Jumat, 09 Desember 2011

Salah Kaprah Dalam Memperjuangkan Islam

Bagian Ketujuh
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

Syubhat-Syubhat Dan Bantahannya Seputar Masalah Pembunuhan, Penculikan, dan Peledakan
Syubhat Pertama: Pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf, Thogutnya kaum yahudi
Ka'ab bin al-Asyraf adalah seorang yahudi yang telah memprovokasi untuk melawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Dia menangisi kaum Quraisy yang gugur pada perang Badar dan dikubur dalam sumur. Musuh Allah ini [Ka'ab] kemudian pergi ke Mekkah untuk mengumpulkan keluarganya dari kaum musyrikin untuk memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal ada perjanjian atasnya dan atas kaum yahudi. Ketika Ka'ab kembali kemadinah, ia menggubah syair yang berisi rayuan terhadap kaum Muslimah hingga menyakiti mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang bersedia membunuh Ka'ab al-Asyraf untuk saya." Muhammad bin Maslamah saudara Bani Abdul al-Asyhal berkata, "Saya bersedia melakukannya untuk anda ya Rasulullah. Saya akan membunuhnya." Beliau berkata, "Lakukanlah jika engkau mampu." Ia berkata, "Ya Rasulullah, kita mesti mengatakan." Beliau berkata, "Katakanlah oleh kalian, ‘Apa yang tampak bagi kalian, kalian bebas dalam hal itu.' (Ket : Dikeluarkan al-Bukhari hadits no.2510, 3031, 3032. dalam kitab ringkasannya hadis no.4037. Muslim hadits no.1801 dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kisah Ka'ab bin al-Asyraf dapat merujuk kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu katsir, jilid IV/6-10. Fathul Bari (V/169), (VI/184-185) dan (VII/ 390-395). Syarah Muslim an-Nawai (XII/403) dan kitab rujukan lainnya. Al-Imam al-Baghawi berkata dalam Syarah al-Sunnah (XI/45) bahwa sebagian orang telah sesat dalam pendapatnya, tergelincir dari kebenaran, dengan mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ka'ab merupakan pengkianatan. Semoga Allah menjauhkan orang yang berbicara seperti ini dan memburukkan pendapatnya. Ia tidak tahu makna hadits dan tidak tahu metode mencari kebenaran. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Iman itu kendali pembunuhan yang kurang. Karena itu seorang Mukmin tidak akan membunuh secara curang." (Dikeluarkan Abu Daud hadis no.2769. dalam sanadnya ada Abdurrahman bin abi Karimah orang tua as-Sudi ia adalah orang yang majhul. Tetapi dalam bab "Ma Yusyhidu.." dikeluarkan Ahmad (I/166-167) dari Zubair bin Awwam, ""Iman itu mengikat pembunuhan. Karena itu seorang mukmin tidak akan membunuh.". Ahmad berkata (1426) ini adalah hadis sahih. Al-Arnauth berkata dalam Syarah as-Sunnah (XI/45) bahwa ini adalah hadis hasan.- Al-Imam berkata, "al-fatku adalah membunuh orang yang mempunyai jaminan keamanan secara mendadak. Dan Ka'ab bin al-Asyraf adalah termasuk orang yang Berjanji pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menolong orang yang melawan Rasul dan tidak memeranginya. Kemudian ia melepaskan sendiri jaminan keamanan itu dan melanggar perjanjian. Ia pergi ke Mekkah dan memberitakan permusuhan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menghina dan menghujat Nabi dengan syair-syairnya, maka ia pun berhak untuk dibunuh.) Muhammad bin Maslamah kemudian berdiri dan bergabung dengan sejumlah laki-laki Anshar untuk membunuh Ka'ab di luar bentengnya.
Maka perhatikanlah bahwa tidak ada pertentangan antara larangan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam agar tidak berkhianat dengan pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf. Karena hal itu dilakukan akibat pengkhianatan dan pemutusan Ibnu al-Asyraf terhadap perjanjian. Allah berfirman yang artinya, "Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (al-Anfal: 58)
Juga tidak ada pertentangan di antara eksekusi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ibnu al-Asyraf dengan membiarkan Ibnu Salul pemimpin kaum munafik dikarenakan ada maslahat secara syari'at yang akan terwujud dengan hal itu dan kerusakan yang tertolak. Hal itu karena keberadaan Ka'ab membahayakan dan mengkhawatirkan kaum Muslimin, dan ia menjadi sumber ancaman bagi keamanan kota Madinah. Ia melakukan penentangan dan provokasi melawan [menyerang] kaum Muslimin secara terang-terangan. Disamping itu ia mempunyai kekuatan materi [uang] yang ia gunakan untuk mengganggu keamanan dan melakukan penyerangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana beliau telah berlaku sabar terhadap gangguan dan ancaman orang yahudi yang durhaka dan sombong ini, yang ia tidak melihat dari Nabi dan sahabatnya, kecuali mereka menepati janjinya [tidak seperti yang dilakukan Ka'ab].
Ketika Ka'ab bin al-Asyraf sampai pada kedudukan ini -yaitu kedudukan musuh yang berkhianat yang menampakkan permusuhannya yang bersiap-siap untuk melakukan penyerangan, dan tidak mempunyai lagi penjanjian dan jaminan keamanan- karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan untuk mengeksekusi yahudi si pengkhianat dan pembelot ini. Dengan eksekusi ini dan pengusiran terhadap Bani Qainaqa' kaum yahudi mendapatkan pelajaran yang keras agar mereka tidak berbuat sebagaimana Ka'ab, karena mereka menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan lalai untuk mengeksekusi siapa saja yang memenuhi syarat untuk dihukum, beliau tidak akan bersikap lembut, memberi nasihat, bersabar, bertoleransi kepada orang yang mengganggu keamanan dan melecehkan pernjanjian.
