Bagian Keenam
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz
KETIGA : FENOMENA PELEDAKAN, PEMBUNUHAN, PENCULIKAN, DAN AKSI BOM BUNUH DIRI
Sebagian kaum muda dan kelompok-kelompok
[organisasi] telah menempuh jalan atau cara dengan melakukan peledakan
terhadap gedung-gedung pemerintah atau swasta, juga melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang yang memiliki tugas atau tanggung jawab di
pemerintahan atau yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa hal ini
merupakan bagian dari jihad. Mereka membolehkan [perampasan] harta,
[menghilangkan] jiwa, serta membolehkan melakukan tindakan-tindakan
jihad dalam rangka melawan pemerintah atau penguasa yang dihukumi kafir,
dan mereka berpendapat bahwa tindakan ini berpahala. Kita senantiasa
memohon kepada Allah keselamatan yang sempurna.
Tidak diragukan lagi bahwasanya fenomena
peledakan, pembunuhan, dan penculikan akan mengakibatkan kekacauan,
menakut-nakuti orang, menghilangkan keamanan, dan menjadikan semua
manusia dalam keadaan takut tidak tenteram, karena orang yang ingin
masuk ke dalam gedung pemerintahan atau yang lainnya akan merasa takut
terjadi peledakan terhadap gedung tersebut. Jika ber-jalan menggunakan
mobilnya, ia pun takut terjadi pembunuhan atas dirinya atau peledakan
terhadap mobilnya. Jika ia menaiki pesawat, ia takut kalau pesawat
tersebut telah direncanakan untuk dibajak atau diledakkan, dan begitu
seterusnya sehingga kehidupan menjadi rusak dan manusia tidak dapat
bekerja dengan tenang dan tentram.
Di sini perlu adanya pertanyaan-pertanyaan:
* Kenapa ia dibunuh dan diculik?
* Apakah karena kekufurannya dan kemurtadannya? Ataukah karena ia merusak harta, harga diri dan agama?
* Apakah ia telah diminta untuk bertaubat?
* Siapakah yang memintanya untuk bertaubat?
* Apakah kita dapat menghindarkan terjadinya pembunuhan terhadap yang lain pada saat melakukan pembunuhan?
* Kemudian kemashlahatan apa yang dapat diambil dari semua itu?
* Apakah boleh berkhianat/curang?!
Semua pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan lainnya yang masih banyak harus dijawab terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan-perbuatan ini.
Syaikh Shalih Sadlan berkata (Syaikh
Shalih Sadlan: Muraja'at Fi Fiqhil waqi as-Siasi wa-al-Fikri karya
Abdullah ar-Rifa'i hal: 78), "Ketika mereka menentang penguasa dengan
melakukan pembunuhan terhadap banyak jiwa demi mencapai satu hal yaitu
menekan penguasa. Mereka menghalalkan darah orang-orang Muslim yang
memberikan loyalitasnya terhadap penguasa dan terkadang sebagai seorang
Muslim yang melakukan shalat.
Maka mengapa mereka menghalalkan darah mereka?
Apakah karena hakim atau penguasa ini
tidak menghukumi dengan syari'at Allah? Ataukah karena hakim ini
menghukumi dengan undang-undang yang dibuat manusia? Atau karena hakim
tersebut di negaranya terdapat khamr dan kemungkaran secara
terang-terangan?!!"
Dan beliau berkata pula (Syaikh Shaleh
Sadlan, Muraja'at fi-Fiqhil waki as-Siasi wal Fikri karya Abdullah
ar-Rifa'i hal 78.), "Kita bertanya kepada mereka yang melakukan
perbuatan ini. Apa yang mereka ambil? Faidah apa yang mereka dapatkan?
Juga, hasil apa yang mereka raih dari per-buatan membunuh orang Muslim
tersebut? Telah dijelaskan dalam hadist,
لِذَهَابِ الدُّنْيَا كُلِّهَا أَهْوَنٌ مِنْ سَفْكِ دَمِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
"Sungguh hilangnya dunia secara
keseluruhan lebih ringan daripada menumpahkan darah orang Muslim."
(dikeluarkan oleh Imam Turmudzi no 1395, dan Imam Nasa'i no 2997 dan no
3998 dan no 4000 dari hadist Abdullah bin Amru dan dikeluarkan oleh Ibnu
Majah no 2619 dari hadist Barra' bin Azib, Imam Turmudzi berkata bahwa
di dalam bab tersebut diriwayatkan dari Sa'ad, Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas'ud juga Buraidah.)
Sesungguhnya mereka yang bertindak
demikian tidak memprediksikan hasil atau dampaknya. Sesungguhnya kita
menyeru mereka untuk menjelaskan hasil yang dicapainya sejak dimulai
penentangan terhadap penguasa, dan menjelaskan hasil yang mengakibatkan
munculnya pengrusakan seperti peledakan, pembunuhan, penculikan dan yang
lainnya. Bukankah hasil yang didapat itu hanyalah berupa kerusakan dan
bahaya besar yang menimpa manusia baik secara umum maupun khusus?
Sesungguhnya bahaya yang dihasilkan dari
cara atau jalan seperti ini lebih besar dari kemaslahatan yang
diharapkan mereka, apabila disana ada kemashlahatan yang dapat
disebutkan!!.
Di sini ada permasalahan yang penting:
Sebagian orang berpendapat bahwa
melakukan perbuatan seperti itu adalah bagian dari jihad. Orang yang
melakukan perbuatan seperti peledakan atau pembunuhan, apabila ia
terbunuh maka dikategorikan syahid di jalan Allah. Untuk menjelaskan
permasalahan ini, apakah jenis perbuatan ini merupakan bagian dari cara
untuk mendapatkan syahid. Kita harus mengetahui, "Apakah yang dimaksud
dengan syahid fi sabilillah itu?"
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi pemberi
nasihat di Masjid Nabawi di Madinah mengatakan (Koran al-Muslimun edisi
ke 590, Jum'at 7/1/1417 H bertepatan dengan tanggal 24/5/1996 M.),
"Sesungguhnya apabila seorang mujahid (pejuang) terbunuh di medan perang
antara kaum Muslimin dengan musuh-musuhnya kaum kafir, dan peperangan
tersebut dalam dua kondisi:
Pertama: orang Muslim menyerang negara
kafir untuk mema-sukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah dan agama
Islam, agama yang menyelamatkan ummat dan memberikan kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.
Kedua: Orang kafir sebagai musuh
menyerang umat Islam, seperti perang Uhud, kemudian kaum Muslimin
mengadakan perlawanan, maka di antara mereka (umat Muslim) ada yang
gugur dalam peperangan ini sebagai syahid. Maka hal seperti ini
dikategorikan syari'at sebagai syahid, tidak dimandikan, tidak dikafani,
tidak dishalatkan, dan dikuburkan bersama darah yang ada pada
pakaiannya, orang tersebut tidak mati di sisi Allah Ta'ala. Allah Ta'ala
berfirman, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki, mereka dalam keadaan bahagia disebabkan karunia Allah
Ta'ala yang diberikan-Nya kepada mereka." (Ali Imran: 169-170).
