim apabila ia melakukan kewajibannya dan menasehati saudaranya yang Muslim. Kemudian, ia mencukupkan dirinya untuk memberikan nasihat, pe-ngarahan, menjelaskan kebenaran yang tidak ada syubhat (keraguan) di dalamnya, serta memberikan peringatan terhadap perbuatan yang menyalahi syari'at, bid'ah, dan tindakan mengada-ada. Allah lah Dzat yang memberikan petunjuk yang lurus."
Syubhat Atau Keragu-Raguan Yang Muncul Sekitar Permasalahan Menentang Penguasa Dan Bantahannya
Syubhat Pertama: Menentang Penguasa adalah Wajib Tanpa Melihat Kondisi Lemah.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang syubhat ini, "inilah nash aslinya," (Ket : Dinukil dari kaset rekaman dengan judul "Fitnatut Takfir" milik syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dengan komentar dari Syekh Muhammad Salih Utsaimin, lihatlah buku Fitnatut Takfir halaman 37) Ada syubhat di kalangan para pemuda yang mempengaruhi akalnya, dan menimbulkan pada mereka permasalahan menentang penguasa. Yaitu bahwasanya para penguasa mereka telah mengganti hukum Allah dan membuat undang-undang baru dari mereka sendiri. Mereka tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah padahal hukum Allah ada, bahkan mereka membuat undang-undang baru dari mereka sendiri, sehingga para pemuda menghukumi penguasa tersebut telah murtad dan kafir. Dengan dasar itu mereka menyatakan bahwasanya para penguasa selama mereka dalam keadaan kafir wajib diperangi dan tidak melihat kepada kondisi lemah, karena kondisi lemah ini telah dihapus dengan ayat saif (pedang). (Ket : yaitu firman Allah Ta'ala, "Apabila bulan-bulan haram itu telah selesai maka bunuhlah orang-orang musyrikin... sampai akhir ayat (at-Taubat: 5) Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat al-Qur'an ini adalah ayat saif, yang mana Dhahak Bin Ziham berkata padanya, "Sesungguhnya ayat ini telah menghapus setiap perjanjian antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setiap orang dari orang musyrikin juga setiap transaksi serta batas waktu, .(Tafsir Al-Qur'an Ibnu Katsir Juz 2 halaman 336) ). Maka tidak ada alasan lagi untuk mengamalkan kondisi lemah (sebagaimana mereka katakan) yang telah dialami oleh orang Muslim waktu di Mekkah. Kami mengharap penjelasan syubhat ini dan jawaban atasnya?
Beliau (Syaikh Ibnu Utsaimin) menjawab tentang syubhat ini dengan menyatakan, "Kita harus mengetahui terlebih dahulu, apakah pemberian sifat murtad itu cocok atau layak bagi mereka ataukah tidak? Hal ini membutuhkan pengetahuan tentang dalil yang menunjukan bahwa perkataan atau perbuatan ini adalah murtad, kemudian menerapkannya pada orang tertentu, dan apakah pada orang tersebut ada keraguan ataukah tidak.
Yakni, suatu nash terkadang menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah kufur, dan perkatan ini adalah kufur, namun di sana ada penghalang yang mencegah untuk menetapkan hukum kafir terhadap orang tertentu, dan penghalang-penghalang tersebut banyak di antaranya, prasangka -ini termasuk kebodohan-, kondisi terkuasai atau dikalahkan oleh perasaan tertentu.
Seorang laki-laki yang berkata kepada keluarganya, "Apabila aku mati, bakarlah aku dan tebarkanlah abunya di lautan. Sesungguhnya apabila Allah berkuasa atas aku, maka niscaya Dia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari makhluk-Nya." Secara zhahir akidah orang ini kufur karena meragukan kekuasaan Allah Ta'ala, tetapi Allah Ta'ala ketika mengumpulkannya dan berkata kepadanya, orang tersebut menjawab, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku takut kepada Engkau, atau perkataan serupa lainnya, maka Allah pun mengampuninya." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari no 3291 dan oleh Imam Muslim no 2757 dari Abi Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu.) Maka perbuatan ini merupakan takwil dari orang tersebut.