Apakah memberi mashlahat jika kisah eksekusi Ka'ab bin al-Asyraf ini dijadikan sandaran bagi pembunuhan tentara atau warga negara secara berkhianat -dengan anggapan bahkan Keyakinan- bahwa ia akan menimbulkan kerusakan yang tidak ada maslahatnya di dalamnya. Kecuali meluasnya gangguan dan kemudharatan semakin berkurang atas negara dan warganya?! (Kitab Tahshil az-Zad li Tahqiq al-jihad, karya Said Abdul Azhim, hal 115-116)
Syubhah Kedua: Pembunuhan yahudi yang membuka aurat seorang Muslimah
Syubhah ini dipertanyakan kepada al-Allamah al-Albani, dan ini nashnya: (Ket : dari ucapan al-Bani yang direkam pada kaset no.691. dan tecantum dalam fatwa al-Syaikh al-Albani yang disusun oleh ‘Ukasyah Abdul Manan, hal 204-255. )
Ada seorang da'i yang menyusun sebuah buku, dan ia menganggap bahwa penculikan termasuk dari sunnah yang sudah dilalaikan [tidak digunakan lagi], ia kemudian beragumen dengan kisah eksekusi Ka'ab bin al-Asyraf (Ket : Telah kita perbincangkan kisah Ka'ab bin al-Asyraf seorang yahudi secara terperinci. Rujuklah syubhah pertama hal 122-126.) dan pembunuhan yahudi yang membuka aurat seorang Muslimah. Maka bagaimanakah menurut pendapat anda?

Al-AlBani menjawab, "Semoga penyusun buku itu yang telah menjelaskan sunnah yang telah ditinggalkan sepakat dengan kita untuk menghidupkannya dengan benar. Adapun tentang anggapannya bahwa ightiyal merupakan sunnah yang ditinggalkan yang harus kita hidupkan di zaman sekarang ini. Maka ini yang termasuk kami keluhkan, yaitu kebodohannya terhadap petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena kami pahami bahwa peristiwa eksekusi pertama adalah shahih, dan kami meragukan kesahihan peristiwa lainnya. (Yaitu kisah seorang yahudi yang dibunuh karena melihat Aurat wanita Muslimah) Tetapi shahih atau tidaknya sama saja, maka jawaban dari peristiwa pertama yang shahih telah mencakup semuanya.
Kami katakan, "Sesungguhnya pembunuhan dengan cara yang terkadang disebut orang sebagai ightiyal ( Ightiyal : menculik lalu membunuh orang yang diculik ), hal itu tidak terwujud sebelum segala sesuatu ketika kaum Muslimin masih lemah dan di zaman yang lemah, sehingga kaum musyrikin menyiksa mereka dengan berbagai siksaan. Sesungguhnya Daulah Islamiyah baru terbentuk di Madinah al-Munawwarah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalamnya.
Ini yang pertama. Kesimpulan yang ingin saya katakan bahwa eksekusi itu dilaksanakan ketika kaum Muslimin sudah kuat dan bersatu, bukan pada saat lemah dan terpecah belah."
Kedua, pelaksanaan ini bukanlah kerja individu yang didorong oleh emosi, walaupun simpati keIslaman, tetapi simpati yang tidak dibarengi dengan ilmu keIslaman yang benar. Karena pelaksana pembunuhan itu dikomandoi oleh seorang hakim Muslim yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, kami mengatakan kepada orang yang me-nyebut eksekusi ini sebagai sunah yang ditinggalkan, untuk membuat sebab-sebab secara syari'at yang telah ditunjukkan oleh pembicaraanku yang telah lalu sebagai pemurnian (klarifikasi) dan pendidikan, sehingga kaum Muslimin dapat membuat jalan pembuka untuk mendirikan negeri Muslim di bumi dari bumi-bumi Allah yang luas ini, yang mana akan ditegakkan pemerintahan kaum Muslimin dan dipimpin oleh seorang laki-laki yang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin jama'ah Muslim. Maka jika pemimpin ini memerintahkan pelaksanaan eksekusi maka harus dilaksanakan.
Adapun membebaskan setiap individu untuk mengubah dengan pendapatnya tanpa perintah dari orang yang wajib ditaatinya, maka hal itu bukanlah sunnah secara mutlak bahkan masuk ke dalam prinsip yang senantiasa dan selamanya kita dengungkan yaitu kata hikmah yang menempati posisi tinggi, yang diperkuat oleh peristiwa-peristiwa yang kita dengar dan sangat disayangkan. Prinsip tersebut berbunyi,
مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْئَ قَبْلَ أَوَانِهِ اُبْتُلِيَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa ingin mendapatkan sesuatu dengan tergesa-gesa sebelum waktunya, maka akan diuji dengan tidak mendapatkannya."
Karena orang yang melakukan pembunuhan terhadap seorang laki-laki dari kaum kafir yang mempunyai kekuatan dan pemerintahan, akan memancing kaum kafir lainnya untuk membalas dendam, dan mereka lebih kuat dari seorang Muslim. Akibat lebih jauhnya akan melemahkan kaum Muslimin. Sedangkan pembunuhan [eksekusi] yang diperbuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akibatnya mendatangkan kemenangan bagi kaum Muslimin. Maka jauh sekali akibat yang ditimbulkan dari kedua hal tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
"Sesungguhnya amal itu tergantung dari hasil akhirnya." (Potongan dari hadis yang dikeluarkan al-Bukhari no.6607 dari hadits Sahal radhiallahu ‘anhu) Inilah jawaban saya terhadap permasalahan sunnah yang ditinggalkan dan dituduhkan."