Ada satu syarat pokok yang mendasar
untuk kedua kondisi yang telah disebutkan, yaitu hendaknya perang
tersebut dengan seizin pemimpin kaum Muslimin dan berada di bawah
komandonya.
Apabila seorang Muslim berpendapat untuk
melakukan perang sendirian atau bersama beberapa orang tanpa ada izin
dari pemimpin kaum Muslimin, maka perangnya adalah bathil, dan jika mati
ia tidak dikategorikan syahid. Hal itu disebabkan karena tidak adanya
izin dari pemimpin untuk melakukan perang tersebut, yang mana izin
tersebut merupakan syarat yang mesti dipenuhi, terutama jika sudah ada
perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir untuk
menghentikan peperangan dan tidak melakukan penganiayaan.
Berdasarkan ini maka sesungguhnya
pembunuhan, peledakan yang dilakukan terhadap anak kecil dan dewasa,
laki-laki dan perempuan yang diperbuat oleh sebagian pemuda kaum
Muslimin di negara Islam dan di luar, dengan mengatasnamakan jihad dan
memerangi kezaliman orang-orang yang menghukumi dengan selain yang
diturunkan Allah, meminta mereka untuk kembali menjadikan Islam sebagai
dasar hukum, dan meminta ditegakkannya pemerintahan Islam, semua
perbuatan ini adalah bathil dan rusak serta tidak boleh menisbatkannya
kepada Islam sebagai syari'at Allah dan agama-Nya yang hak dengan alasan
apa pun. Bagi umat Islam tidak boleh menguatkannya dan mendukungnya
walaupun dengan perkataan dan dirham (bantuan dana), karena sesungguhnya
perbuatan tersebut tidak lain hanyalah kezaliman, kejahatan, dan
kerusakan di muka bumi. Dan lebih dari itu, demi Allah tindakan tersebut
tidak menda-tangkan kebaikan selamanya, terlebih mewujudkan hukum Islam
dan pemerintahan Islam, dan realitalah sebagai buktinya.
Karena cara untuk mewujudkan hukum Islam
dan pemerintahan Islam adalah hendaknya semua penduduk atau umat
menyerahkan hati dan mukanya atau lahir dan bathinnya kepada Allah
Ta'ala. Maka hatinya akan suci dan jiwanya akan bersih, perkataannya
akan sama dan urusannya akan tetap istiqamah, semua itu akan nampak
jelas pada semangat mereka untuk bangkit melaksanakan kewajiban dan
meninggalkan keharaman, serta menyeluruhnya cahaya ilmu Ilahi bagi
mereka dan setiap urusan hidup mereka, maka tidak akan ada kebodohan dan
kesesatan dalam setiap kehidupan mereka..
Inilah cara atau jalan untuk mewujudkan
hukum Islam dan pemerintahan Islam, wahai hamba Allah! Dengan
menganalisa perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabatnya akan memperkuat hakikat ini dan menegaskannya.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menetap selama 13 tahun di Mekkah setelah beliau diutus Allah
Ta'ala. Beliau dan para sahabatnya mendapatkan penganiayaan dari
orang-orang musyrik, kekerasan, dan kesombongan mereka. Beliau tidak
pernah sama sekali berkata kepada para sahabatnya, "Bunuhlah si fulan."
Beliau berhijrah dengan membawa agama dan dirinya ke Madinah Munawarah
untuk bermukim di sana. Beliau juga tidak pernah menyuruh salah seorang
sahabatnya untuk membunuh musuh-musuhnya sehingga turun firman Allah
Ta'ala untuk itu dalam firman-Nya, "Telah diizinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesunguhnya mereka telah dianiaya,
sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (al-Haj:
39), dan hal itu setelah umat Islam benar-benar terbentuk di bawah
kepemimpinannya yang lurus dan bijaksana.
Ini adalah hukum yang umum yang harus
diketahui kaum Muslimin, khususnya para ulama yang menguatkan hukum
terhadap masalah peledakan, pembunuhan, juga masalah-masalah yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, atau mengakibatkan seseorang
masuk penjara atau masalah-masalah yang menjadikan Islam tercela dan
ternoda. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbebas dari semua
itu." Inilah syahid di jalan Allah sebagaimana telah dijelaskan Syaikh
Abu Bakar al-Jazairi Hafidzohullah, maka tidak ada setelah yang hak itu
kecuali kesesatan yang nyata.
Syaikh Shaleh Al-Fauzan ditanya, "Apakah
organisasi bawah tanah terselubung disyariatkan di dalam Islam?
Khususnya di negara yang Islam dan pemeluknya dihancurkan?"
Maka beliau menjawab, "Allah Ta'ala
berfirman yang artinya, ‘Tidaklah Allah Ta'ala membebani seseorang dari
hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuannya." (al-Baqarah: 286) dan
juga berfirman-Nya yang artinya, "Maka bertaqwalah kamu sekalian kepada
Allah sesuai dengan kemampuan kamu." (at-Thaghabun: 16), dan bagi kaum
Muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya ada dua kondisi:
* Pertama: Kaum Muslimin tidak memiliki
negara yang melindunginya dan tidak memliki kekuatan yang mencegah
mereka dari musuh-musuhnya. Maka dalam kondisi seperti ini kaum Muslimin
hanya diwajibkan untuk berdakwah kepada Allah dan memberikan penjelasan
dengan lisan saja, sebagaimana kondisi kaum Muslimin pada waktu bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah sebelum melakukan hijrah.
* Kedua: Kaum muslimin memiliki negara
dan kekuatan serta perlindungan. Maka pada kondisi seperti ini ada dua
hal yang diwajibkan atas kaum Muslimin, yaitu berdakwah kepada Allah dan
berjihad di jalan Allah dengan tanpa berkhianat, sebagaimana kondisi
yang dialami Rasulullah dan kaum Muslimin setelah melakukan hijrah ke
Madinah.
Pembagian yang saya katakan ini diambil
dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam kebersamaannya dengan orang-orang kafir, dan beliau adalah suri
tauladan bagi kaum Muslimin sampai hari Kiamat, sebagaimana firman Allah
Ta'ala, "Sesungguhnya telah terdapat bagi kamu sekalian pada diri
Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang-orang yang menghendaki
pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir, dan banyak mengingat Allah."
(al-Ahzab: 21)
Wajib atas orang Muslim untuk berhijrah
dari negara-negara kafir ke negara Muslim apabila hal itu memungkinkan.
