Jumat, 09 Desember 2011

Salah Kaprah Dalam Memperjuangkan Islam

Bagian Keenam
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

KETIGA : FENOMENA PELEDAKAN, PEMBUNUHAN, PENCULIKAN, DAN AKSI BOM BUNUH DIRI
Sebagian kaum muda dan kelompok-kelompok [organisasi] telah menempuh jalan atau cara dengan melakukan peledakan terhadap gedung-gedung pemerintah atau swasta, juga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang memiliki tugas atau tanggung jawab di pemerintahan atau yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari jihad. Mereka membolehkan [perampasan] harta, [menghilangkan] jiwa, serta membolehkan melakukan tindakan-tindakan jihad dalam rangka melawan pemerintah atau penguasa yang dihukumi kafir, dan mereka berpendapat bahwa tindakan ini berpahala. Kita senantiasa memohon kepada Allah keselamatan yang sempurna.
Tidak diragukan lagi bahwasanya fenomena peledakan, pembunuhan, dan penculikan akan mengakibatkan kekacauan, menakut-nakuti orang, menghilangkan keamanan, dan menjadikan semua manusia dalam keadaan takut tidak tenteram, karena orang yang ingin masuk ke dalam gedung pemerintahan atau yang lainnya akan merasa takut terjadi peledakan terhadap gedung tersebut. Jika ber-jalan menggunakan mobilnya, ia pun takut terjadi pembunuhan atas dirinya atau peledakan terhadap mobilnya. Jika ia menaiki pesawat, ia takut kalau pesawat tersebut telah direncanakan untuk dibajak atau diledakkan, dan begitu seterusnya sehingga kehidupan menjadi rusak dan manusia tidak dapat bekerja dengan tenang dan tentram.
Di sini perlu adanya pertanyaan-pertanyaan:
* Kenapa ia dibunuh dan diculik?
* Apakah karena kekufurannya dan kemurtadannya? Ataukah karena ia merusak harta, harga diri dan agama?
* Apakah ia telah diminta untuk bertaubat?
* Siapakah yang memintanya untuk bertaubat?
* Apakah kita dapat menghindarkan terjadinya pembunuhan terhadap yang lain pada saat melakukan pembunuhan?
* Kemudian kemashlahatan apa yang dapat diambil dari semua itu?
* Apakah boleh berkhianat/curang?!

Semua pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan lainnya yang masih banyak harus dijawab terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan-perbuatan ini.
Syaikh Shalih Sadlan berkata (Syaikh Shalih Sadlan: Muraja'at Fi Fiqhil waqi as-Siasi wa-al-Fikri karya Abdullah ar-Rifa'i hal: 78), "Ketika mereka menentang penguasa dengan melakukan pembunuhan terhadap banyak jiwa demi mencapai satu hal yaitu menekan penguasa. Mereka menghalalkan darah orang-orang Muslim yang memberikan loyalitasnya terhadap penguasa dan terkadang sebagai seorang Muslim yang melakukan shalat.
Maka mengapa mereka menghalalkan darah mereka?
Apakah karena hakim atau penguasa ini tidak menghukumi dengan syari'at Allah? Ataukah karena hakim ini menghukumi dengan undang-undang yang dibuat manusia? Atau karena hakim tersebut di negaranya terdapat khamr dan kemungkaran secara terang-terangan?!!"
Dan beliau berkata pula (Syaikh Shaleh Sadlan, Muraja'at fi-Fiqhil waki as-Siasi wal Fikri karya Abdullah ar-Rifa'i hal 78.), "Kita bertanya kepada mereka yang melakukan perbuatan ini. Apa yang mereka ambil? Faidah apa yang mereka dapatkan? Juga, hasil apa yang mereka raih dari per-buatan membunuh orang Muslim tersebut? Telah dijelaskan dalam hadist,
لِذَهَابِ الدُّنْيَا كُلِّهَا أَهْوَنٌ مِنْ سَفْكِ دَمِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
"Sungguh hilangnya dunia secara keseluruhan lebih ringan daripada menumpahkan darah orang Muslim." (dikeluarkan oleh Imam Turmudzi no 1395, dan Imam Nasa'i no 2997 dan no 3998 dan no 4000 dari hadist Abdullah bin Amru dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah no 2619 dari hadist Barra' bin Azib, Imam Turmudzi berkata bahwa di dalam bab tersebut diriwayatkan dari Sa'ad, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud juga Buraidah.)
Sesungguhnya mereka yang bertindak demikian tidak memprediksikan hasil atau dampaknya. Sesungguhnya kita menyeru mereka untuk menjelaskan hasil yang dicapainya sejak dimulai penentangan terhadap penguasa, dan menjelaskan hasil yang mengakibatkan munculnya pengrusakan seperti peledakan, pembunuhan, penculikan dan yang lainnya. Bukankah hasil yang didapat itu hanyalah berupa kerusakan dan bahaya besar yang menimpa manusia baik secara umum maupun khusus?
Sesungguhnya bahaya yang dihasilkan dari cara atau jalan seperti ini lebih besar dari kemaslahatan yang diharapkan mereka, apabila disana ada kemashlahatan yang dapat disebutkan!!.