Syubhah Ketiga: Eksekusi terhadap Abu Rafi' Abdullah bin Abi al-Haqiq al-yahudi (Ket : Telah berbeda pendapat dalam penamaannya, dikatakan namanya adalah Abdullah seperti yang dikatakan al-Bukhari. Dikatakan pula bahwa namanya adalah Salam seperti yang dikatakan Ibnu Ishaq. Lihat Fathul Bari (V/397) )
Sebagaimana orang-orang yang gegabah dan antusias yang tidak berdasarkan kepada manhaj Kitabullah dan as-Sunnah menjadikan dalil eksekusi Ka'ab bin al-Asyraf untuk mengeksekusi tentara, warga sipil, korps diplomatik, para penanggung jawab, orang-orang yang terlibat perjanjian, dan yang lainnya. Mereka pun menjadikan kisah eksekusi Abu Rafi' bin Ubai al-Haqiq al-yahudi sebagai dalil. Kita tahu bahwa mereka tidak mempunyai dalil dalam hal tersebut.
Maka, bagaimanakah kisah eksekusi terhadap Abu Rafi' al-yahudi?
Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim sekelompok utusan kepada Abu Rafi'. Maka masuklah Abdullah bin ‘Atik ke rumahnya pada suatu malam dan membunuh Abu Rafi'yang saat itu sedang tidur." (Dikeluarkan al-Bukhari no.4038, 4031, dan 4040, dari al-Barra bin'Azib radhiallahu ‘anhu. Lihat Fathul Bari (V/390)) Demikianlah yang diriwayatkan al-Bukhari secara ringkas, kemudian ia meriwayatkannya secara lengkap dengan rincian panjang dan terperinci tentang kejadiannya.
Abu Rafi' adalah salah satu pemimpin kaum yahudi Bani an-Nadhir yang menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membantu musuh-musuh beliau. Di antara kisahnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi dengan sekelompok sahabatnya kepada Bani an-Nadhir untuk meminta mereka membayar denda/diat terhadap dua pembunuhan sesuai dengan nash-nash yang sudah disepakati di antara keduanya. Maka kesempatan ini digunakan oleh para pemimpin Bani Nadhir yang diketuai Ibnu Abu al-Haqiq untuk membuat satu skenario. Mereka menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dengan sambutan yang besar. Mereka memberikan penghormatan dan mempersiapkan apa yang sudah disepakati untuk membayar kewajiban berupa uang denda yang diminta. Kemudian para tamu dipersilahkan duduk di samping salah satu rumah sambil menunggu mereka membawa uang. Orang-orang yahudi itu telah bersepakat dengan si pemilik rumah yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bersandar pada dinding rumah itu, agar sebagian dari mereka naik ke atap rumah secara diam-diam untuk menjatuhkan barang berat ke atas kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar kepala beliau pecah. Karena dengan hal itu tamatlah riwayat Muhammad dan Islam. Karena kaum yahudi meresa resah dengan kedatangan agama ini [Islam] yang telah membongkar kesesatan mereka, sehingga para pemimpin mereka pantas untuk melakukan makar ini.
Allah membuka tabir makar kaum yahudi itu kepada Nabi-Nya, sehingga beliau tahu makar yang sedang mereka persiapkan. Beliau pun dan para sahabatnya segera bangun dan menjauhi tempat tersebut, sehingga selamatlah beliau dari pembunuhan yang keji tersebut. Karena itu Bani an-Nadhir mesti mendapat sanksi, disebabkan Ibnu Abu al-Haqiq dan yang lainnya dari pemimpin Bani an-Nadhir mencoba membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dengan tiba-tiba. Kaum yahudi tidak mau sedikit pun menghormati perjanjian yang telah mereka buat antara mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka telah memutuskannya secara sepihak karena itu sudah sepantasnya memerangi mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin berangkat untuk memerangi kaum yahudi Bani an-Nadhir. Kaum yahudi Bani an-Nadhir kemudian memasuki benteng mereka dan menguncinya. Mereka menyerang kaum Muslimin dengan panah-panah mereka dan memusatkan serangannya ke kemah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan penghancuran Bani an-Nadhir dari tempat yang tidak bisa dijangkau para pemanah musuh.
Untuk menghancurkan mental kaum yahudi Bani an-Nadhir, beliau memerintahkan untuk memotong pohon-pohon kurma mereka dan membakarnya. Maka hal ini mampu melemahkan kekuatan mereka. Setelah beberapa lama mereka pun menyerah dan menerima syaratnya yaitu harus meninggalkan kota Madinah dengan meninggalkan harta benda dan persenjataan mereka dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abu al-Haqiq dan sebagian besar kaum yahudi Bani an-Nadhir kemudian tinggal di Khaibar.
Ibnu Abu al-Haqiq tidak pernah melupakan kegagalannya membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memutuskan agamanya. Ia tidak pernah hidup tenang dengan kekalahan yang sangat menghinakannya dan menghinakan kaumnya. Maka sejak saat itu ia merencanakan pembunuhan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai balasan atas pengusian dan kekalahannya yang menghinakan.
Kaum Muslimin sangat geram terhadap Ibnu Abu al-Haqiq yang mereka tidak mampu bersabar lagi, hingga akhirnya mereka meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuhnya agar Islam dan kaum Muslimin terlepas dari keburukannya. Beliau pun mengizinkannya. Maka berkumpullah sekelompok orang dari Bani Khajraj diketuai oleh Abdullah bin ‘Atik. Mereka telah merencanakan untuk membunuh Ibnu Abu al-Haqiq. Mereka kemudian melaksanakan rencana tersebut dan berakhir dengan terbunuhnya Ibnu Abu al-Haqiq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergembira dengan apa yang telah dilakukan para sahabatnya itu dan mendoakan mereka. Demikianlah pembunuhan itu terlaksana ketika Ibnu Abu al-Haqiq sedang tidur, sesudah ia mengkhianati perjanjian yang dibuat antara dia dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi orang-orang yang bodoh dan gegabah mengatakan bahwa pembunuhan itu bukan disebabkan pengkhianatan Ibnu Abu al-Haqiq.