Apabila tidak memungkinkan, maka hijrah ke negara kafir yang tidak
terlalu membahayakan agamanya, walaupun memungkinkannya untuk berlari
dengan agamanya. Wallahu a'lam."
Contoh-contoh Sebagian Jenis Tindakan Anarkis/Pengrusakan
Di bawah ini akan kami jelaskan sebagian
contoh-contoh atas tindakan pengrusakan yang kami saksikan dan kami
dengarkan setiap hari melalui media informasi berikut hukumnya dan
pendapat ulama di dalamnya.
Pertama: Pembunuhan duta besar dan para diplomat
Tidak diperbolehkan membunuh para duta
besar dan para diplomat apabila mereka masuk dengan cara yang aman.
Berkaitan dengan hal itu Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni:
"Apabila kafir harbi (yang boleh diperangi) memasuki negeri Islam dengan
cara yang aman, maka biarkanlah hartanya, baik ia menghendaki untuk
menjadi muslim atau dzimi (berada di bawah perlindungan umat Islam),
atau tawarkan kedua-duanya kepadanya kemudian ia kembali ke "Darul
harbi" (tempat atau negara kafir). Kemudian kita lihat, apabila dia
masuk sebagai pedagang atau sebagai utusan, untuk berekreasi atau
keperluan yang ingin didapatkannya kemudian masuk ke negara Islam, maka
ia mendapatkan jaminan keamanan untuk jiwa dan hartanya, karena dengan
tujuan-tujuan tersebut berarti ia mempunyai niat untuk bermukim di
negeri Islam. Maka statusnya sama dengan kafir dzimi apabila ia memasuki
negara Islam dengan maksud seperti tersebut."
Adapun para duta besar atau utusan maka
ia seperti orang Mukmin, baik dengan membawa surat-surat atau ia
berjalan di antara dua kelompok yang bertikai untuk mengadakan
perdamaian, atau ia berusaha untuk menghentikan perang untuk beberapa
waktu supaya memudahkan pemindahan yang terluka dan terbunuh, atau yang
lainnya dari berbagai misi atau tugas yang dapat dikategorikan sebagai
tugas diplomasi, Menurut istilah sekarang dikategorikan diplomat dalam
rangka perbaikan zaman.
Imam Ahmad serta Abu Daud meriwayatkan
dari hadits Na'im bin Mas'ud, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepada dua orang utusan Musailamah,
وَ لَوْلاَ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمْ
"Kalau bukan karena bahwa para utusan
itu tidak dibunuh, niscaya aku akan membunuh kalian." ( Dikeluarkan oleh
Abu Daud no. 2761 dari hadits Nuqim bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu, dan
dikeluarkan pula oleh Abu Daud no. 2762, dan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya no juz 1 hal 391 dari hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu
‘anhu. Ahmad Syakir berkata pada hadits no. 3708: Sanadnya shahih.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membaca surat Musailamah,
kemudian beliau bertanya kepada keduanya (utusan Musailamah), "Apa yang
kamu berdua katakan?quot; Keduanya menjawab, "Kami mengatakan
sebagaimana yang ia (Musailamah) katakan." Yakni keduanya mengatakan
kenabian Musailamah al-Kadzab.
Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi'
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba timbullah
keimanan dalam hati Abu Rafi'. Maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku
tidak akan kembali kepada mereka. Aku akan tetap bersama kalian sebagai
Muslim." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّيْ لاَ أَخِيْسُ الْعَهْدَ
وَ لاَ أَحْبَسُ الْبَرْدَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِنًا, فَإِنْ وَجَدْتَ
بَعْدَ ذَلِكَ فِيْ قَلْبِكَ مَا فِيْهِ اْلآنَ, فَارْجَعْ إِلَيْنَا.
"Sesungguhnya aku tidak akan membohongi
janji dan menahan yang lemah, kembalilah kepada mereka dengan aman.
Apabila setelah itu kamu dapatkan dalam hati kamu apa yang kamu dapatkan
sekarang di dalamnya, maka kembalilah kepada kami." (Dikeluarkan oleh
Imam Abu Daud No. 2758 dan Imam Ahmad dalam musnadnya Juz 6 halaman 8
dan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak Juz 3 halaman 598. Imam Albani
berkata dalam kitab silsilah Shahihah halaman 702, "Sanad yang shahih,
semua orang-orangnya dapat dipercaya." Orang-orang Syaikhani selain
Hasan bin Ali bin Abi Rafi' dapat dipercaya sebagaimana disebutkan dalam
kitab Taqrib." Imam al-Baghawi membahasnya dalam kitab Syarhus Sunnah
Juz 11 halaman 163, al-Arnaut berkata,"Sanadnya shahih".)
Dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf,
juga dalam kitab as-Sair al-Kabir karya Muhammad dikatakan, "jika ada
persyaratan yang disyaratkan bagi seorang utusan, maka kaum Muslimin
harus memenuhi persyaratan tersebut, dan tidak dibolehkan bagi mereka
untuk berkhianat kepada utusan musuh walaupun orang-orang kafir membunuh
jaminan orang Muslim atau tawanan yang ada pada mereka, maka tidak
boleh membunuh utusan mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersada,
وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ
"Membalas khianat dengan amanah (menepati janji) adalah lebih baik daripada membalas khianat dengan khianat".
Imam Ibnu Kudamah berkata (Al-Mughni
karya Ibnu Qudamah Juz 8 halaman 401), "Apabila al-Musta'man (orang
kafir yang memohon perlindungan dari umat Islam) mencuri di negara atau
tempat orang Muslim atau ia membunuh atau mengambil tanpa izin kemudian
kembali ke negaranya di tempat orang kafir harbi (kafir yang boleh
diperangi), kemudian keluar lagi dengan tujuan memohon perlindungan
untuk yang kedua kalinya, maka al-Musta'man tersebut diminta untuk
memenuhi syarat yang harus ia penuhi pada amanah yang pertama." (Buku
Tahsiluz Zad Litahkiki al-Jihad karya Said Abdul Adzim halaman 205-206.)
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, "Apakah
pembunuhan terhadap orang yang mempunyai tanggung jawab dalam kenegaraan
dan yang lainnya termasuk kategori atau bagian dari khianat? Dan apakah
boleh membunuh orang kafir?" (Majmu Fatawa wa-Rasail Syaikh Ibnu Jibrin
al-Akidah Juz 8.)