Di sini ada permasalahan yang penting:
Sebagian orang berpendapat bahwa melakukan perbuatan seperti itu adalah bagian dari jihad. Orang yang melakukan perbuatan seperti peledakan atau pembunuhan, apabila ia terbunuh maka dikategorikan syahid di jalan Allah. Untuk menjelaskan permasalahan ini, apakah jenis perbuatan ini merupakan bagian dari cara untuk mendapatkan syahid. Kita harus mengetahui, "Apakah yang dimaksud dengan syahid fi sabilillah itu?"
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi pemberi nasihat di Masjid Nabawi di Madinah mengatakan (Koran al-Muslimun edisi ke 590, Jum'at 7/1/1417 H bertepatan dengan tanggal 24/5/1996 M.), "Sesungguhnya apabila seorang mujahid (pejuang) terbunuh di medan perang antara kaum Muslimin dengan musuh-musuhnya kaum kafir, dan peperangan tersebut dalam dua kondisi:
Pertama: orang Muslim menyerang negara kafir untuk mema-sukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah dan agama Islam, agama yang menyelamatkan ummat dan memberikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kedua: Orang kafir sebagai musuh menyerang umat Islam, seperti perang Uhud, kemudian kaum Muslimin mengadakan perlawanan, maka di antara mereka (umat Muslim) ada yang gugur dalam peperangan ini sebagai syahid. Maka hal seperti ini dikategorikan syari'at sebagai syahid, tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan dikuburkan bersama darah yang ada pada pakaiannya, orang tersebut tidak mati di sisi Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan bahagia disebabkan karunia Allah Ta'ala yang diberikan-Nya kepada mereka." (Ali Imran: 169-170).
Ada satu syarat pokok yang mendasar untuk kedua kondisi yang telah disebutkan, yaitu hendaknya perang tersebut dengan seizin pemimpin kaum Muslimin dan berada di bawah komandonya.
Apabila seorang Muslim berpendapat untuk melakukan perang sendirian atau bersama beberapa orang tanpa ada izin dari pemimpin kaum Muslimin, maka perangnya adalah bathil, dan jika mati ia tidak dikategorikan syahid. Hal itu disebabkan karena tidak adanya izin dari pemimpin untuk melakukan perang tersebut, yang mana izin tersebut merupakan syarat yang mesti dipenuhi, terutama jika sudah ada perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir untuk menghentikan peperangan dan tidak melakukan penganiayaan.
Berdasarkan ini maka sesungguhnya pembunuhan, peledakan yang dilakukan terhadap anak kecil dan dewasa, laki-laki dan perempuan yang diperbuat oleh sebagian pemuda kaum Muslimin di negara Islam dan di luar, dengan mengatasnamakan jihad dan memerangi kezaliman orang-orang yang menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah, meminta mereka untuk kembali menjadikan Islam sebagai dasar hukum, dan meminta ditegakkannya pemerintahan Islam, semua perbuatan ini adalah bathil dan rusak serta tidak boleh menisbatkannya kepada Islam sebagai syari'at Allah dan agama-Nya yang hak dengan alasan apa pun. Bagi umat Islam tidak boleh menguatkannya dan mendukungnya walaupun dengan perkataan dan dirham (bantuan dana), karena sesungguhnya perbuatan tersebut tidak lain hanyalah kezaliman, kejahatan, dan kerusakan di muka bumi. Dan lebih dari itu, demi Allah tindakan tersebut tidak menda-tangkan kebaikan selamanya, terlebih mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islam, dan realitalah sebagai buktinya.
Karena cara untuk mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islam adalah hendaknya semua penduduk atau umat menyerahkan hati dan mukanya atau lahir dan bathinnya kepada Allah Ta'ala. Maka hatinya akan suci dan jiwanya akan bersih, perkataannya akan sama dan urusannya akan tetap istiqamah, semua itu akan nampak jelas pada semangat mereka untuk bangkit melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman, serta menyeluruhnya cahaya ilmu Ilahi bagi mereka dan setiap urusan hidup mereka, maka tidak akan ada kebodohan dan kesesatan dalam setiap kehidupan mereka..