Setelah itu, "Wahai saudaraku Muslim, apakah kisah pembunuhan Ibnu Abu al-Haqiq bisa dijadikan sandaran untuk membunuh para penanggung jawab [pemerintah] atau sebagian tentara dan yang lainnya, atau membunuh para diplomat, orang yang terlibat dengan perjanjian, atau dengan meledakkan bangunan-bangunan pemerintah dan yang lainnya?!"
Keputusan-keputusan Majelis Haiah Kibar Ulama Seputar Peristiwa-peristiwa Peledakan
Keputusan No.148, Dikeluarkan Pada Pertemuan Ke-32 Tanggal 12/1/1409 H (Majalah Mujtama al-Fiqh al-Islami, tahun II, edisi.3, hal 181)
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, dan kesudahan yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa. Tidak ada permusuhan kecuali bagi orang-orang zalim. Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya dilimpahkan kepada manusia terbaik, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, juga kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mencari petunjuk dengan petunjuknya sampai hari Kiamat.
Majelis Ulama Besar mengadakan pertemuannya yang ke-32 di kota Thaif, dimulai pada tanggal 8/1/1409 sampai 12/1/1409 H. Pertemuan tersebut diadakan karena terjadinya peristiwa-peristiwa peledakan (sabotase) yang telah memakan korban orang-orang yang tidak berdosa, menghancurkan harta benda, tempat tinggal, serta fasilitas-fasilitas umum di banyak negeri-negeri Islam dan tempat lainnya. Peledakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang lemah imannya atau tidak mempunyai iman sama sekali dari orang-orang yang sakit jiwanya dan dengki. Di antara perbuatan yang telah mereka lakukan adalah meledakkan tempat tinggal, membakar fasilitas-fasilitas umum dan khusus, meledakkan jembatan dan terowongan, meledakkan pesawat atau membajaknya. Kejahatan ini banyak terjadi di berbagai negeri yang jauh atau yang dekat. Sesungguhnya Kerajaan Arab Saudi dan negeri lainnya termasuk sasaran [target] dari kegiatan peledakan tersebut. Majelis Ulama Besar memandang hal ini sebagai suatu keharusan untuk menetapkan sanksi [hukuman] yang dapat menghalangi orang-orang yang akan melakukan peledakan, baik yang ditujukan untuk merusak fasilitas-fasilitas umum, pemerintah, atau ditujukan untuk selainnya yang merusak dan mengganggu keamanan.
Majelis Ulama Besar menelaah terhadap apa yang disebutkan oleh ahlu ilmu [para ulama] bahwa hukum-hukum syari'ah harus diberlakukan dan wajib dijalankan untuk melindungi lima hal yang darurat, dan memelihara sebab-sebab yang dapat menyelamatkannya; yaitu agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta.
Majelis Ulama Besar menggambarkan bahaya besar yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut telah melanggar kehormatan kaum Muslimin terhadap jiwa mereka, kehormatan, harta benda mereka, dan kondisi yang ditimbulkan oleh peledakan tersebut berupa gangguan keamaanan secara umum di suatu negeri, timbulnya kekacauan, dan ketakutan kaum Muslimin terhadap jiwa dan kepemilikan mereka.
Allah Ta'ala memelihara manusia baik agama mereka, badan, ruh, kehormatan, akal, dan harta benda mereka, dengan apa yang sudah disyari'atkan berupa batasan-batasan dan sanksi-sanksi yang dapat mewujudkan rasa aman secara umum maupun khusus. Hal tersebut dijelaskan dalam firman-Nya, "Karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar." (al-Maidah: 33)
Implementasi (pelaksanaan) hal tersebut adalah seperti adanya jaminan rasa aman dan tenteram, serta pencegahan dari berbuat kejahatan dan pelanggaran kepada kaum Muslimin baik terhadap jiwa dan kepemilikan mereka. Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum muharabah (pelaku keonaran) yang terjadi di berbagai pelosok dan tempat lainnya mempunyai hukum yang sama, berdasarkan firman Allah, "Dan mereka berusaha berbuat kerusakan di muka bumi." Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan hal tersebut dalam tafsirnya, dan ia berkata pula, Muharabah adalah pelanggaran dan suatu perbuatan menentang yang berlaku atas kekufuran, membegal, dan membuat orang ketakutan. Demikian pula berbuat kerusakan di muka bumi ia adalah sebutan untuk jenis-jenis keburukan.
Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kebinasaan." (al-Baqarah: 204-205);
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya." (al-A'raf: 56)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah melarang berbuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang dapat merusaknya setelah adanya perbaikan. Sesungguhnya jika berbagai urusan sudah berjalan dengan benar, kemudian terjadilah kerusakan setelah itu, maka hal itu akan mencelakakan manusia. Maka Allah melarang hal tersebut."
Al-Qurthubi berkata, "Allah melarang dari setiap kerusakan baik kecil maupun besar setelah adanya perbaikan baik kecil maupun besar, hal itu berlaku umum dan berdasarkan kebenaran."
Maka berdasarkan hal tersebut dan yang sudah dijelaskan terdahulu bahwa perbuatan peledakan (sabotase) melebihi perbuatan orang-orang muharabah yang mana mereka mempunyai tujuan khusus untuk mendapatkan harta atau barang-barang lainnya. Tujuan mereka adalah mengganggu keamanan dan menghancurkan bangunan umat, mencabut akidahnya, dan memalingkan dari manhaj Rabbani.