Maka beliau menjawab, "Tidak
diperbolehkan membunuh dengan khianat terhadap musta'man, mu'ahad (yang
mengadakan perjanjian) atau dzimmi (yang berada dalam kekuasaan umat
Islam) terlebih orang Muslim. Telah dijelaskan dalam hadits bahwa
barangsiapa yang membunuh seorang mu'ahad, maka ia tidak akan mencium
wanginya surga. (Ket : dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3166 dari
hadist Abdullah Bin Amru radhiallahu ‘anhu.) Maka apabila yang
dimaksudkan untuk dibunuh itu adalah seorang pemimpin atau yang memiliki
tanggung jawab maka dosanya lebih besar. Hal itu dikarenakan ia telah
ditetapkan, seperti pimpinan perusahaan atau lembaga. Maka tindakan
membu-nuhnya mengandung makna penghancuran pada negara dan apabila
diperkirakan bahwasanya ia (yang dibunuh) telah melakukan suatu aniaya
atau kezaliman, seharusnya ia diadukan ke mahkamah syari'ah untuk
diberlakukan kepadanya hukum Allah Ta'ala.
Kedua: Pembajakan Pesawat atau Kapal Laut, serta Penculikan Orang
Sesungguhnya tindakan itu adalah
gambaran dari kebiadaban dan gambaran dari para pengikut orang jahat,
yang mana mereka berlindung di balik orang-orang yang tidak berdosa dan
mencampakkan diri mereka pada marabahaya, baik mereka itu laki-laki atau
perempuan besar atau kecil dari kalangan kaum Muslimin dan orang yang
darahnya terlindungi. Dalam perbuatan seperti ini terdapat pengkhianatan
yang tercela, mengganggu keamanan, menghilangkan kemaslahatan negara
dan manusia. Secara umum perbuatan seperti ini tidak membawa atau
mendatangkan kemaslahatan yang berarti. Karena itulah kita mengatakan
bahwa perbuatan tersebut adalah haram dan merupakan suatu kejahatan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِيْ
هُرَّةٍ حَبَسَتْهَا, حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ, وَ
قِيْلَ لَهَا, لاَ أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلاَ سَقَيْتِهَا حَتَّى
حَبَسْتِهَا, وَلاَ أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ
اْلأَرْضِ
"Seorang perempuan disiksa karena ia
mengurung kucing sehinga kucing tersebut mati. Maka perempuan itu pun
masuk neraka dan dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak memberinya makan dan
tidak memberinya minum dan mengurungnya. Kamu tidak melepaskannya hingga
kucing itu dapat memakan serangga-serangga tanah." (Dikeluarkan oleh
Imam Bukhari No. 3482 dan oleh Imam Muslim No. 2242 dari hadist Ibnu
Umar radhiallahu ‘anhuma. Dan dikeluarkan oleh Imam Muslim juga No. 2243
dari hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.)
Sesungguhnya perbuatan perempuan
tersebut merupakan fenomena dari kerasnya hati dan hilangnya rasa kasih
sayang dari hati. Rasa kasih sayang tidak akan hilang kecuali dari hati
yang sakit, dan perbuatan mereka tadi tidak jauh dari perbuatan
perempuan ini.
Sebaliknya dari itu Imam Bukhari telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Ketika seorang laki-laki
melakukan perjalanan ia merasakan haus yang sangat, ia pun menuruni
sebuah sumur dan minum darinya kemudian keluar. Tiba-tiba ia mendapatkan
seekor anjing yang menjulurkan lidahnya sambil memakan tanah karena
rasa haus yang sangat. Ia berkata, "Sungguh anjing ini telah ditimpa
rasa haus sebagaimana telah menimpa diriku." Ia kemudian memenuhi
sepatunya dengan air kemudian digigit dengan mulutnya. Ia naik dari
sumur kemudian memberi minum pada anjing tersebut. Allah Ta'ala pun
memujinya dan mengampuni dosanya." Para sahabat bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah berbuat baik terhadap hewan ada pahalanya bagi kita?"
Beliau menjawab, "Pada setiap hewan yang hidup ada pahalanya."
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 2363 dan oleh Imam Muslim No. 2244.)
Maka jadikanlah atau ambilah hadits ini sebagai pelajaran wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan! (Kitab Tahsilu Zad Litahkiki
al-Jihad karya Sa'id Abdul Adzim halaman 206-207.)
Syaikh Ibnu Baz berkata, (Ket :
Perkataan Syekh Abdul Aziz Bin Baz dipublikasikan dalam buku Fattawa wal
Maqalah al-Mutanawi'ah karya beliau sendiri Juz 1 halaman 276-289
sebagaimana telah dipublikasikan oleh majalah Tauhid yang dikeluarkan
oleh kelompok Ansoru Sunah al-Muhamdiyah di Mesir tanggal 8-10-01.)
"Sudah dimaklumi bagi setiap orang yang memiliki pandangan paling
rendah, bahwasanya pembajakan pesawat, dan penculikan seseorang dari
kedutaan besar dan yang lainnya, merupakan kejahatan-kejahatan besar dan
Internasional yang mengakibatkan kerusakan dan bahaya yang besar,
mempersempit gerak langkah orang-orang tak berdosa serta menyakiti
mereka yang tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah Ta'ala.
Sebagaimana telah menjadi maklum pula
bahwasanya kejahatan-kejahatan ini bahayanya tidak hanya menimpa salah
satu negara saja atau salah satu kelompok saja tetapi menyeluruh ke
seluruh dunia.
Tidak diragukan lagi bahwa tindakan yang
merupakan bagian dari kejahatan seperti ini. Yang harus dilakukan oleh
pemerintah dan orang-orang yang memiliki tanggung jawab adalah
memberikan perhatian yang serius dan berusaha keras yang mungkin
dilakukan untuk menghentikan dan memutuskan kejahatannya. Allah Ta'ala
telah menurunkan kitab-Nya al-Qur'an sebagai penjelas bagi segala
sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, serta kabar gembira bagi kaum
Muslimin. Allah Ta'ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan sebagai hujjah
atas hamba seluruhnya. Allah telah mewajibkan kepada jin dan manusia
untuk menghukumi dengan syariat-Nya dan merujuk kepadanya serta
mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan manusia kepada kitab-Nya
dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman
Allah Ta'ala yang artinya, "Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (an-Nisa: 65); firman Allah, "Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki dan siapakah yang lebih baik (hukumnya) daripada Allah
bagi orang-orang yang yakin." (al-Maidah: 50)
Firman Allah, "Wahai orang-orang yang
beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul,
juga kepada para pemimpin di antara kamu. Maka jika kamu sekalian
berselisih pada suatu urusan, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah
dan Rasul, jika kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang
demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa:
59).
Para ulama telah bersepakat bahwa yang
dimaksud dengan mengembalikan urusan kepada Allah adalah kepada
kitab-Nya yang mulia, dan mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah
mengembalikan kepadanya pada saat beliau masih hidup dan kepada
Sunnahnya yang shahih setelah beliau wafat.
Allah Ta'ala berfirman, "Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka (putusannya) terserah kepada Allah." (asy-Syuura: 10).
