Bagian Ketujuh
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz
Syubhat-Syubhat Dan Bantahannya Seputar Masalah Pembunuhan, Penculikan, dan Peledakan
Syubhat Pertama: Pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf, Thogutnya kaum yahudi
Ka'ab bin al-Asyraf adalah seorang
yahudi yang telah memprovokasi untuk melawan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam Dia menangisi kaum Quraisy yang gugur pada perang Badar
dan dikubur dalam sumur. Musuh Allah ini [Ka'ab] kemudian pergi ke
Mekkah untuk mengumpulkan keluarganya dari kaum musyrikin untuk memusuhi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal ada perjanjian atasnya
dan atas kaum yahudi. Ketika Ka'ab kembali kemadinah, ia menggubah
syair yang berisi rayuan terhadap kaum Muslimah hingga menyakiti mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang bersedia
membunuh Ka'ab al-Asyraf untuk saya." Muhammad bin Maslamah saudara Bani
Abdul al-Asyhal berkata, "Saya bersedia melakukannya untuk anda ya
Rasulullah. Saya akan membunuhnya." Beliau berkata, "Lakukanlah jika
engkau mampu." Ia berkata, "Ya Rasulullah, kita mesti mengatakan."
Beliau berkata, "Katakanlah oleh kalian, ‘Apa yang tampak bagi kalian,
kalian bebas dalam hal itu.' (Ket : Dikeluarkan al-Bukhari hadits
no.2510, 3031, 3032. dalam kitab ringkasannya hadis no.4037. Muslim
hadits no.1801 dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu.
Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kisah Ka'ab bin
al-Asyraf dapat merujuk kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu
katsir, jilid IV/6-10. Fathul Bari (V/169), (VI/184-185) dan (VII/
390-395). Syarah Muslim an-Nawai (XII/403) dan kitab rujukan lainnya.
Al-Imam al-Baghawi berkata dalam Syarah al-Sunnah (XI/45) bahwa sebagian
orang telah sesat dalam pendapatnya, tergelincir dari kebenaran, dengan
mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ka'ab merupakan pengkianatan.
Semoga Allah menjauhkan orang yang berbicara seperti ini dan memburukkan
pendapatnya. Ia tidak tahu makna hadits dan tidak tahu metode mencari
kebenaran. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Iman itu kendali pembunuhan yang
kurang. Karena itu seorang Mukmin tidak akan membunuh secara curang."
(Dikeluarkan Abu Daud hadis no.2769. dalam sanadnya ada Abdurrahman bin
abi Karimah orang tua as-Sudi ia adalah orang yang majhul. Tetapi dalam
bab "Ma Yusyhidu.." dikeluarkan Ahmad (I/166-167) dari Zubair bin Awwam,
""Iman itu mengikat pembunuhan. Karena itu seorang mukmin tidak akan
membunuh.". Ahmad berkata (1426) ini adalah hadis sahih. Al-Arnauth
berkata dalam Syarah as-Sunnah (XI/45) bahwa ini adalah hadis hasan.-
Al-Imam berkata, "al-fatku adalah membunuh orang yang mempunyai jaminan
keamanan secara mendadak. Dan Ka'ab bin al-Asyraf adalah termasuk orang
yang Berjanji pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak
menolong orang yang melawan Rasul dan tidak memeranginya. Kemudian ia
melepaskan sendiri jaminan keamanan itu dan melanggar perjanjian. Ia
pergi ke Mekkah dan memberitakan permusuhan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, menghina dan menghujat Nabi dengan syair-syairnya,
maka ia pun berhak untuk dibunuh.) Muhammad bin Maslamah kemudian
berdiri dan bergabung dengan sejumlah laki-laki Anshar untuk membunuh
Ka'ab di luar bentengnya.
Maka perhatikanlah bahwa tidak ada
pertentangan antara larangan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam agar tidak
berkhianat dengan pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf. Karena hal itu
dilakukan akibat pengkhianatan dan pemutusan Ibnu al-Asyraf terhadap
perjanjian. Allah berfirman yang artinya, "Dan jika kamu khawatir akan
(terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah
perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (al-Anfal: 58)
Juga tidak ada pertentangan di antara
eksekusi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ibnu al-Asyraf
dengan membiarkan Ibnu Salul pemimpin kaum munafik dikarenakan ada
maslahat secara syari'at yang akan terwujud dengan hal itu dan kerusakan
yang tertolak. Hal itu karena keberadaan Ka'ab membahayakan dan
mengkhawatirkan kaum Muslimin, dan ia menjadi sumber ancaman bagi
keamanan kota Madinah. Ia melakukan penentangan dan provokasi melawan
[menyerang] kaum Muslimin secara terang-terangan. Disamping itu ia
mempunyai kekuatan materi [uang] yang ia gunakan untuk mengganggu
keamanan dan melakukan penyerangan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, yang mana beliau telah berlaku sabar terhadap gangguan
dan ancaman orang yahudi yang durhaka dan sombong ini, yang ia tidak
melihat dari Nabi dan sahabatnya, kecuali mereka menepati janjinya
[tidak seperti yang dilakukan Ka'ab].
Ketika Ka'ab bin al-Asyraf sampai pada
kedudukan ini -yaitu kedudukan musuh yang berkhianat yang menampakkan
permusuhannya yang bersiap-siap untuk melakukan penyerangan, dan tidak
mempunyai lagi penjanjian dan jaminan keamanan- karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan untuk mengeksekusi yahudi si
pengkhianat dan pembelot ini. Dengan eksekusi ini dan pengusiran
terhadap Bani Qainaqa' kaum yahudi mendapatkan pelajaran yang keras agar
mereka tidak berbuat sebagaimana Ka'ab, karena mereka menyadari bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan lalai untuk mengeksekusi
siapa saja yang memenuhi syarat untuk dihukum, beliau tidak akan
bersikap lembut, memberi nasihat, bersabar, bertoleransi kepada orang
yang mengganggu keamanan dan melecehkan pernjanjian.