Majelis Ulama Besar sepakat untuk mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
* Menetapkan hukum berdasarkan syari'at bagi orang yang mela-kukan penghancuran dan pengrusakan di muka bumi yang mengganggu keamanan, melanggar kehormatan jiwa, dan kepemilikan khusus maupun umum, seperti peledakan tempat tinggal, masjid-masjid, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, sumber-sumber air, sumber-sumber dana bagi baitul mal seperti kilang-kilang minyak, meledakkan pesawat atau membajaknya, serta kejahatan lainnya. Maka hukuman (sanksi) untuk semuanya itu adalah hukuman mati, berdasarkan dalil [ayat al-Qur'an] yang sudah dikemukakan terhadap contoh-contoh pengrusakan di bumi dengan sanksi mengeksekusi orang yang melakukan pengrusakan tersebut. Juga disebabkan orang-orang yang melakukan peledakan dan kemudharatan sebenarnya mereka lebih bahaya daripada orang yang merampok di jalan kemudian membunuh atau mengambil harta bendanya. Allah telah menghukumi hal demikian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tentang perang.
* Sebelum menjatuhkan hukuman mati seperti yang sudah dijelaskan di muka, hendaklah dilakukan penyempurnaan prosedur pembuktian terlebih dahulu dari sisi hukum-hukum syara', kasasi, Majelis Hakim Agung, mendapat persetujuan tertulis tentang pembebasan hutang sebagai kehatian-hatian bagi jiwa si terhukum, serta mendapatkan pengesahan dari negara untuk melaksanakan prosedur secara syara' dalam menetapkan kejahatan dan hukumannya.
* Majelis Ulama Besar memandang bahwa hukuman tersebut harus disosialisasikan melalui media masa.
Semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Susunan Majelis Ulama Besar
Ketua Sidang
Abdul Aziz Shalih
Anggota
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Abdul Razaq ‘Afifi, Abdullah bin Khayyath, Ibrahim bin Muhammad Ali Syaikh (absen karena sakit). Muhammad bin Jubair, Sulaiman bin Aid, Rasyid bin Khunain, Abdul Majid bin Hasan, Shalih bin Ghashun, Abdullah bin Ghudayyan, Shalih al-Luhaidan, Abdullah bin Mani', Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Abdullah al-Basam, Hasan bin Ja'far al-‘Atmi, Shalih al-Fauzan, Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh
Peristiwa Peledakan yang terjadi di Mekkah al-Mukarramah tahun 1409 H.
Yang Mulia Mufti al-‘Am Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Ket: Penjelasan Syaikh bin Baz ini telah disiarkan dalam Koran Ar-Riyadh dan yang lainnya pada tanggal 12/12/1409 H. Lihat kitab Majmu Fatawa wa Maqalaat Mutanawi'ah karya Syaikh bin Baz (248/V) ), semoga Allah melindunginya, berkata, "Dunia Islam telah mengutuk peledakan yang terjadi di Mekkah al-Mukarramah pada sore hari Senin tanggal 7/12/1409 H. Mereka menganggap perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat besar dan kemungkaran yang sangat keji, dikarenakan mereka telah mengintimidasi para jemaah haji yang sedang mengunjungi Baitul Haram, mengganggu keamanan, mencemari kehormatan negeri yang diharamkan, dan telah menzalimi hamba-hamba Allah.
Allah telah mengharamkan [memuliakan] Al-Balad al-Haram (Mekkah) sebagaimana mengharamkan darah kaum Muslimin, harta, dan kehormatan mereka sampai hari Kiamat, dan menjadikan pencemaran terhadap kehormatan tersebut sebagai suatu kejahatan dan dosa terbesar, serta mengancam orang yang berkeinginan melakukan hal itu di kota Mekkah dengan memberikan siksaan yang pedih. Sebagaimana firman Allah artinya, "Siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagiaan siksa yang pedih." (al-Hajj: 25) Jika orang yang bermaksud (berencana) melakukan kejahatan secara zalim di kota Mekkah, diancam dengan siksaan yang pedih walaupun belum melakukannya, maka bagaimana halnya dengan orang yang sudah melakukannya. Tentu kejahatannya akan lebih besar, dan lebih berhak untuk mendapat siksaan yang pedih itu!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umatnya dari berbuat zalim dalam banyak hadits. Di antaranya yang beliau jelaskan untuk umatnya pada waktu Haji Wada', beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta, dan kehormatan kalian adalah diharamkan [dimuliakan], seperti diharamkannya hari kalian ini, di bulan ini, di negeri ini. Tidakkah saya telah menyampaikan hal ini." Para sahabat berkata, "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihatkan." Kemudian beliau mengangkat jari tangannya ke arah langit dan ke arah bumi, sambil bersabda, "Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah."
Kejahatan keji dengan melakukan peledakan di dekat Baitullah al-Haram ini adalah merupakan kejahatan terbesar, yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Sesungguhnya orang yang melakukannya adalah orang yang memendam kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin, serta terhadap para jemaah haji yang mengunjungi Baitullah al-Haram. Maka betapa meruginya ia, dan betapa besar kejahatannya. Kami memohon kepada Allah untuk menolak daya upaya dalam dadanya dan menyingkapkan rencananya, serta mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada pemerintahan Al-Haramain (Mekkah dan Madinah) untuk mengenali dan menegakkan hukum Allah terhadapnya. Sesungguhnya Allah Ta'ala yang mengurus hal itu dan mampu untuk melakukannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya.