Maka ayat-ayat ini dan yang lainnya yang
semakna, menunjukkan kepada kewajiban untuk mengembalikan apa yang
diperselisihkan manusia kepada Allah Ta'ala dan kepada Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah yang dimaksud dengan mengembalikan
permasalahan kepada hukum Allah Ta'ala, dan menunjukkan pula kepada
peringatan dari sesuatu yang menyalahinya dalam segala urusan, dan yang
terpenting dari urusan tersebut yang bahaya dan kejelekannya menyeluruh
adalah seperti penculikan dan pembajakan.
Maka kewajiban negara yang di dalamnya
terdapat pelaku penculikan serta pembajakan adalah menerapkan syari'at
Allah kepada mereka, dikarenakan dampak negatif yang diakibatkan
kejahatan mereka yang keji terhadap hak-hak Allah dan hamba-Nya, serta
menimbulkan bahaya-bahaya yang banyak, dan kerusakan-kerusakan yang
besar.
Tidak ada solusi yang dapat memutuskan
pangkalnya dan menghentikan kejelekannya kecuali solusi yang telah
ditetapkan Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang dalam kitab-Nya
yang mulia, dan dibawa oleh hamba-Nya yang paling ikhlas dan utama juga
paling penyayang, sebagai pemimpin generasi pertama dan terakhir, beliau
adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliaulah satu-satunya
solusi yang harus difahami oleh para penculik dan yang diculik, dan
harus difahami pula oleh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan
mereka dan yang lainnya, hati mereka akan rela kepadanya (Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila mereka benar-benar orang yang
beriman. Jika mereka bukan orang yang beriman, maka Allah Ta'ala telah
memerintahkan Nabi-Nya untuk menghukumi mereka dengan syari'at-Nya,
sebagaimana dalam firman-Nya,
"Dan hukumilah di antara mereka dengan
apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka (orang kafir)." (al-Maidah : 49) dan firman-Nya yang lain, "Dan
apabila kamu menghukumi maka hukumilah di antara mereka dengan adil. "
(al-Maidah: 42).
Berdasarkan atas apa yang telah kami
sebutkan, maka yang harus dilakukan oleh setiap negara yang ditekan oleh
para penculik atau pembajak adalah membentuk panitia dari kalangan para
ulama syari'at Islam untuk melihat permasalahan tersebut, dan
mempe-lajarinya dari berbagai sisi kemudian menghukuminya dengan
syari'at Allah.
Para ulama tersebut harus menghukumi
permasalahan tersebut berdasarkan pada kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mencari tahu dalam permasalahan
tersebut dengan apa yang telah disebutkan oleh para ulama syari'at pada
ayat "muhaaribah" (peperangan) dari surat al-Maidah, "Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat diamnya) yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan
yang besar." (al-Maidah: 33). Dan apa yang telah disebutkan para ulama
pada setiap madzhab pada bab "Qitho'u Thorik" (perampok), kemudian
mereka mengeluarkan hukumnya yang diperkuat oleh dalil-dalil syari'at.
Pemerintah yang ditekan oleh para
penculik atau pembajak tersebut harus menerapkan hukum syari'at, sebagai
bukti ketaatan kepada Allah, menjunjung tinggi perintah-Nya,
menjalankan syariat-Nya, menghentikan kejahatan yang besar ini, dan
sebagai motivasi untuk mewujudkan atau mencapai keamanan, serta sebagai
rahmat dan keadilan bagi orang yang diculik.
Adapun undang-undang yang dibuat manusia
untuk kasus ini tanpa didasarkan pada kitab Allah Ta'ala, dan sunah
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, semua itu ketetapan manusia dan
bagi umat Islam tidak dibolehkan untuk merujuk kepadanya, dan
sebagiannya tidak lebih baik dari sebagian yang lain untuk dijadikan
rujukan, karena undang-undang tersebut kesemuanya merupakan hukum
jahiliyah dan "thogut" yang telah diperingatkan Allah darinya. Keinginan
untuk merujuk kepada hukum jahiliyah dan "thogut" ini dinisbatkan
kepada orang-orang munafik sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada "thogut" padahal mereka
telah diperintah untuk mengingkari "thogut" itu. Dan syetan bermaksud
untuk menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum
yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu." (an-Nisa: 60-61).
Maka tidak dibolehkan bagi pemeluk Islam
untuk menyerupai musuh-musuh Allah yang munafik dengan merujuk atau
berhukum kepada selain Allah, dan menghalangi manusia dari hukum Allah
dan Rasul-Nya.
Juga tidak dibolehkan bagi pemeluk Islam
untuk berhujjah dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam
dari berhukum terhadap undang-undang buatan manusia, karena semua itu
tidak akan membebaskannya dan tidak akan menjadikannya (berhukum
terhadap undang-undang yang dibuat manusia) menjadi boleh. Bahkan
perbuatan itu termasuk dari perbuatan yang paling mungkar, walaupun hal
tersebut dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Keterlibatan mayoritas
umat Islam dalam melakukan suatu perbuatan (yang menyalahi syari'at)
bukanlah sebagai dalil atas kebolehannya, sebagaimana firman Allah
Ta'ala yang artinya, "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang
dimuka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (al-An'am 116).
Setiap hakim atau penguasa yang
menyalahi syari'at Islam maka ia termasuk dari hukum jahiliyah, Allah
Ta'ala berfirman, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan
siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari hukum Allah bagi kaum yang
yakin." (al-Maidah: 50).
Allah Ta'ala telah menjelaskan bahwa
menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah adalah kufur, zalim, dan
fasik. Allah Ta'ala berfirman dalam surat al-Maidah, "Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir." "Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim." "Barang-siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."
(al-Maidah 44, 45, 47)
Ayat-ayat ini dan yang lainnya yang
semakna, mewajibkan atas umat Islam untuk berhati-hati dari tindakan
menghukumi dengan selain yang telah diturunkan Allah, dan hendaknya
mereka membebaskan diri dari perbuatan tersebut, kemudian bersegera
untuk berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, serta berlapang dada
terhadap hukum tersebut dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Apabila ada suatu kasus atau peristiwa
yang bahayanya menyeluruh seperti penculikan, maka kewajiban untuk
mengembalikan hukumnya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat dan lebih
besar dalam kewajibannya, karena Allah Ta'ala Dia Maha Bijaksana dan
Maha Mengetahui, Dia Hakim yang paling bijaksana, Dia Maha Penyayang,
dan mengetahui akan kemaslahatan hamba-Nya, Dia akan menjauhkan dari
hamba-Nya marabahaya dan akan menghentikan dari mereka kerusakan pada
masa sekarang dan mendatang, maka mereka harus mengembalikan
permasalahan yang diperselisihkan kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pada keduanya terdapat kecukupan,
kepuasan, solusi untuk problematika, dan penyelesaian atau pelenyapan
setiap kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepada keduanya dan
istiqomah atas keduanya, juga menghukumi dengan keduanya dan menghukumi
kepada keduanya sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam
ayat-ayat muhkamat.