Apakah memberi mashlahat jika kisah
eksekusi Ka'ab bin al-Asyraf ini dijadikan sandaran bagi pembunuhan
tentara atau warga negara secara berkhianat -dengan anggapan bahkan
Keyakinan- bahwa ia akan menimbulkan kerusakan yang tidak ada
maslahatnya di dalamnya. Kecuali meluasnya gangguan dan kemudharatan
semakin berkurang atas negara dan warganya?! (Kitab Tahshil az-Zad li
Tahqiq al-jihad, karya Said Abdul Azhim, hal 115-116)
Syubhah Kedua: Pembunuhan yahudi yang membuka aurat seorang Muslimah
Syubhah ini dipertanyakan kepada
al-Allamah al-Albani, dan ini nashnya: (Ket : dari ucapan al-Bani yang
direkam pada kaset no.691. dan tecantum dalam fatwa al-Syaikh al-Albani
yang disusun oleh ‘Ukasyah Abdul Manan, hal 204-255. )
Ada seorang da'i yang menyusun sebuah
buku, dan ia menganggap bahwa penculikan termasuk dari sunnah yang sudah
dilalaikan [tidak digunakan lagi], ia kemudian beragumen dengan kisah
eksekusi Ka'ab bin al-Asyraf (Ket : Telah kita perbincangkan kisah Ka'ab
bin al-Asyraf seorang yahudi secara terperinci. Rujuklah syubhah
pertama hal 122-126.) dan pembunuhan yahudi yang membuka aurat seorang
Muslimah. Maka bagaimanakah menurut pendapat anda?
Al-AlBani menjawab, "Semoga penyusun
buku itu yang telah menjelaskan sunnah yang telah ditinggalkan sepakat
dengan kita untuk menghidupkannya dengan benar. Adapun tentang
anggapannya bahwa ightiyal merupakan sunnah yang ditinggalkan yang harus
kita hidupkan di zaman sekarang ini. Maka ini yang termasuk kami
keluhkan, yaitu kebodohannya terhadap petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Karena kami pahami bahwa peristiwa eksekusi pertama
adalah shahih, dan kami meragukan kesahihan peristiwa lainnya. (Yaitu
kisah seorang yahudi yang dibunuh karena melihat Aurat wanita Muslimah)
Tetapi shahih atau tidaknya sama saja, maka jawaban dari peristiwa
pertama yang shahih telah mencakup semuanya.
Kami katakan, "Sesungguhnya pembunuhan
dengan cara yang terkadang disebut orang sebagai ightiyal ( Ightiyal :
menculik lalu membunuh orang yang diculik ), hal itu tidak terwujud
sebelum segala sesuatu ketika kaum Muslimin masih lemah dan di zaman
yang lemah, sehingga kaum musyrikin menyiksa mereka dengan berbagai
siksaan. Sesungguhnya Daulah Islamiyah baru terbentuk di Madinah
al-Munawwarah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di
dalamnya.
Ini yang pertama. Kesimpulan yang ingin
saya katakan bahwa eksekusi itu dilaksanakan ketika kaum Muslimin sudah
kuat dan bersatu, bukan pada saat lemah dan terpecah belah."
Kedua, pelaksanaan ini bukanlah kerja
individu yang didorong oleh emosi, walaupun simpati keIslaman, tetapi
simpati yang tidak dibarengi dengan ilmu keIslaman yang benar. Karena
pelaksana pembunuhan itu dikomandoi oleh seorang hakim Muslim yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, kami mengatakan
kepada orang yang me-nyebut eksekusi ini sebagai sunah yang
ditinggalkan, untuk membuat sebab-sebab secara syari'at yang telah
ditunjukkan oleh pembicaraanku yang telah lalu sebagai pemurnian
(klarifikasi) dan pendidikan, sehingga kaum Muslimin dapat membuat jalan
pembuka untuk mendirikan negeri Muslim di bumi dari bumi-bumi Allah
yang luas ini, yang mana akan ditegakkan pemerintahan kaum Muslimin dan
dipimpin oleh seorang laki-laki yang memenuhi syarat sebagai seorang
pemimpin jama'ah Muslim. Maka jika pemimpin ini memerintahkan
pelaksanaan eksekusi maka harus dilaksanakan.
Adapun membebaskan setiap individu untuk
mengubah dengan pendapatnya tanpa perintah dari orang yang wajib
ditaatinya, maka hal itu bukanlah sunnah secara mutlak bahkan masuk ke
dalam prinsip yang senantiasa dan selamanya kita dengungkan yaitu kata
hikmah yang menempati posisi tinggi, yang diperkuat oleh
peristiwa-peristiwa yang kita dengar dan sangat disayangkan. Prinsip
tersebut berbunyi,
مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْئَ قَبْلَ أَوَانِهِ اُبْتُلِيَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa ingin mendapatkan sesuatu dengan tergesa-gesa sebelum waktunya, maka akan diuji dengan tidak mendapatkannya."
Karena orang yang melakukan pembunuhan
terhadap seorang laki-laki dari kaum kafir yang mempunyai kekuatan dan
pemerintahan, akan memancing kaum kafir lainnya untuk membalas dendam,
dan mereka lebih kuat dari seorang Muslim. Akibat lebih jauhnya akan
melemahkan kaum Muslimin. Sedangkan pembunuhan [eksekusi] yang diperbuat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akibatnya mendatangkan
kemenangan bagi kaum Muslimin. Maka jauh sekali akibat yang ditimbulkan
dari kedua hal tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam,
إنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
"Sesungguhnya amal itu
tergantung dari hasil akhirnya." (Potongan dari hadis yang dikeluarkan
al-Bukhari no.6607 dari hadits Sahal radhiallahu ‘anhu) Inilah jawaban
saya terhadap permasalahan sunnah yang ditinggalkan dan dituduhkan."
Syubhah Ketiga: Eksekusi terhadap Abu
Rafi' Abdullah bin Abi al-Haqiq al-yahudi (Ket : Telah berbeda pendapat
dalam penamaannya, dikatakan namanya adalah Abdullah seperti yang
dikatakan al-Bukhari. Dikatakan pula bahwa namanya adalah Salam seperti
yang dikatakan Ibnu Ishaq. Lihat Fathul Bari (V/397) )
Sebagaimana orang-orang yang gegabah dan
antusias yang tidak berdasarkan kepada manhaj Kitabullah dan as-Sunnah
menjadikan dalil eksekusi Ka'ab bin al-Asyraf untuk mengeksekusi
tentara, warga sipil, korps diplomatik, para penanggung jawab,
orang-orang yang terlibat perjanjian, dan yang lainnya. Mereka pun
menjadikan kisah eksekusi Abu Rafi' bin Ubai al-Haqiq al-yahudi sebagai
dalil. Kita tahu bahwa mereka tidak mempunyai dalil dalam hal tersebut.