Keputusan terhadap terjadinya peledakan yang terjadi di Riyadh di kampung al-Ulayya.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, shalawat dan salam semoga tercurah bagi seorang Nabi yang tidak ada Nabi setelahnya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba'du:
Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi Arabia telah mengetahui peledakan yang terjadi di sebuah gedung tinggi di kota Riyadh yang dekat dengan jalan umum, pada waktu Dhuha, hari Senin tanggal 20/6/1416 H. Peledakan tersebut telah menewaskan jiwa-jiwa yang tidak berdosa dan melukai banyak orang, serta membuat takut orang-orang yang sedang berada dalam rasa aman dan para penyebrang jalan. Karena itu, Majelis Ulama Besar memutuskan bahwa pelanggaran ini merupakan dosa dan kejahatan yang keji, suatu pengkhianatan, pelanggaran terhadap kehormatan agama dalam jiwa, harta, keamanan, dan ketenangan. Perbuatan ini tidak akan dilakukan kecuali oleh seorang pendosa yang hatinya dipenuhi kebencian, pengkhianatan, iri dengki, kedurhakaan, permusuhan, serta benci terhadap kehidupan dan kebaikan. Kaum Muslimin tidak berbeda pendapat tentang keharamannya, kejahatannya, dan kebesaran dosanya. Banyak ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang mengharamkan kejahatan ini dan yang semisalnya.
Majelis mengharamkan kejahatan ini sebagai peringatan agar orang meninggalkan keburukan, pikiran-pikiran yang jahat, kerusakan, dan kedurhakaan, karena sesungguhnya hawa nafsu selalu mengajak kepada keburukan. Jika seseorang dibiarkan bebas melakukannya maka timbullah berbagai kelompok orang yang rusak [akhlaknya]. Orang-orang pendendam akan menemukan jalan masuk [kesempatan] untuk menjalankan tujuan-tujuan mereka dan hawa nafsu mereka akan mereka sebarkan untuk merobohkan kebaikan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang mengetahui sesuatu dari manusia-manusia penghancur seperti ini untuk melaporkan mereka secara khusus.
Allah telah memperingatkan dalam al-Qur'an tentang orang yang mengajak kepada keburukan dan kerusakan di bumi,
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar." (al-Maidah: 33)
Dalam firman-Nya yang lain, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sesungguh neraka jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." (al-Baqarah: 204-206)
Kami memohon kepada Allah dengan perantaraan Asma'ul Husna dan sifat-sifat-Nya, agar merobek tabir kaum pelanggar keamanan, menjauhkan bahaya dari kami dan dari seluruh kaum Muslimin, melindungi negeri ini dan negeri seluruh kaum Muslimin dari keburukan dan kebencian, serta memberi taufik kepada para pemimpin kita dan para pemimpin kaum Muslimin agar memberi kemaslahatan kepada warga negara dan negerinya. Sesungguhnya Dia-lah sebaik-baiknya tempat meminta. Semoga rahmat Allah dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ketua Sidang[
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota
Rasyid bin Khunain, Shalih al-Luhaidan, Abdullah bin Ghudayyan, al-Bassam, Abdullah bin Sulaiman bin Mani', Muhammad bin Ibrahim bin Jubair, Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Muhammad bin Muhammad ar-Rasyid, Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh, Muham-mad bin Ja'far al-‘Atmi, Muhammad bin Sulaiman al-Badri, DR. Abdullah bin Abdul Muhsin, Muhammad bin Abdullah al-Sabil, Muhammad bin Zaid Ali Sulaiman, Abdul Wahab bin Ibrahim Abu, Abdurrahman bin Hamzah al-Marzuqi, DR. Bakar bin Abdullah Abu Zaid, DR.Shalih bin Abdurrahman al-Athram.
Keputusan terhadap terjadinya peledakan yang terjadi di kota Khubar di Wilayah Bagian Timur (Majalah ad-Da'wah, no. (1548), 18/2/1417 H-4 Juli 1996)
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, shalawat dan salam semoga tercurah bagi seorang Nabi yang tidak ada Nabi setelahnya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba'du:
Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi Arabia telah mengadakan Sidang Istimewanya yang ke X, yang diadakan di kota Thaif, pada hari Sabtu tanggal 13/2/1417 H. Pada sidang tersebut didiskusikan tentang peristiwa peledakan yang terjadi di kota Khabar di wilayah bagian timur pada hari Selasa tanggal 9/2/1417 H. Peledakan tersebut membawa korban, menimbulkan kerusakan, intimidasi, dan merugikan banyak orang dari kaum Muslimin dan yang lainnya.
Setelah memandang, mempelajari, dan memikirkan, Majelis Ulama Besar berdasarkan kesepatan (ijma') memutuskan sebagai berikut:
Pertama, peledakan ini merupakan kejahatan yang diharamkan menurut syara' berdasarkan kesepatan kaum Muslimin, dengan sebab-sebab sebagai berikut:
* Peledakan telah melanggar kehormatan Islam yang telah ditetapkan dengan terpaksa (kesengajaan); melanggar kehormatan jiwa yang dilindungi, melanggar kehormatan harta, melanggar kehor-matan rasa aman dan ketenangan hidup manusia di tempat tinggal mereka dan kehidupan mereka, pada pagi dan sore hari, melanggar [merusak] kemaslahatan umum yang sangat dibutuhkan orang. Betapa buruk dan besarnya kejahatan orang yang berani melanggar kehormatan Allah, menzalimi hamba-hamba-Nya, mengintimidasi kaum Muslimin dan penduduk yang tinggal di tengah mereka. Maka sungguh betapa celakanya ia, betapa celakanya ia, karena ia akan mendapatkan azab Allah dan siksa-Nya. Dan bagi orang yang seperti itu, kami memohon kepada Allah untuk menyingkapkan tabir kejahatannya.
* Sesungguhnya jiwa yang dilindungi dalam hukum syari'at Islam adalah setiap Muslim, dan setiap orang yang di antaranya dan di antara kaum Muslimin ada jaminan rasa aman, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mu'min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya." (an-Nisa: 93) Allah berfirman tentang hak [kafir] Dzimmi yang mendapat perlindungan dalam hukum pembunuhan karena tersalah (tidak sengaja), "Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin." (an-Nisa: 92) Jika seorang kafir dzimmi yang mendapat jaminan keamanan terbunuh karena kesalahan, sanksinya adalah membayar diat dan kafarat, maka bagaimana lagi jika ia dibunuh dengan sengaja? Maka tentu kejahatannya akan lebih besar demikian pula dosanya. Hal ini dibenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya, "Barangsiapa membunuh orang yang terikat perjanjian, maka ia tidak akan memcium bau surga."