Dikarenakan besarnya bahaya kejahatan
ini, saya melihat bahwa yang harus dilakukan adalah mempublikasikan
perkataan ini sebagai nasihat bagi umat, membebaskan kewajiban,
memberikan peringatan bagi masyarakat umum dengan kewajiban yang besar
ini dan sebagai bentuk kerjasama para penanggung jawab untuk melakukan
kebaikan dan ketakwaan."
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, "Sebagian
orang melakukan pembajakan terhadap pesawat atau kapal laut, dan mereka
menghendaki dengan tindakan tersebut memberikan tekanan terhadap fihak
yang memiliki pesawat atau kapal laut ini. Mereka memberikan ancaman
terhadap para penumpangnya dengan ancaman pembunuhan, bahkan mereka
betul-betul membunuh sebagian dari mereka hingga permintaannya dituruti.
Maka apakah hukum perbuatan seperti ini? Apalagi perbuatan seperti ini
telah mengejutkan atau mengagetkan para penumpang?" (Majmu Fatawa
wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin, al-Akidah Juz 8.)
Maka beliau menjawab, "Pemerintah harus
melakukan alternatif yang cukup untuk melawan para pembelot, dan
menghukumi mereka, dan pemerintah juga harus membekali setiap kelompok
dari para pilot dengan orang yang menjaganya, yang bisa menghadapi atau
melawan para pelaku aniaya yang berusaha untuk membajak. Sebagaimana
mereka melakukan pemeriksaan yang sempurna sebelum menaiki pesawat,
mereka tidak membiarkan satu orang pun meninggalkan tempat, kecuali
setelah dipastikan bahwasannya setiap orang tidak membawa senjata
walaupun hanya sekedar besi kecuali setelah diketahuinya. Berbarengan
dengan itu sebagian kelompok ada yang melakukan pemaksaan terhadap
sebagian pilot untuk merubah arah. Maka apabila ada orang yang mampu
mengalahkan mereka dari kalangan tentara dan penumpang niscaya rencana
mereka akan bisa digagalkan.
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh mereka itu adalah kesalahan, kebodohan, kesesatan,
serta merupakan tindakan melampaui batas dan mengagetkan orang yang
dalam kondisi aman dari para penumpang. Selain itu memberikan ancaman
dengan sesuatu yang tidak mungkin mereka (penumpang) lakukan dan tidak
mungkin pula untuk memutuskannya, Wallahu a'lam."
Ketiga: Aksi Pengorbanan/Bunuh Diri ( buku Tahsiluz Zad Litah gigi al-Jihad karya Said Abdul Adzim halaman 202-204)
Yazid bin Abi Habib telah meriwayatkan
dari Aslam Abi Imron, ia berkata, "Kami memerangi Konstantinopel dan
berada pada kelompok Abdurrahman Bin Walid, sedangkan Rum berada
dipinggiran kota. Tiba-tiba seorang laki-laki maju untuk menyerang
musuh, maka orang-orang berkata, ‘Subhanallah, tidak ada Tuhan selain
Allah, ia telah mencampakkan dirinya pada kehancuran.' maka Abu Ayub
berkata, ‘Subhanallah, ayat ini telah diturunkan pada kami kaum Anshar,
ketika Allah menolong Nabi-Nya dan memenangkan agama-Nya, kami berkata
marilah kita menetap pada harta kita, maka Allah menurunkan ayat, "Dan
berinfaklah kamu sekalian pada jalan Allah." (al-Baqarah 195)."
Mencampakkan diri kepada kehancuran
adalah kita menetap pada harta kita dan menjaganya sementara kita
meninggalkan jihad. Adapun Abu Ayub masih tetap melakukan jihad di jalan
Allah sehingga beliau dikuburkan di Konstantinopel dan kuburannya
berada di sana. Abu Ayub memberitahukan kepada kita bahwasan-nya
mencampakkan diri kepada kehancuran sebenarnya adalah meninggalkan jihad
di jalan Allah dan ayat al-Qur'an pun diturunkan pada masalah tersebut.
Dan hal serupa diriwayatkan pula dari Hudzaifah, Hasan, Qotadah,
Mujahid, ad-Dhahhak, dan Imam Tirmidzi meriwayatkan khabar ini dengan
maknanya, dan ia berkata bahwa ini adalah hadits hasan gharib shahih.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam
kasus tindakan seorang laki-laki yang melawan musuh dengan sendirian
dalam kondisi perang. Al-Qasim bin Muhaimirah dan al-Qasim bin Muhammad,
juga Abdul Malik dari kalangan ulama Malikiyah, mereka berkata, "Tidak
apa-apa jika seseorang dengan sendirian melawan tentara yang besar
apabila ia memiliki kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah. Apabila ia
tidak memiliki kekuatan itulah yang dikategorikan mencampakkan diri
kepada kehancuran."
Dikatakan apabila ia menuntut mati
syahid dan niatnya ikhlas, maka ia boleh melakukannya karena tujuannya
adalah satu [mencari keridaan Allah]. Hal itu dijelaskan dalam firman
Allah, "Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mendapatkan
ridha Allah." (al-Baqarah: 207). Ibnu Khuwaiz Mindad berkata, "Adapun
orang yang melawan 100 atau sejumlah tentara atau sekelompok pencuri dan
perampok juga penentang, maka untuk hal itu ada dua ketentuan. Apabila
ia mengetahui dan menyangka bahwasanya ia akan dapat membunuh orang yang
melawan kepadanya dan ia sendiri akan bisa selamat maka itu adalah
baik. Begitu juga apabila ia mengetahui dan menyangka bahwa ia akan
terbunuh" (Ket : Menyangka akan mendapatkan kehancuran tidak berarti
mengenakan atau memberikan tebusan untuk suatu bangunan yang hancur.
Karena yang wajib dilakukan bagi dia (orang yang melawan musuh
sendirian) adalah mengusahakan bagi dirinya sebab-sebab yang akan
membawanya kepada keselamatan sedapat mungkin dibarengi dengan
kehati-hatian dari kemudlaratan dan aniaya dari fihak musuh walaupun
pada akhirnya hal tersebut mem-bawanya kepada kematian. ) Tetapi ia
mempunyai niat yang kuat untuk mengalahkan musuh atau memberikan cobaan
terhadap musuh, atau memberikan kesan dan dampak yang bisa dimanfaatkan
oleh kaum Muslimin maka hal itu diperbolehkan pula.
Imam al-Qurthubi berkata, "Saya telah
mendapatkan kabar bahwa tentara Muslim ketika mendapatkan kuda, maka
kuda kaum Muslimin tersebut melarikan diri karena takut gajah. Maka
seorang laki-laki dari mereka dengan sengaja membuat gajah dari tanah
dan mencoba menjinakan kudanya dengan gajah tersebut sehingga kudanya
menjadi jinak. Maka ketika ia pada waktu subuh ternyata kudanya tidak
berlari lagi dari gajah, kemudian dibawanya kepada gajah yang berada di
hadapannya maka dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya ia adalah pembunuh
kamu." Maka ia berkata, "Tidaklah berbahaya kalau saya terbunuh karena
ada jalan yang cukup terbuka untuk kaum Muslimin.