Maka, bagaimanakah kisah eksekusi terhadap Abu Rafi' al-yahudi?
Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra
bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengirim sekelompok utusan kepada Abu Rafi'. Maka masuklah
Abdullah bin ‘Atik ke rumahnya pada suatu malam dan membunuh Abu
Rafi'yang saat itu sedang tidur." (Dikeluarkan al-Bukhari no.4038, 4031,
dan 4040, dari al-Barra bin'Azib radhiallahu ‘anhu. Lihat Fathul Bari
(V/390)) Demikianlah yang diriwayatkan al-Bukhari secara ringkas,
kemudian ia meriwayatkannya secara lengkap dengan rincian panjang dan
terperinci tentang kejadiannya.
Abu Rafi' adalah salah satu pemimpin
kaum yahudi Bani an-Nadhir yang menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan membantu musuh-musuh beliau. Di antara kisahnya ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pergi dengan sekelompok sahabatnya kepada
Bani an-Nadhir untuk meminta mereka membayar denda/diat terhadap dua
pembunuhan sesuai dengan nash-nash yang sudah disepakati di antara
keduanya. Maka kesempatan ini digunakan oleh para pemimpin Bani Nadhir
yang diketuai Ibnu Abu al-Haqiq untuk membuat satu skenario. Mereka
menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya
dengan sambutan yang besar. Mereka memberikan penghormatan dan
mempersiapkan apa yang sudah disepakati untuk membayar kewajiban berupa
uang denda yang diminta. Kemudian para tamu dipersilahkan duduk di
samping salah satu rumah sambil menunggu mereka membawa uang.
Orang-orang yahudi itu telah bersepakat dengan si pemilik rumah yang
mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bersandar
pada dinding rumah itu, agar sebagian dari mereka naik ke atap rumah
secara diam-diam untuk menjatuhkan barang berat ke atas kepala Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam agar kepala beliau pecah. Karena dengan hal
itu tamatlah riwayat Muhammad dan Islam. Karena kaum yahudi meresa
resah dengan kedatangan agama ini [Islam] yang telah membongkar
kesesatan mereka, sehingga para pemimpin mereka pantas untuk melakukan
makar ini.
Allah membuka tabir makar kaum yahudi
itu kepada Nabi-Nya, sehingga beliau tahu makar yang sedang mereka
persiapkan. Beliau pun dan para sahabatnya segera bangun dan menjauhi
tempat tersebut, sehingga selamatlah beliau dari pembunuhan yang keji
tersebut. Karena itu Bani an-Nadhir mesti mendapat sanksi, disebabkan
Ibnu Abu al-Haqiq dan yang lainnya dari pemimpin Bani an-Nadhir mencoba
membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dengan
tiba-tiba. Kaum yahudi tidak mau sedikit pun menghormati perjanjian
yang telah mereka buat antara mereka dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Mereka telah memutuskannya secara sepihak karena itu
sudah sepantasnya memerangi mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum Muslimin berangkat untuk memerangi kaum yahudi Bani an-Nadhir.
Kaum yahudi Bani an-Nadhir kemudian memasuki benteng mereka dan
menguncinya. Mereka menyerang kaum Muslimin dengan panah-panah mereka
dan memusatkan serangannya ke kemah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
yang memerintahkan penghancuran Bani an-Nadhir dari tempat yang tidak
bisa dijangkau para pemanah musuh.
Untuk menghancurkan mental kaum yahudi
Bani an-Nadhir, beliau memerintahkan untuk memotong pohon-pohon kurma
mereka dan membakarnya. Maka hal ini mampu melemahkan kekuatan mereka.
Setelah beberapa lama mereka pun menyerah dan menerima syaratnya yaitu
harus meninggalkan kota Madinah dengan meninggalkan harta benda dan
persenjataan mereka dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Ibnu Abu al-Haqiq dan sebagian besar kaum yahudi Bani
an-Nadhir kemudian tinggal di Khaibar.
Ibnu Abu al-Haqiq tidak pernah melupakan
kegagalannya membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
memutuskan agamanya. Ia tidak pernah hidup tenang dengan kekalahan yang
sangat menghinakannya dan menghinakan kaumnya. Maka sejak saat itu ia
merencanakan pembunuhan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai balasan atas pengusian dan kekalahannya yang menghinakan.
Kaum Muslimin sangat geram terhadap Ibnu
Abu al-Haqiq yang mereka tidak mampu bersabar lagi, hingga akhirnya
mereka meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
membunuhnya agar Islam dan kaum Muslimin terlepas dari keburukannya.
Beliau pun mengizinkannya. Maka berkumpullah sekelompok orang dari Bani
Khajraj diketuai oleh Abdullah bin ‘Atik. Mereka telah merencanakan
untuk membunuh Ibnu Abu al-Haqiq. Mereka kemudian melaksanakan rencana
tersebut dan berakhir dengan terbunuhnya Ibnu Abu al-Haqiq. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bergembira dengan apa yang telah dilakukan
para sahabatnya itu dan mendoakan mereka. Demikianlah pembunuhan itu
terlaksana ketika Ibnu Abu al-Haqiq sedang tidur, sesudah ia
mengkhianati perjanjian yang dibuat antara dia dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi orang-orang yang bodoh dan gegabah
mengatakan bahwa pembunuhan itu bukan disebabkan pengkhianatan Ibnu Abu
al-Haqiq.
Setelah itu, "Wahai saudaraku Muslim,
apakah kisah pembunuhan Ibnu Abu al-Haqiq bisa dijadikan sandaran untuk
membunuh para penanggung jawab [pemerintah] atau sebagian tentara dan
yang lainnya, atau membunuh para diplomat, orang yang terlibat dengan
perjanjian, atau dengan meledakkan bangunan-bangunan pemerintah dan yang
lainnya?!"