Orang yang meminta keamanan tidak boleh disakiti, apalagi sampai membunuhnya, karena hal seperti itu merupakan kejahatan yang besar dan mungkar. Ini merupakan ancaman yang sangat [berat] bagi orang yang membunuh orang yang terikat perjanjian, karena hal itu merupakan dosa besar yang pelakunya diancam tidak akan masuk surga. Kami berlindung kepada Allah dari pengkhianatan seperti itu.
* Perbuatan jahat ini mencakup jenis-jenis kejahatan yang diharamkan dalam Islam seperti pengkhianatan, kedurhakaan, permu-suhan, kejahatan dosa, mengintimidasi kaum Muslimin dan yang lainnya. Setiap keburukan dan kemungkaran adalah tertolak dan dibenci Allah, rasul-Nya, dan kaum Mukmin.
Kedua, Majelis Ulama Besar menjelaskan kejahatan ini dalam suatu deklarasi. Karena hal ini dapat memberitahukan ke seluruh dunia bahwa Islam berlepas diri dari perbuatan jahat tersebut. Demikian pula setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, berlepas diri darinya. Sesungguhya perbuatan jahat ini hanya akan dilakukan oleh orang yang memilika pikiran menyimpang, dan akidah yang sesat. Ia akan memikul dosa dan kejahatannya. Maka perbuatan-nya tersebut tidak dibenarkan oleh Islam, kaum Muslimin yang mendapat petunjuk dengan petunjuk Islam yang terpelihara dengan al-Qur'an, dan sunnah yang terikat dengan tali Allah yang sangat kuat. Sesungguhnya perbuatan yang merusak dan kejahatan, ditolak oleh syari'at dan fitrah [manusia]. Karena itu, nash-nash syari'at datang untuk memutuskannya [yaitu] dengan mengharamkannya dan memperingatkan dari berteman dengan pelakunya.
Allah berfirman yang artinya, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk meng-adakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepada-nya, "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sesungguhnya neraka jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." (al-Baqarah: 204-206).
Firman-Nya yang lain yang artinya, "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar." (al-Maidah: 33)
Kami memohon kepada Allah dengan perantaraan Asma'ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar menyingkapkan tabir oang-orang yang berbuat pelanggaran, dan memberlakukan hukum syari'at yang suci terhadapnya, menjauhkan bahaya dari negeri ini dan seluruh negeri Muslimin, dan semoga Allah memberi taufik kepada pemerintahan al-Haramain al-Syarifain Raja Fahd bin Abdul Aziz dan pemerintahannya dan seluruh pemimpin yang mengurus urusan kaum Muslimin yang membawa kemaslahatan bagi negara dan warganya, serta dapat memberantas kerusakan dan orang-orang yang merusak, agar mereka menolong agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, memperbaiki kondisi kaum Muslimin semuanya. Sesungguhnya Allah mengurus hal itu dan mampu melakukannya. Semoga rahmat Allah dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.
Susunan Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi Arabia
Ketua Sidang
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota
Rasyid bin Khanin, Shalih al-Luhaidan, Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Sulaiman bin Mani', Muhammad bin Ibrahim bin Jubair, Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Muhammad bin Muhammad ar-Rasyid (tidak ada tanda tangan), Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh, Muham-mad bin Ja'far al-‘Atmi, Muhammad bin Sulaiman al-Badri, DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Muhammad bin Abdullah al-Sabil, Muhammad bin Zaid Ali Sulaiman, Abdul Wahab bin Ibrahim Abu, Abdurrahman bin Hamzah al-Marzuqi, DR. Bakar bin Abdullah Abu Zaid, DR.Shalih bin Abdurrahman al-Athram.


Kewajiban Muslim untuk Menghadapi Orang-orang yang Akan Merusak Keamanan Masyarakat dan Mengintimidasi Orang-orang yang Berada dalam Keadaan Aman
Fadhilah asy-Syaikh al-‘Allamah Abdullah bin Jibrin (Ket : Majmu' Fatawa wa Rasail, karya Syaikh Ibnu Jibrin, bab al-‘Aqidah (Juz VIII).), ditanya, "Apa kewajiban seorang Muslim untuk menghadapi orang-orang yang akan merusak keamanan masyarakat dan mengintimidasi orang-orang yang berada dalam keadaan aman. Mereka mencoba untuk merusak keamanan dan ketenteraman masyarakat Muslim? Apa kewajiban seorang Muslim untuk menghadapi orang yang diketahui bahayanya dan kemudaratannya terhadap masyarakat, dan ia merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah ini, dan ia berusaha untuk memerangi, menghancurkan, dan memecah belah kaum Muslimin?
Jawabannya:
Tidak diragukan bahwa seorang Muslim yang Mukmin, maka keimanannya akan membawanya untuk mencintai secara tulus Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan masyarakat umumnya. (Ket : Dari hadis Tamim ad-Dari, ia berkata bahwa Rasulullah a bersabda, "Agama itu nasihat {ketulusan cinta}-(beliau mengulangnya tiga kali)- untuk Allah, kitab-kitab-Nya, Nabi-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan masyarakat umum." Dikeluarkan oleh Muslim, hadis no.55.) Disadari bahwa ia berhutang kepada masyarakatnya yang Muslim untuk memberikan cinta dan keikhlasan dalam muamalah (berinteraksi), dan mencegahnya dari berbuat zalim, kemudharatan, serta berbuat keburukan bagi masyarakat Muslim yang mempunyai hak atasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ بُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَ خِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak dianggap beriman salah seorang dari kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya." (Dikeluarkan Bukhari hadis no.13, Muslim hadis no,45, dari hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Maknanya, bahwa keimanan seorang Mukmin akan membawanya untuk mencintai saudaranya, berbuat kebaikan kepada mereka, serta menjauhkan keburukan dari mereka. Maka ketika salah seorang dari mereka tidak memberi rasa aman bagi negerinya atau merusak ketenteramannya, hal itu merupakan indikasi dari kelemahan imannya, kurangnya penghormatannya kepada kaum Muslimin, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian dan kedendaman kepada negerinya dan warga negaranya.