Begitu pula pada peristiwa Yamamah
ketika Bani Hanifah berlindung pada suatu taman, sorang laki-laki dari
kaum Muslimin (yaitu al-Bara' bin Malik) berkata, "Letakanlah aku pada
alat pelontar dan lemparkanlah aku kepada mereka, kemudian mereka
melakukannya. Ia membunuh musuhnya secara sendirian dan membukakan
pintu."
Imam al-Qurtubi berkata, "Dari sini apa
yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, "Bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di
jalan Allah dengan sabar dan ikhlas?" Beliau menjawab, "Bagimu adalah
surga." Maka laki-laki tersebut terjun ke medan perang melawan musuh
sehingga ia terbunuh. Sampai ia (Imam al-Qurtubi) berkata, "Muhammad bin
Hasan ber-kata, ‘Jika seorang laki-laki melakukan perlawanan terhadap
seribu orang dari kaum musyrikin sementara ia sendirian, hal itu tidak
apa-apa (boleh) apabila ia yakin akan mampu untuk selamat atau
menga-lahkan musuh. Jika tidak demikian (tidak yakin), maka perbuatan
tersebut makruh, karena ia telah mencampakkan dirinya pada kehancuran
dengan tanpa membawa manfaat bagi kaum Muslimin.' Maka apabila tujuannya
supaya seorang Muslim memiliki keberanian terhadap musuh sehingga
bertindak seperti yang dilakukannya, maka hal itu boleh juga dilakukan,
dikarenakan di dalamnya terdapat faidah atau manfaat bagi kaum Muslimin
dari satu sisi. Apabila di dalamnya terdapat manfaat bagi kaum muslimin
kemudian ia gugur dalam rangka menguatkan agama Allah dan menghinakan
orang kafir, maka ia mendapat kedudukan mulia yang dipuji Allah.
Sebagaimana Allah memuji orang Mukmin dalam firman-Nya, "Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwanya." (at-Taubat: 111)
dan ayat-ayat lainnya yang mengandung pujian Allah terhadap orang-orang
Mukmin yang mengorbankan jiwanya.
Karena itu, hendaknya ada [ditegakkan]
hukum amar ma'ruf nahyi munkar, bahwasanya ketika seseorang mengharapkan
manfaat pada agama kemudian mengorbankan jiwanya untuk harapan tersebut
sehingga ia terbunuh maka ia berada pada derajat syuhada yang paling
tinggi. Allah Ta'ala berfirman, "Wahai anaku dirikanlah shalat dan
serulah kepada yang ma'ruf dan cegahlah dari yang munkar kemudian
bersabarlah atas apa yang menimpa kamu sesungguhnya hal yang demikian
itu adalah sesuatu yang diwajibkan (oleh Allah)." (Luqman: 17).
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda,
"Syuhada yang paling utama adalah Hamzah Bin Abdul Muthalib, dan orang
yang mengatakan kalimat hak dihadapan pemimpin yang zalim kemudian ia
membunuhnya." (Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Ausat Juz 1
halaman 245 dan Imam Hakim Juz 3 halaman 195 dan diangap hadits hasan
oleh Imam Albani dalam kitab silsilah Shahihah halaman 374.)
Adapun pembunuhan terhadap sebagian
militer dan penduduk dengan cara seperti dalam kondisi kita sekarang ini
adalah termasuk dari pengikut jalannya orang-orang jahat, yang mana
tindakan itu tidak bisa dipi-sahkan dari khianat yang diharamkan, dan
menimbulkan penganiayaan dan kemudaratan yang sangat terhadap
orang-orang yang tidak berdosa tanpa membawa kemaslahatan yang berarti.
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, "Ada
sebagian orang yang mengikatkan pada perutnya alat peledak kemudian
memasuki salah satu gedung pemerintah atau swasta atau memasuki
perkumpulan manusia baik kafir ataupun bukan kemudian meledakan dirinya.
Apakah hukum perbuatan ini? Apakah perbuatan seperti ini dikatagorikan
bagian daripada jihad? Dan apakah pelakunya dapat dikatakan syahid ?
ataukah dikatakan bunuh diri?" (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin
al-Akidah Juz 8.)
Beliau menjawab, "Tidak diragukan lagi
bahwa perbuatan itu secara zahir adalah bunuh diri, yang mana ia
berkeyakinan bahwa ia akan membunuh dirinya sebelum yang lain, tetapi
terkadang dibolehkan apabila ia berada di wilayah kafir yang boleh
diperangi, dan ia tahu bahwasanya ia akan dibunuh oleh tangan-tangan
musuh-musuh baik cepat ataupun lambat, atau ia akan mendapatkan bencana
yang sangat keras [dari mereka], dan ia tidak mendapatkan jalan lain
kecuali meledakan dirinya, sehingga dapat membunuh yang lainnya dari
musuh-musuh yang telah menyiksa kaum Muslimin dengan siksaan yang keji.
Dengan melaksanakan hal ini, ia telah membunuh sejumlah musuh yang dapat
melemahkan kekuatan mereka dan meminimalisir siksaan mereka, serta
menimbulkan rasa takut bagi mereka. Terkadang hal ini dibolehkan
walaupun di dalamnya terkandung unsur bunuh diri, yaitu jika ia
mengetahui bahwa dirinya pasti terbunuh atau akan mendapatkan tekanan
dari musuh kemudian dengan hal itu ia bermaksud untuk membebaskan diri
dari siksaan mereka dan ingin membuat dirinya tenang. Urusannya
diserahkan pada Allah Ta'ala.
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya pula,
"Sebagian orang mengatakan peledakan diri dibolehkan dengan mengqiyaskan
terhadap kisah Ghulam Ukhdud, maka apakah jawaban yang mulia terhadap
hal itu?' (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin, al-Akidah Juz 8)
Beliau menjawab, "Di sini tidak ada
qiyas, dalam kisah Ghulam Ukhdud, tidak disebutkan bahwa ia melakukan
bunuh diri. Dalam kisah tersebut bahwasanya mereka pergi dengan anak
tersebut (ghulam) untuk melemparkannya dari puncak gunung tetapi Allah
menyelamatkannya, kemudian mereka (Ukhdud) pergi dengan anak tersebut ke
laut untuk melemparkannya, Allah pun menyelamatkannya pula. Kemudian,
ketika anak tersebut mengetahui bahwa mereka akan terus mencoba
membunuhnya. Cara yang mesti mereka lakukan untuk bisa mencapai
tujuannya tersebut adalah orang yang melemparkannya harus mengucapkan,
"Dengan nama Tuhan anak ini." Maka anak tersebut berkata, "Kalian
sekali-kali tidak akan dapat membunuhku sehingga kamu melakukan apa yang
aku perintahkan, ‘Kumpulkanlah orang-orang pada satu ketinggian,
kemudian kata-kanlah, 'Dengan nama Allah sebagai Tuhan anak ini.