Keputusan-keputusan Majelis Haiah Kibar Ulama Seputar Peristiwa-peristiwa Peledakan
Keputusan No.148, Dikeluarkan Pada
Pertemuan Ke-32 Tanggal 12/1/1409 H (Majalah Mujtama al-Fiqh al-Islami,
tahun II, edisi.3, hal 181)
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam, dan kesudahan yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Tidak ada permusuhan kecuali bagi orang-orang zalim. Semoga rahmat Allah
dan berkah-Nya dilimpahkan kepada manusia terbaik, Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, juga kepada keluarganya, para sahabatnya,
dan orang-orang yang mencari petunjuk dengan petunjuknya sampai hari
Kiamat.
Majelis Ulama Besar mengadakan
pertemuannya yang ke-32 di kota Thaif, dimulai pada tanggal 8/1/1409
sampai 12/1/1409 H. Pertemuan tersebut diadakan karena terjadinya
peristiwa-peristiwa peledakan (sabotase) yang telah memakan korban
orang-orang yang tidak berdosa, menghancurkan harta benda, tempat
tinggal, serta fasilitas-fasilitas umum di banyak negeri-negeri Islam
dan tempat lainnya. Peledakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang
lemah imannya atau tidak mempunyai iman sama sekali dari orang-orang
yang sakit jiwanya dan dengki. Di antara perbuatan yang telah mereka
lakukan adalah meledakkan tempat tinggal, membakar fasilitas-fasilitas
umum dan khusus, meledakkan jembatan dan terowongan, meledakkan pesawat
atau membajaknya. Kejahatan ini banyak terjadi di berbagai negeri yang
jauh atau yang dekat. Sesungguhnya Kerajaan Arab Saudi dan negeri
lainnya termasuk sasaran [target] dari kegiatan peledakan tersebut.
Majelis Ulama Besar memandang hal ini sebagai suatu keharusan untuk
menetapkan sanksi [hukuman] yang dapat menghalangi orang-orang yang akan
melakukan peledakan, baik yang ditujukan untuk merusak
fasilitas-fasilitas umum, pemerintah, atau ditujukan untuk selainnya
yang merusak dan mengganggu keamanan.
Majelis Ulama Besar menelaah terhadap
apa yang disebutkan oleh ahlu ilmu [para ulama] bahwa hukum-hukum
syari'ah harus diberlakukan dan wajib dijalankan untuk melindungi lima
hal yang darurat, dan memelihara sebab-sebab yang dapat
menyelamatkannya; yaitu agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta.
Majelis Ulama Besar menggambarkan bahaya
besar yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut telah melanggar
kehormatan kaum Muslimin terhadap jiwa mereka, kehormatan, harta benda
mereka, dan kondisi yang ditimbulkan oleh peledakan tersebut berupa
gangguan keamaanan secara umum di suatu negeri, timbulnya kekacauan, dan
ketakutan kaum Muslimin terhadap jiwa dan kepemilikan mereka.
Allah Ta'ala memelihara manusia baik
agama mereka, badan, ruh, kehormatan, akal, dan harta benda mereka,
dengan apa yang sudah disyari'atkan berupa batasan-batasan dan
sanksi-sanksi yang dapat mewujudkan rasa aman secara umum maupun khusus.
Hal tersebut dijelaskan dalam firman-Nya, "Karena itu, Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barangsiapa yang membunuh seorang
manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh
manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)
"Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar."
(al-Maidah: 33)
Implementasi (pelaksanaan) hal tersebut
adalah seperti adanya jaminan rasa aman dan tenteram, serta pencegahan
dari berbuat kejahatan dan pelanggaran kepada kaum Muslimin baik
terhadap jiwa dan kepemilikan mereka. Jumhur Ulama berpendapat bahwa
hukum muharabah (pelaku keonaran) yang terjadi di berbagai pelosok dan
tempat lainnya mempunyai hukum yang sama, berdasarkan firman Allah, "Dan
mereka berusaha berbuat kerusakan di muka bumi." Ibnu Katsir
rahimahullah menyebutkan hal tersebut dalam tafsirnya, dan ia berkata
pula, Muharabah adalah pelanggaran dan suatu perbuatan menentang yang
berlaku atas kekufuran, membegal, dan membuat orang ketakutan. Demikian
pula berbuat kerusakan di muka bumi ia adalah sebutan untuk jenis-jenis
keburukan.
Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia
menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi
hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia
berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak
menyukai kebinasaan." (al-Baqarah: 204-205);
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya." (al-A'raf: 56)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah
melarang berbuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang dapat
merusaknya setelah adanya perbaikan. Sesungguhnya jika berbagai urusan
sudah berjalan dengan benar, kemudian terjadilah kerusakan setelah itu,
maka hal itu akan mencelakakan manusia. Maka Allah melarang hal
tersebut."
Al-Qurthubi berkata, "Allah melarang
dari setiap kerusakan baik kecil maupun besar setelah adanya perbaikan
baik kecil maupun besar, hal itu berlaku umum dan berdasarkan
kebenaran."
Maka berdasarkan hal tersebut dan yang
sudah dijelaskan terdahulu bahwa perbuatan peledakan (sabotase) melebihi
perbuatan orang-orang muharabah yang mana mereka mempunyai tujuan
khusus untuk mendapatkan harta atau barang-barang lainnya. Tujuan mereka
adalah mengganggu keamanan dan menghancurkan bangunan umat, mencabut
akidahnya, dan memalingkan dari manhaj Rabbani.
Majelis Ulama Besar sepakat untuk mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
* Menetapkan hukum berdasarkan syari'at
bagi orang yang mela-kukan penghancuran dan pengrusakan di muka bumi
yang mengganggu keamanan, melanggar kehormatan jiwa, dan kepemilikan
khusus maupun umum, seperti peledakan tempat tinggal, masjid-masjid,
sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, pabrik-pabrik,
jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, sumber-sumber air,
sumber-sumber dana bagi baitul mal seperti kilang-kilang minyak,
meledakkan pesawat atau membajaknya, serta kejahatan lainnya. Maka
hukuman (sanksi) untuk semuanya itu adalah hukuman mati, berdasarkan
dalil [ayat al-Qur'an] yang sudah dikemukakan terhadap contoh-contoh
pengrusakan di bumi dengan sanksi mengeksekusi orang yang melakukan
pengrusakan tersebut. Juga disebabkan orang-orang yang melakukan
peledakan dan kemudharatan sebenarnya mereka lebih bahaya daripada orang
yang merampok di jalan kemudian membunuh atau mengambil harta bendanya.