Yang serupa dengan hal tersebut itu adalah orang yang dikuasai oleh perasaan bahagia, kemudian ia menemukan untanya sambil berkata, "Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu." Perkataan ini adalah kufur, tetapi orang yang menyatakan ini tidak kafir karena ia sedang dikuasai perasaan bahagia. Karena ia dikuasai perasaan bahagia maka perkataannya menjadi salah, sebenarnya ia hendak menyatakan, "Ya Allah, Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu." (Ket : Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 6309 dan oleh Imam Muslim No. 2747 dari Annas Bin Malik y. Ibnul Qayim 5 berkata: dan di dalam hadits terdapat kaidah ilmu, "Sesung-guhnya lafazh yang salah dikeluarkan oleh lisan seseorang karena perasaan bahagia yang sangat atau perasaan marah yang sangat atau yang lainnya, maka ia tidak disiksa dengan sebab perkataannya, "Engkau hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.")
Orang yang dipaksa pada kekufuran, maka ia mengatakan perkataan kufur atau melakukan perbuatan kufur, tetapi ia tidak menjadi kafir karena ada nash al-Qur'an (Ket : Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa)." (al-Nahl: 106)) karena sebenarnya ia tidak menghendaki dan bukan atas keinginan sendiri.
Dan mereka para penguasa, kita mengetahui bahwa dalam masalah "Syakhshiyah" seperti nikah, warisan, dan yang lainnya, mereka menghukumi dengan apa yang ditunjukkan al-Qur'an sesuai dengan perbedaan madzhab-madzhab. Adapun dalam menghukumi di antara manusia, maka mereka berbeda (dengan apa yang ditunjukkan al-Qur'an).
Mereka memiliki syubhat yang didatangkan atau dibawa oleh sebagian ulama jahat, mereka berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian" (dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 2363 dari hadits Aisyah dan Tsabit dari Annas radhiallahu ‘anhu) ini adalah makna umum, maka setiap urusan yang termasuk dalam kategori urusan dunia kita mempunyai kebebasan di dalamnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
Ini adalah syubhat yang tidak diragukan lagi, tetapi apakah bisa dijadikan alasan bagi mereka untuk keluar dari undang-undang Islam dalam melaksanakan hukum Allah, mencegah minuman keras dan yang lainnya?
Walaupun dalam sebagian permasalahan ekonomi mereka memiliki syubhat, maka sesungguhnya ini tidak ada keraguan di dalamnya.
Adapun tentang kesulitan yang dilontarkan, maka dikatakan di dalamnya bahwa jika Allah setelah mewajibkan perang Dia berfirman, "Apabila di antara kalian ada 20 orang yang bersabar, niscaya akan dapat mengalahkan 200 orang dan apabila di antara kalian ada 100 orang niscaya akan dapat mengalahkan 1000 orang dari orang-orang kafir dikarenakan mereka tidak mengerti." Maka berapakah mereka? Mereka adalah satu berbanding sepuluh.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Sekarang Allah telah meringankan dari kamu sekalian, dan Allah mengetahui bahwa pada kamu sekalian ada kelemahan. Maka apabila di antara kamu sekalian ada 100 orang yang bersabar niscaya akan dapat mengalahkan 200 orang, dan apabila di antara kamu sekalian ada 1000 orang niscaya akan dapat mengalahkan 2000 orang dengan izin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar." (al-Anfal: 65).
Sebagian ulama berkata, "Sesungguhnya itu dalam kondisi lemah dan hukum itu senantiasa berbarengan dengan sebab atau alasannya. Maka setelah Allah mewajibkan atas mereka untuk bersabar dengan keadaan satu berbanding sepuluh, Allah Ta'ala berfirman, "Sekarang Allah telah meringankan atas kamu sekalian dan Allah mengetahui bahwa pada kamu sekalian ada kelemahan." (al-Anfal: 65).