Kemudian, lemparkanlah aku." Anak ini bermaksud dengan kata-katanya itu
agar orang-orang mendengar sebutan nama Allah sehingga mereka semua
beriman sebagaimana yang terjadi.
Adapun peledakan ini ia perbuat dengan
sengaja bunuh diri, walaupun maksudnya untuk menghancurkan musuh dan
memberikan kematian pada mereka. Terkadang bunuh diri diperbolehkan jika
ia mengetahui bahwa ia akan disiksa sebelum dibunuh dan mengetahui
bahwa pembunuhan itu pasti terjadi, Wallahu a'lam."
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, "Sebagian
orang mengatakan bahwasanya ia telah melakukan perbuatan jihad dalam
bentuk bunuh diri. Sebagai contohnya dilakukan oleh salah seorang mereka
dengan meletakan ranjau pada mobilnya dengan menggunakan alat-alat
peledak yang tidak dapat diprediksi oleh musuh, dan ia mengetahui bahwa
dirinya pasti mati dalam peristiwa ini." (Dialog bersama Syaikh Ibnu
Utsaimin yang diprakarsai oleh Majalah Da'wah Edisi 1598 tanggal
28/2/1418 H bertepatan dengan 3/7/1997 M.)
Maka beliau menjawab, "Pendapat saya
dalam permasalahan ini, sama saja ia membunuh dirinya sendiri, dan ia
akan di azab pada neraka jahanam dengan tindakan bunuh diri tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. (Ket : Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang
melakukan bunuh diri dengan menggunakan besi maka besi tersebut akan
berada di tangannya kemudian ia akan merasa kesakitan dengan besi
tersebut di dalam neraka jahanam dengan kekal selama-lamanya.
Barangsiapa yang meminum racun kemudian membunuh dirinya maka ia akan
merasakan api neraka dengan kekal di dalamnya. Barangsiapa yang
melemparkan diri dari ketinggian gunung kemudian membunuh dirinya maka
ia akan jatuh ke dalam neraka jahanam dan kekal di dalamnya."
dikeluarkan oleh Bukhari No. 5442, dan Imam Muslim No. 109. dan dalam
bab tersebut diriwayatkan dari Tsabit Bin Dhahak dan yang lainnya. )
Tetapi orang bodoh yang tidak tahu dan melakukannya dengan alasan
bahwasanya tindakan tersebut adalah baik dan diridai Allah. Saya
berharap semoga Allah Ta'ala memaafkannya karena ia melakukan perbuatan
ini sebagai bentuk ijtihad. walaupun saya berpedapat sesungguhnya pada
waktu sekarang tidak ada maaf baginya, karena tindakan ini merupakan
tindakan bunuh diri yang sudah menyebar dan termasyhur di kalangan
manusia dan hendaklah manusia bertanya tentang hal itu kepada ahli ilmu,
sehingga jelas bagi dia antara kebenaran dan kesesatan. Dan hal yang
mengherankan sesungguhnya mereka melakukan bunuh diri, padahal Allah
Ta'ala telah melarang hal itu, dan Allah berfirman, "Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu"
(an-Nisa: 29).
Banyak dari mereka yang tidak
menginginkan kecuali balas dendam terhadap musuh dengan segala cara,
baik hal itu haram ataupun halal. Mereka hanya menghendaki agar rasa
dendamnya terpuaskan dan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah agar
memberikan kepada kita pandangan yang benar terhadap agama dan amal
dengan apa yang diridai-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu."
Untuk menambahkan manfaatnya, kami akan menjelaskan hukum bunuh diri:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, "Apakah
hukum bunuh diri dalam Islam?" (Fatawa Islamiyah, dikumpulkan oleh
Muhammad al-Musnad Juz 4 halaman 99.)
Maka beliau menjawab, "Bunuh diri adalah
pembunuhan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan sengaja dengan
sebab apa pun dan itu adalah diharamkan, dan termasuk dosa besar. Hal
itu berada dalam keumuman firman Allah Ta'ala, "Dan barangsiapa yang
membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah Jahanam, ia
kekal di dalamnya dan Allah murka terhadapnya dan mengutuknya juga
menyediakan azab yang besar baginya." (an-Nisa: 93)
Telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْئٍ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلِّدًا فِيْهَا أَبَدًا
"Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh
dirinya sendiri dengan sesuatu, maka ia akan disiksa dengannya dalam
neraka jahanam dengan kekal selama-lamanya." (Ddikeluarkan oleh Imam
Bukhari No. 5778 dan oleh Imam Muslim No. 109 dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim No. 110 dengan
serupa dari Tsabit Bin Dhahak radhiallahu ‘anhu.)
Orang yang bunuh diri pada hakikatnya
secara umum melakukan hal tersebut karena kesempitan yang menimpanya,
baik dari perbuatan Allah atau makhluk. Anda akan mendapati dirinya
tidak mampu menghadapi apa yang menimpanya itu. Pada hakikatnya ia
seperti orang yang minta perlindungan dari akibat kebakaran, ia telah
berpindah dari yang jelek kepada yang lebih jelek. Jika ia mampu
bersabar, Allah pasti akan menolongnya untuk mengatasi musibah tersebut,
dan sebagaimana dikatakan, "Tetap berada dalam satu kondisi adalah
sesuatu yang mustahil."
Dan kesimpulannya, "Wahai kaum Muslimin,
kita telah mengetahui dari yang sudah dibahas bahwa masalah peledakan,
penculikan, pembunuhan, dan yang lainnya berupa tindakan-tindakan yang
merusak adalah dibantah atau ditolak secara syari'ah dan akal, dan tidak
akan melakukan perbuatan seperti ini kecuali orang yang dikuasai hawa
nafsu dalam dirinya atau orang yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Ia
sama sekali tidak menghendaki kebaikan bagi kaum Muslimin.
Adapun orang yang melakukan tindakan
tersebut dengan didasari keyakinannya bahwasanya hakim adalah kafir,
maka kita harus menekannya atau mempersempitnya dan menentangnya. Karena
pernyataannya itu bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bertentangan dengan apa yang
dilakukan salafus salih dari umat ini.
Berikut ini kami akan menjelaskan
sebagian syubhat (keraguan) yang dipegang oleh mereka untuk kita jawab
dengan memohon pertolongan kepada Allah dan dengan apa yang dikatakan
oleh para ulama sebagai jawaban atas syubhat ini. Allahlah tempat
berlindung dalam mencapai tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.