Sifat-sifat tersebut akan mengeluarkannya dari al-Ukhuwah ad-Diniyyah (persaudaran karena agama), dan menjauhkannya dari sifat amanah dan dapat dipercaya. Jika ada warga negara sampai kepada kondisi buruk seperti ini, maka kaum Muslimin seluruhnya harus membencinya, mencegah perbuatan kejinya, berhati-hati jangan sampai percaya kepada ucapannya, mempercayainya, dan jangan dekat dengannya, sehubungan ia dianggap sebagai warga negara yang lumpuh. Hal demikian karena Allah telah mengikat persaudaraan di antara kaum Muslimin. Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara." (al-Hujurat: 10) dan firman-Nya, "Dan jadilah kalian dengan nikmat-Nya itu menjadi bersaudara." (Ali Imran: 103)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguatkan hal itu dengan sabdanya, "Seorang Muslim adalah saudaranya yang Muslim, ia tidak boleh menzaliminya, menghinanya, menyerahakannya. Cukuplah keburukan seorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim bagi Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (Dikeluarkan Bukhari hadis no.2442, Muslim hadis no.2580, dari hadis Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma.)
As-Sunnah datang dengan syari'atnya yang menguatkan persaudaraan ini, seperti Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Seorang Muslim kepada Muslim lainnya mempunyai enam hak yang harus dilakukan dengan baik; memberi salam apabila berjumpa dengannya; memenuhi undangannya; mendoakannya jika bersin; mengunjunginya jika sakit, mengantarkan jenazahnya jika ia meninggal, dan mencintainya seperti ia mencintai dirinya." (Ket : Dikeluarkan aT-Turmudzi no.2736, Ibnu Majah no.1433, dari hadis Ali bin Abi Thalib RA. At-Turmudzi berkata, "Ini hadis hasan." Dan ia berkata, "Dalam satu bab dari Abu Hurai-rah, dari Abu Ayub, dan dari al-Bara dan Ibnu Mas'ud." Dikeluarkan at-Turmudzi no.2737 dari hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan lafazd, "Seorang mukmin bagi mukmin lainnya mem-punyai enam hak.., Ia berkata, "Ini hadis hasan shahih.)
Maka renungkanlah bimbingan Nabawiyyah ini yang datang bersama syari'at yang harus diamalkan oleh seorang Muslim terhadap saudaranya yang Muslim. Demikian pula Islam datang dengan membawa kebaikan yang bersifat umum dan memerintahkannya untuk dikerjakan hingga kepada non Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa membunuh orang yang terikat perjanjian damai, maka ia tidak akan dapat mencium wanginya surga." Ketika Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga, maka hal ini menjadikan seorang tetangga mempunyai hak-hak bertetangga.
Bimbingan Nabawiyyah ini menjelaskan bahwa agama ini datang untuk menguatkan kecintaan dan persaudaraan, serta memperingatkan dari hal-hal yang dapat menghilangkannya dari bentuk-bentuk kemudharatan dan gangguan terhadap ketenteraman. Sesungguhnya orang yang memudharatkan seorang Muslim, ia akan dimudharatkan Allah, dan barangsiapa menyulitkan seorang Muslim, ia akan disulitkan Allah. (Ket : Lafadz ini dari hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi no.1940, Abu Daud no.3635, Ibnu Majah no.2342, dari hadits Shuramah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa suka memudharatkan maka akan dimudharatkan Allah, dan barangsiapa suka menyulitkan akan disulitkan Allah.") Dan orang yang suka menipu bukan termasuk kaum Muslimin. (Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, di dalamnya ada lafadz, "Barangsiapa yang menipu, maka dia bukan dari golongan ku". Di keluarkan oleh muslim no. 102)
Maka wajib bagi setiap individu ahli Islam (Muslim) untuk mengetahui hak-hak saudaranya dan tetangganya, agar berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada saudaranya, bersedia menasihati pemerintahnya dan para pemimpinnya dengan memberi peringatan terhadap adanya keburukan dan kerusakan agar mereka dapat segera menangkap para perusak itu dan memberi hukuman kepada mereka, sehingga kerusakan dan pelakunya dapat dibasmi. Allahlah tempat memohon pertolongan."
Sebagai penutup, wahai saudaraku sesama Muslim!!,
Sesungguhnya beratus-ratus contoh yang terjadi di dunia Islam setiap harinya dapat kita saksikan dan kita dengar melalui media komunikasi dan informasi; di sini terjadi ledakan, di sana pembunuhan, dan di tempat lainnya terjadi perampasan, dan seterusnya. Peristiwa-perisiwa ini menunjukkan terhadap betapa banyaknya orang yang tidak memahani al-Qur'an dan as-Sunnah, dan hidupnya tidak berdasarkan manhaj salafush shaleh radhiallahu ‘anhum.
Penutup.
Kerugian kaum Muslimin adalah jika mereka dikuasai musuh, sehingga dakwah menyeru ke jalan Allah menjadi terhalang. Allah adalah tempat memohon pertolongan dan kepada-Nya kita bergantung. Kita tidak mengatakan kecuali, "Ya Allah, kami memohon keteguhan pada kebenaran."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.