Kemudian kita mengatakan, "Sesunguhnya kita memiliki nash-nash yang pasti yang menjelaskan dan menerangkan permasalahan-permasalahan ini. Di antaranya firman Allah Ta'ala, "Allah Ta'ala tidak membebani seseorang (dari hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuannya", Maka Allah Ta'ala tidak membebani seseorang dari (hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya, dan Allah Ta'ala berfirman pula, "Maka bertakwalah kamu sekalian kepada Allah Ta'ala sesuai dengan kemampuanmu." (at-Thaghabun: 16).
Maka apabila kita tetapkan bahwasanya tindakan keluar atau menentang terhadap penguasa sebagaimana yang telah disinggung adalah wajib, sesungguhnya bagi kita tidak wajib, sebab kita tidak mampu menghilangkannya. Maka masalahnya jelas, tetapi hawa nafsulah yang selalu membujuk pemiliknya.
Syubhat Kedua: Hujjah atau dalil dari sebagian orang dalam permasalahan menentang penguasa dengan menggunakan dalil realita sejarah
Syaikh Imam al-Albani telah ditanya tentang syubhat berikut (Ket : kapankah menentang penguasa ini disyari'atkan? Kaset rekaman milik Imam al-Albani no 606.), "Sebagian orang berdalil dengan apa yang terjadi dalam sejarah Islam, sebagaimana kisah Ibnul asy'at dan penentangan para Qurraa' yang diketuai Said bin Jubair dan orang-orang yang mengikutinya, juga apa yang terjadi pada Aisyah, Zubair dan Thalhah terhadap Ali radhiallahu ‘anhu. Sesungguhnya peristiwa ini dikategorikan penentangan, tetapi apa yang menjadi tujuan mereka tidak terwujud. Walaupun tindakan keluar [penentangan] ini merupakan suatu yang dibolehkan, maka apakah berdalil dengan kisah-kisah yang telah terjadi pada periode pertama ini dibenarkan? Dan apa jawabnya? Karena hal ini sering atau banyak digunakan demi membebaskan atau mengesahkan permasalahan menentang penguasa."
Imam al-Albani menjawab atas syubhat ini, "Keluar atau menentang penguasa tidak dibolehkan, dan dalil-dalil ini sebenarnya menimpa orang yang berhujjah dengannya dan bukan untuk kemaslahatannya sama sekali. Ada hikmah yang diriwayatkan dari Isa ‘Alaihis Salam, tidak begitu penting bagi kita keshahihan sanadnya tapi yang penting bagi kita adalah keshahihan maknanya, bahwasanya Isa ‘alihis salam pada suatu hari memberikan nasihat kepada para penolongnya dan memberitahukan mereka bahwa ada seorang Nabi yang akan menjadi Nabi terakhir, bahwasanya bersamaan dengan dia akan ada pula nabi-nabi palsu. Mereka bertanya, "Bagaimana kami dapat membedakan Nabi yang sesungguhnya dari Nabi yang palsu?" Maka ia menjawab dengan hikmah yang telah disebutkan, Yaitu dari buahnya kalian akan mengetahuinya.".
Maka tindakan keluar atau menentang penguasa, baik yang ini ataupun yang itu. Di antaranya adalah keluarnya Aisyah radhiallahu ‘anha, kita Menghukumi tindakan keluar ini dari buahnya, maka apakah buahnya ini ataukah manis?
Tidak diragukan lagi bahwasanya sejarah Islam yang menceritakan kepada kita tentang kisah keluarnya ini dan itu sebenarnya memberitahukan kepada kita bahwa tindakan seperti itu adalah jelek, maka dengan sebab tersebut (tindakan keluar atau menentang penguasa) sudah banyak darah orang Muslim yang ditumpahkan dan disia-siakan dengan tanpa faidah, khususnya yang berkaitan dengan keluarnya Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha. Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha menyesal atas keluarnya ia, dan ia menangis dengan sangat sehingga kerudungnya menjadi basah, dan ia berharap untuk tidak bertindak seperti itu lagi.