Allah telah menghukumi hal demikian sebagaimana yang disebutkan dalam
ayat tentang perang.
* Sebelum menjatuhkan hukuman mati
seperti yang sudah dijelaskan di muka, hendaklah dilakukan penyempurnaan
prosedur pembuktian terlebih dahulu dari sisi hukum-hukum syara',
kasasi, Majelis Hakim Agung, mendapat persetujuan tertulis tentang
pembebasan hutang sebagai kehatian-hatian bagi jiwa si terhukum, serta
mendapatkan pengesahan dari negara untuk melaksanakan prosedur secara
syara' dalam menetapkan kejahatan dan hukumannya.
* Majelis Ulama Besar memandang bahwa hukuman tersebut harus disosialisasikan melalui media masa.
Semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Susunan Majelis Ulama Besar
Ketua Sidang
Ketua Sidang
Abdul Aziz Shalih
Anggota
Anggota
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Abdul
Razaq ‘Afifi, Abdullah bin Khayyath, Ibrahim bin Muhammad Ali Syaikh
(absen karena sakit). Muhammad bin Jubair, Sulaiman bin Aid, Rasyid bin
Khunain, Abdul Majid bin Hasan, Shalih bin Ghashun, Abdullah bin
Ghudayyan, Shalih al-Luhaidan, Abdullah bin Mani', Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, Abdullah al-Basam, Hasan bin Ja'far al-‘Atmi, Shalih
al-Fauzan, Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh
Peristiwa Peledakan yang terjadi di Mekkah al-Mukarramah tahun 1409 H.
Yang Mulia Mufti al-‘Am Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz (Ket: Penjelasan Syaikh bin Baz ini telah
disiarkan dalam Koran Ar-Riyadh dan yang lainnya pada tanggal 12/12/1409
H. Lihat kitab Majmu Fatawa wa Maqalaat Mutanawi'ah karya Syaikh bin
Baz (248/V) ), semoga Allah melindunginya, berkata, "Dunia Islam telah
mengutuk peledakan yang terjadi di Mekkah al-Mukarramah pada sore hari
Senin tanggal 7/12/1409 H. Mereka menganggap perbuatan tersebut
merupakan kejahatan yang sangat besar dan kemungkaran yang sangat keji,
dikarenakan mereka telah mengintimidasi para jemaah haji yang sedang
mengunjungi Baitul Haram, mengganggu keamanan, mencemari kehormatan
negeri yang diharamkan, dan telah menzalimi hamba-hamba Allah.
Allah telah mengharamkan [memuliakan]
Al-Balad al-Haram (Mekkah) sebagaimana mengharamkan darah kaum Muslimin,
harta, dan kehormatan mereka sampai hari Kiamat, dan menjadikan
pencemaran terhadap kehormatan tersebut sebagai suatu kejahatan dan dosa
terbesar, serta mengancam orang yang berkeinginan melakukan hal itu di
kota Mekkah dengan memberikan siksaan yang pedih. Sebagaimana firman
Allah artinya, "Siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan
secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagiaan siksa yang
pedih." (al-Hajj: 25) Jika orang yang bermaksud (berencana) melakukan
kejahatan secara zalim di kota Mekkah, diancam dengan siksaan yang pedih
walaupun belum melakukannya, maka bagaimana halnya dengan orang yang
sudah melakukannya. Tentu kejahatannya akan lebih besar, dan lebih
berhak untuk mendapat siksaan yang pedih itu!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengingatkan umatnya dari berbuat zalim dalam banyak hadits. Di
antaranya yang beliau jelaskan untuk umatnya pada waktu Haji Wada',
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya darah-darah
kalian, harta-harta, dan kehormatan kalian adalah diharamkan
[dimuliakan], seperti diharamkannya hari kalian ini, di bulan ini, di
negeri ini. Tidakkah saya telah menyampaikan hal ini." Para sahabat
berkata, "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan
menasihatkan." Kemudian beliau mengangkat jari tangannya ke arah langit
dan ke arah bumi, sambil bersabda, "Ya Allah saksikanlah, ya Allah
saksikanlah."
Kejahatan keji dengan melakukan
peledakan di dekat Baitullah al-Haram ini adalah merupakan kejahatan
terbesar, yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang beriman kepada
Allah dan hari Akhirat. Sesungguhnya orang yang melakukannya adalah
orang yang memendam kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin, serta
terhadap para jemaah haji yang mengunjungi Baitullah al-Haram. Maka
betapa meruginya ia, dan betapa besar kejahatannya. Kami memohon kepada
Allah untuk menolak daya upaya dalam dadanya dan menyingkapkan
rencananya, serta mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada pemerintahan
Al-Haramain (Mekkah dan Madinah) untuk mengenali dan menegakkan hukum
Allah terhadapnya. Sesungguhnya Allah Ta'ala yang mengurus hal itu dan
mampu untuk melakukannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada Nabi kita
Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya.
Keputusan terhadap terjadinya peledakan yang terjadi di Riyadh di kampung al-Ulayya.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa,
shalawat dan salam semoga tercurah bagi seorang Nabi yang tidak ada Nabi
setelahnya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba'du:
Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi
Arabia telah mengetahui peledakan yang terjadi di sebuah gedung tinggi
di kota Riyadh yang dekat dengan jalan umum, pada waktu Dhuha, hari
Senin tanggal 20/6/1416 H. Peledakan tersebut telah menewaskan jiwa-jiwa
yang tidak berdosa dan melukai banyak orang, serta membuat takut
orang-orang yang sedang berada dalam rasa aman dan para penyebrang
jalan. Karena itu, Majelis Ulama Besar memutuskan bahwa pelanggaran ini
merupakan dosa dan kejahatan yang keji, suatu pengkhianatan, pelanggaran
terhadap kehormatan agama dalam jiwa, harta, keamanan, dan ketenangan.
Perbuatan ini tidak akan dilakukan kecuali oleh seorang pendosa yang
hatinya dipenuhi kebencian, pengkhianatan, iri dengki, kedurhakaan,
permusuhan, serta benci terhadap kehidupan dan kebaikan. Kaum Muslimin
tidak berbeda pendapat tentang keharamannya, kejahatannya, dan kebesaran
dosanya. Banyak ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang mengharamkan
kejahatan ini dan yang semisalnya.