Sesungguhnya berhujjah dengan realita sejarah seperti ini:
# Pertama : Ini adalah merupakan hujjah atas mereka, karena ini tidak mendatangkan faidah.
# Kedua: Mengapa kita berpegang teguh atau berhujjah dengan keluarnya Said bin Zubair dan tidak mau berhujjah dengan tidak keluarnya para senior dari kalangan sahabat yang hidup pada zamannya seperti Ibnu Umar dan yang lainnya, kemudian diikuti oleh para ulama salafus salih, mereka semuanya tidak keluar atau tidak menentang para penguasa.
Jadi disana ada dua tindakan keluar atau menentang penguasa:
* Tindakan keluar dalam bentuk pemikiran, dan ini lebih berbahaya.
* Tindakan keluar dalam bentuk aksi, dan ini merupakan buah dari yang pertama (pemikiran).

Maka tindakan keluar seperti ini tidak dibolehkan, dan dalil-dalil yang disebutkan tadi adalah dalil atas mereka dan bukan merupakan dalil bagi mereka.
Syubhat Ketiga: Penentangan Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu
Syekh Ibnu Jibrin ditanya tentang syubhat ini, nashnya sebagai berikut:
"Dalam akidah Ahli Sunnah dikatakan, "Kita tidak boleh keluar dari penguasa," maka bagaimana engkau menafsirkan perkataan ini dengan perbuatan Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu ketika ia keluar atau menentang terhadap salah seorang khalifah Umawiyah? (Ket : Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz 8.)
Maka beliau menjawab tentang syubhat ini:
* Pertama: Bahwasanya Husain radhiallahu ‘anhu telah bersalah dengan tindakan keluarnya, dan terjadilah apa yang telah terjadi dari pembunuhan dirinya dan orang-orang yang bersamanya.
* Kedua: Bahwasanya Husain radhiallahu ‘anhu tidak membai'at Khalifah Yazid bin Muawiyah ketika itu, karena telah tersebar luas atau masyhur bahwasanya Yazid bin Muawiyah orangnya tidak punya malu dan bermaksiat, ia meminum khomr (arak), dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendorong Husain, Ibnu Zubair dan banyak dari orang-orang Mekkah untuk tidak membai'atnya.
* Ketiga: Bahwasanya penduduk Irak yang menulis surat kepada Husain dan memintanya untuk datang kepada mereka untuk membai'atnya sebagai Khalifah, mereka tidak membai'at Yazid, maka mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami pasti akan membai'atmu wahai Husain, dan kamu akan menjadi khalifah sebagai pengganti ayahmu. kamu tinggal bersama kami dan kami akan menolong serta memperkuatmu". Tetapi mereka tidak menepati hal itu, bahkan mereka berpaling darinya ketika datang kepadanya kelompok tentara yang akan membunuhnya.
Syubhat Keempat: Keluarnya Mahdi al-Muntadzar pada akhir zaman
Syekh Ibnu Jibrin ditanya tentang syubhat berikut:
Ketika Mahdi al-Muntadzor keluar pada akhir zaman nanti apakah dikatagorikan menentang atau berpaling dari penguasa pada zaman itu? Padahal menentang penguasa tidak diperbolekan ? (Ket : Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah juz 2).
Beliau menjawab, "Tidak demikian. Dikatakan, ‘Mahdi al-Muntadzor akan keluar atau turun pada waktu di mana waktu tersebut tidak ada pemimpin, dan ini telah disepakati, Mahdi al-Muntadzor ketika itu sebagai seorang alim yang diikuti karena ilmunya. Dan para pemimpin sebagai pelaksana sebagaimana pada kebanyakan zaman, maka banyak sekali zaman di mana para pemimpin atau Khalifah berada pada posisi sebagai pelaksana atau penegak bagi hukum-hukum, dan ia memiliki para ulama, masyayikh (syaikh-syaikh) dan yang lainnya yang mana posisinya sebagai petunjuk bagi para pemimpin yang mengarahkannya dan menunjukannya pada dalil, sehingga para pemimpin dengan peranannya melaksanakan perintah dan yang lainnya (dari para ulama), maka boleh jadi Mahdi al-Muntadzor seperti itu, dan disana juga ada para pemimpin yang melaksanakan apa yang dikatakan para ulama, Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.