Majelis mengharamkan kejahatan ini
sebagai peringatan agar orang meninggalkan keburukan, pikiran-pikiran
yang jahat, kerusakan, dan kedurhakaan, karena sesungguhnya hawa nafsu
selalu mengajak kepada keburukan. Jika seseorang dibiarkan bebas
melakukannya maka timbullah berbagai kelompok orang yang rusak
[akhlaknya]. Orang-orang pendendam akan menemukan jalan masuk
[kesempatan] untuk menjalankan tujuan-tujuan mereka dan hawa nafsu
mereka akan mereka sebarkan untuk merobohkan kebaikan. Karena itu, wajib
bagi setiap orang yang mengetahui sesuatu dari manusia-manusia
penghancur seperti ini untuk melaporkan mereka secara khusus.
Allah telah memperingatkan dalam al-Qur'an tentang orang yang mengajak kepada keburukan dan kerusakan di bumi,
"Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar."
(al-Maidah: 33)
Dalam firman-Nya yang lain, "Dan di
antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya,
padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling
(dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan
merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai
kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah",
bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka
cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sesungguh neraka jahanam itu
tempat tinggal yang seburuk-buruknya." (al-Baqarah: 204-206)
Kami memohon kepada Allah dengan
perantaraan Asma'ul Husna dan sifat-sifat-Nya, agar merobek tabir kaum
pelanggar keamanan, menjauhkan bahaya dari kami dan dari seluruh kaum
Muslimin, melindungi negeri ini dan negeri seluruh kaum Muslimin dari
keburukan dan kebencian, serta memberi taufik kepada para pemimpin kita
dan para pemimpin kaum Muslimin agar memberi kemaslahatan kepada warga
negara dan negerinya. Sesungguhnya Dia-lah sebaik-baiknya tempat
meminta. Semoga rahmat Allah dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad,
keluarganya, dan para sahabatnya.
Ketua Sidang[
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota
Rasyid bin Khunain, Shalih al-Luhaidan, Abdullah bin Ghudayyan, al-Bassam, Abdullah bin Sulaiman bin Mani', Muhammad bin Ibrahim bin Jubair, Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Muhammad bin Muhammad ar-Rasyid, Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh, Muham-mad bin Ja'far al-‘Atmi, Muhammad bin Sulaiman al-Badri, DR. Abdullah bin Abdul Muhsin, Muhammad bin Abdullah al-Sabil, Muhammad bin Zaid Ali Sulaiman, Abdul Wahab bin Ibrahim Abu, Abdurrahman bin Hamzah al-Marzuqi, DR. Bakar bin Abdullah Abu Zaid, DR.Shalih bin Abdurrahman al-Athram.
Rasyid bin Khunain, Shalih al-Luhaidan, Abdullah bin Ghudayyan, al-Bassam, Abdullah bin Sulaiman bin Mani', Muhammad bin Ibrahim bin Jubair, Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Muhammad bin Muhammad ar-Rasyid, Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh, Muham-mad bin Ja'far al-‘Atmi, Muhammad bin Sulaiman al-Badri, DR. Abdullah bin Abdul Muhsin, Muhammad bin Abdullah al-Sabil, Muhammad bin Zaid Ali Sulaiman, Abdul Wahab bin Ibrahim Abu, Abdurrahman bin Hamzah al-Marzuqi, DR. Bakar bin Abdullah Abu Zaid, DR.Shalih bin Abdurrahman al-Athram.
Keputusan terhadap terjadinya peledakan
yang terjadi di kota Khubar di Wilayah Bagian Timur (Majalah ad-Da'wah,
no. (1548), 18/2/1417 H-4 Juli 1996)
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa,
shalawat dan salam semoga tercurah bagi seorang Nabi yang tidak ada Nabi
setelahnya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba'du:
Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi
Arabia telah mengadakan Sidang Istimewanya yang ke X, yang diadakan di
kota Thaif, pada hari Sabtu tanggal 13/2/1417 H. Pada sidang tersebut
didiskusikan tentang peristiwa peledakan yang terjadi di kota Khabar di
wilayah bagian timur pada hari Selasa tanggal 9/2/1417 H. Peledakan
tersebut membawa korban, menimbulkan kerusakan, intimidasi, dan
merugikan banyak orang dari kaum Muslimin dan yang lainnya.
Setelah memandang, mempelajari, dan memikirkan, Majelis Ulama Besar berdasarkan kesepatan (ijma') memutuskan sebagai berikut:
Pertama, peledakan ini merupakan
kejahatan yang diharamkan menurut syara' berdasarkan kesepatan kaum
Muslimin, dengan sebab-sebab sebagai berikut:
* Peledakan telah melanggar kehormatan
Islam yang telah ditetapkan dengan terpaksa (kesengajaan); melanggar
kehormatan jiwa yang dilindungi, melanggar kehormatan harta, melanggar
kehor-matan rasa aman dan ketenangan hidup manusia di tempat tinggal
mereka dan kehidupan mereka, pada pagi dan sore hari, melanggar
[merusak] kemaslahatan umum yang sangat dibutuhkan orang. Betapa buruk
dan besarnya kejahatan orang yang berani melanggar kehormatan Allah,
menzalimi hamba-hamba-Nya, mengintimidasi kaum Muslimin dan penduduk
yang tinggal di tengah mereka. Maka sungguh betapa celakanya ia, betapa
celakanya ia, karena ia akan mendapatkan azab Allah dan siksa-Nya. Dan
bagi orang yang seperti itu, kami memohon kepada Allah untuk
menyingkapkan tabir kejahatannya.
* Sesungguhnya jiwa yang dilindungi
dalam hukum syari'at Islam adalah setiap Muslim, dan setiap orang yang
di antaranya dan di antara kaum Muslimin ada jaminan rasa aman,
sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan barangsiapa yang
membunuh seorang Mu'min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam,
ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya." (an-Nisa: 93) Allah berfirman
tentang hak [kafir] Dzimmi yang mendapat perlindungan dalam hukum
pembunuhan karena tersalah (tidak sengaja), "Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu,
maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin."
(an-Nisa: 92) Jika seorang kafir dzimmi yang mendapat jaminan keamanan
terbunuh karena kesalahan, sanksinya adalah membayar diat dan kafarat,
maka bagaimana lagi jika ia dibunuh dengan sengaja? Maka tentu
kejahatannya akan lebih besar demikian pula dosanya. Hal ini dibenarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya, "Barangsiapa
membunuh orang yang terikat perjanjian, maka ia tidak akan memcium bau
surga."
Orang yang meminta keamanan tidak boleh
disakiti, apalagi sampai membunuhnya, karena hal seperti itu merupakan
kejahatan yang besar dan mungkar. Ini merupakan ancaman yang sangat
[berat] bagi orang yang membunuh orang yang terikat perjanjian, karena
hal itu merupakan dosa besar yang pelakunya diancam tidak akan masuk
surga. Kami berlindung kepada Allah dari pengkhianatan seperti itu.
* Perbuatan jahat ini mencakup
jenis-jenis kejahatan yang diharamkan dalam Islam seperti pengkhianatan,
kedurhakaan, permu-suhan, kejahatan dosa, mengintimidasi kaum Muslimin
dan yang lainnya. Setiap keburukan dan kemungkaran adalah tertolak dan
dibenci Allah, rasul-Nya, dan kaum Mukmin.
Kedua, Majelis Ulama Besar menjelaskan
kejahatan ini dalam suatu deklarasi. Karena hal ini dapat memberitahukan
ke seluruh dunia bahwa Islam berlepas diri dari perbuatan jahat
tersebut. Demikian pula setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir, berlepas diri darinya. Sesungguhya perbuatan jahat ini hanya
akan dilakukan oleh orang yang memilika pikiran menyimpang, dan akidah
yang sesat. Ia akan memikul dosa dan kejahatannya. Maka perbuatan-nya
tersebut tidak dibenarkan oleh Islam, kaum Muslimin yang mendapat
petunjuk dengan petunjuk Islam yang terpelihara dengan al-Qur'an, dan
sunnah yang terikat dengan tali Allah yang sangat kuat. Sesungguhnya
perbuatan yang merusak dan kejahatan, ditolak oleh syari'at dan fitrah
[manusia]. Karena itu, nash-nash syari'at datang untuk memutuskannya
[yaitu] dengan mengharamkannya dan memperingatkan dari berteman dengan
pelakunya.
Allah berfirman yang artinya, "Dan di
antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya,
padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling
(dari kamu) ia berjalan di bumi untuk meng-adakan kerusakan padanya, dan
merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai
kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepada-nya, "Bertakwalah kepada
Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka
cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sesungguhnya neraka jahanam
itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." (al-Baqarah: 204-206).
Firman-Nya yang lain yang artinya,
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
akan memperoleh siksaan yang besar." (al-Maidah: 33)
Kami memohon kepada Allah dengan
perantaraan Asma'ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar
menyingkapkan tabir oang-orang yang berbuat pelanggaran, dan
memberlakukan hukum syari'at yang suci terhadapnya, menjauhkan bahaya
dari negeri ini dan seluruh negeri Muslimin, dan semoga Allah memberi
taufik kepada pemerintahan al-Haramain al-Syarifain Raja Fahd bin Abdul
Aziz dan pemerintahannya dan seluruh pemimpin yang mengurus urusan kaum
Muslimin yang membawa kemaslahatan bagi negara dan warganya, serta dapat
memberantas kerusakan dan orang-orang yang merusak, agar mereka
menolong agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, memperbaiki kondisi
kaum Muslimin semuanya. Sesungguhnya Allah mengurus hal itu dan mampu
melakukannya. Semoga rahmat Allah dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad,
keluarganya, dan para sahabatnya.
Susunan Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi Arabia
Ketua Sidang
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Ketua Sidang
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota
Rasyid bin Khanin, Shalih al-Luhaidan,
Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Sulaiman bin Mani', Muhammad bin
Ibrahim bin Jubair, Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Muhammad bin
Muhammad ar-Rasyid (tidak ada tanda tangan), Abdul Aziz bin Abdullah Ali
Syaikh, Muham-mad bin Ja'far al-‘Atmi, Muhammad bin Sulaiman al-Badri,
DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Muhammad bin Abdullah al-Sabil,
Muhammad bin Zaid Ali Sulaiman, Abdul Wahab bin Ibrahim Abu, Abdurrahman
bin Hamzah al-Marzuqi, DR. Bakar bin Abdullah Abu Zaid, DR.Shalih bin
Abdurrahman al-Athram.
Kewajiban Muslim untuk
Menghadapi Orang-orang yang Akan Merusak Keamanan Masyarakat dan
Mengintimidasi Orang-orang yang Berada dalam Keadaan Aman
Fadhilah asy-Syaikh al-‘Allamah Abdullah
bin Jibrin (Ket : Majmu' Fatawa wa Rasail, karya Syaikh Ibnu Jibrin,
bab al-‘Aqidah (Juz VIII).), ditanya, "Apa kewajiban seorang Muslim
untuk menghadapi orang-orang yang akan merusak keamanan masyarakat dan
mengintimidasi orang-orang yang berada dalam keadaan aman. Mereka
mencoba untuk merusak keamanan dan ketenteraman masyarakat Muslim? Apa
kewajiban seorang Muslim untuk menghadapi orang yang diketahui bahayanya
dan kemudaratannya terhadap masyarakat, dan ia merupakan salah satu
penyebab timbulnya masalah ini, dan ia berusaha untuk memerangi,
menghancurkan, dan memecah belah kaum Muslimin?
Jawabannya:
Tidak diragukan bahwa seorang Muslim
yang Mukmin, maka keimanannya akan membawanya untuk mencintai secara
tulus Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan
masyarakat umumnya. (Ket : Dari hadis Tamim ad-Dari, ia berkata bahwa
Rasulullah a bersabda, "Agama itu nasihat {ketulusan cinta}-(beliau
mengulangnya tiga kali)- untuk Allah, kitab-kitab-Nya, Nabi-Nya,
pemimpin kaum Muslimin, dan masyarakat umum." Dikeluarkan oleh Muslim,
hadis no.55.) Disadari bahwa ia berhutang kepada masyarakatnya yang
Muslim untuk memberikan cinta dan keikhlasan dalam muamalah
(berinteraksi), dan mencegahnya dari berbuat zalim, kemudharatan, serta
berbuat keburukan bagi masyarakat Muslim yang mempunyai hak atasnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ بُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَ خِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak dianggap beriman salah seorang
dari kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai
dirinya." (Dikeluarkan Bukhari hadis no.13, Muslim hadis no,45, dari
hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Maknanya, bahwa keimanan seorang Mukmin
akan membawanya untuk mencintai saudaranya, berbuat kebaikan kepada
mereka, serta menjauhkan keburukan dari mereka. Maka ketika salah
seorang dari mereka tidak memberi rasa aman bagi negerinya atau merusak
ketenteramannya, hal itu merupakan indikasi dari kelemahan imannya,
kurangnya penghormatannya kepada kaum Muslimin, dan hatinya dipenuhi
oleh kebencian dan kedendaman kepada negerinya dan warga negaranya.
Sifat-sifat tersebut akan
mengeluarkannya dari al-Ukhuwah ad-Diniyyah (persaudaran karena agama),
dan menjauhkannya dari sifat amanah dan dapat dipercaya. Jika ada warga
negara sampai kepada kondisi buruk seperti ini, maka kaum Muslimin
seluruhnya harus membencinya, mencegah perbuatan kejinya, berhati-hati
jangan sampai percaya kepada ucapannya, mempercayainya, dan jangan dekat
dengannya, sehubungan ia dianggap sebagai warga negara yang lumpuh. Hal
demikian karena Allah telah mengikat persaudaraan di antara kaum
Muslimin. Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya, "Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara." (al-Hujurat: 10) dan firman-Nya,
"Dan jadilah kalian dengan nikmat-Nya itu menjadi bersaudara." (Ali
Imran: 103)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menguatkan hal itu dengan sabdanya, "Seorang Muslim adalah saudaranya
yang Muslim, ia tidak boleh menzaliminya, menghinanya, menyerahakannya.
Cukuplah keburukan seorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim.
Setiap Muslim bagi Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan
kehormatannya." (Dikeluarkan Bukhari hadis no.2442, Muslim hadis
no.2580, dari hadis Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma.)
As-Sunnah datang dengan syari'atnya yang
menguatkan persaudaraan ini, seperti Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, "Seorang Muslim kepada Muslim lainnya mempunyai enam hak yang
harus dilakukan dengan baik; memberi salam apabila berjumpa dengannya;
memenuhi undangannya; mendoakannya jika bersin; mengunjunginya jika
sakit, mengantarkan jenazahnya jika ia meninggal, dan mencintainya
seperti ia mencintai dirinya." (Ket : Dikeluarkan aT-Turmudzi no.2736,
Ibnu Majah no.1433, dari hadis Ali bin Abi Thalib RA. At-Turmudzi
berkata, "Ini hadis hasan." Dan ia berkata, "Dalam satu bab dari Abu
Hurai-rah, dari Abu Ayub, dan dari al-Bara dan Ibnu Mas'ud." Dikeluarkan
at-Turmudzi no.2737 dari hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan
lafazd, "Seorang mukmin bagi mukmin lainnya mem-punyai enam hak.., Ia
berkata, "Ini hadis hasan shahih.)
Maka renungkanlah bimbingan Nabawiyyah
ini yang datang bersama syari'at yang harus diamalkan oleh seorang
Muslim terhadap saudaranya yang Muslim. Demikian pula Islam datang
dengan membawa kebaikan yang bersifat umum dan memerintahkannya untuk
dikerjakan hingga kepada non Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Barangsiapa membunuh orang yang terikat perjanjian
damai, maka ia tidak akan dapat mencium wanginya surga." Ketika Islam
memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga, maka hal ini
menjadikan seorang tetangga mempunyai hak-hak bertetangga.
Bimbingan Nabawiyyah ini menjelaskan
bahwa agama ini datang untuk menguatkan kecintaan dan persaudaraan,
serta memperingatkan dari hal-hal yang dapat menghilangkannya dari
bentuk-bentuk kemudharatan dan gangguan terhadap ketenteraman.
Sesungguhnya orang yang memudharatkan seorang Muslim, ia akan
dimudharatkan Allah, dan barangsiapa menyulitkan seorang Muslim, ia akan
disulitkan Allah. (Ket : Lafadz ini dari hadits yang dikeluarkan
at-Turmudzi no.1940, Abu Daud no.3635, Ibnu Majah no.2342, dari hadits
Shuramah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
"Barangsiapa suka memudharatkan maka akan dimudharatkan Allah, dan
barangsiapa suka menyulitkan akan disulitkan Allah.") Dan orang yang
suka menipu bukan termasuk kaum Muslimin. (Dari hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, di dalamnya ada lafadz, "Barangsiapa yang menipu,
maka dia bukan dari golongan ku". Di keluarkan oleh muslim no. 102)
Maka wajib bagi setiap individu ahli
Islam (Muslim) untuk mengetahui hak-hak saudaranya dan tetangganya, agar
berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada saudaranya, bersedia
menasihati pemerintahnya dan para pemimpinnya dengan memberi peringatan
terhadap adanya keburukan dan kerusakan agar mereka dapat segera
menangkap para perusak itu dan memberi hukuman kepada mereka, sehingga
kerusakan dan pelakunya dapat dibasmi. Allahlah tempat memohon
pertolongan."
Sebagai penutup, wahai saudaraku sesama Muslim!!,
Sesungguhnya beratus-ratus contoh yang
terjadi di dunia Islam setiap harinya dapat kita saksikan dan kita
dengar melalui media komunikasi dan informasi; di sini terjadi ledakan,
di sana pembunuhan, dan di tempat lainnya terjadi perampasan, dan
seterusnya. Peristiwa-perisiwa ini menunjukkan terhadap betapa banyaknya
orang yang tidak memahani al-Qur'an dan as-Sunnah, dan hidupnya tidak
berdasarkan manhaj salafush shaleh radhiallahu ‘anhum.
Penutup.
Kerugian kaum Muslimin adalah jika
mereka dikuasai musuh, sehingga dakwah menyeru ke jalan Allah menjadi
terhalang. Allah adalah tempat memohon pertolongan dan kepada-Nya kita
bergantung. Kita tidak mengatakan kecuali, "Ya Allah, kami memohon
keteguhan pada kebenaran."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.