Inilah cara atau jalan untuk mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islam, wahai hamba Allah! Dengan menganalisa perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya akan memperkuat hakikat ini dan menegaskannya.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetap selama 13 tahun di Mekkah setelah beliau diutus Allah Ta'ala. Beliau dan para sahabatnya mendapatkan penganiayaan dari orang-orang musyrik, kekerasan, dan kesombongan mereka. Beliau tidak pernah sama sekali berkata kepada para sahabatnya, "Bunuhlah si fulan." Beliau berhijrah dengan membawa agama dan dirinya ke Madinah Munawarah untuk bermukim di sana. Beliau juga tidak pernah menyuruh salah seorang sahabatnya untuk membunuh musuh-musuhnya sehingga turun firman Allah Ta'ala untuk itu dalam firman-Nya, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesunguhnya mereka telah dianiaya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (al-Haj: 39), dan hal itu setelah umat Islam benar-benar terbentuk di bawah kepemimpinannya yang lurus dan bijaksana.
Ini adalah hukum yang umum yang harus diketahui kaum Muslimin, khususnya para ulama yang menguatkan hukum terhadap masalah peledakan, pembunuhan, juga masalah-masalah yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, atau mengakibatkan seseorang masuk penjara atau masalah-masalah yang menjadikan Islam tercela dan ternoda. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbebas dari semua itu." Inilah syahid di jalan Allah sebagaimana telah dijelaskan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi Hafidzohullah, maka tidak ada setelah yang hak itu kecuali kesesatan yang nyata.
Syaikh Shaleh Al-Fauzan ditanya, "Apakah organisasi bawah tanah terselubung disyariatkan di dalam Islam? Khususnya di negara yang Islam dan pemeluknya dihancurkan?"
Maka beliau menjawab, "Allah Ta'ala berfirman yang artinya, ‘Tidaklah Allah Ta'ala membebani seseorang dari hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuannya." (al-Baqarah: 286) dan juga berfirman-Nya yang artinya, "Maka bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kamu." (at-Thaghabun: 16), dan bagi kaum Muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya ada dua kondisi:
* Pertama: Kaum Muslimin tidak memiliki negara yang melindunginya dan tidak memliki kekuatan yang mencegah mereka dari musuh-musuhnya. Maka dalam kondisi seperti ini kaum Muslimin hanya diwajibkan untuk berdakwah kepada Allah dan memberikan penjelasan dengan lisan saja, sebagaimana kondisi kaum Muslimin pada waktu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah sebelum melakukan hijrah.
* Kedua: Kaum muslimin memiliki negara dan kekuatan serta perlindungan. Maka pada kondisi seperti ini ada dua hal yang diwajibkan atas kaum Muslimin, yaitu berdakwah kepada Allah dan berjihad di jalan Allah dengan tanpa berkhianat, sebagaimana kondisi yang dialami Rasulullah dan kaum Muslimin setelah melakukan hijrah ke Madinah.
Pembagian yang saya katakan ini diambil dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kebersamaannya dengan orang-orang kafir, dan beliau adalah suri tauladan bagi kaum Muslimin sampai hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya telah terdapat bagi kamu sekalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang-orang yang menghendaki pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir, dan banyak mengingat Allah." (al-Ahzab: 21)
Wajib atas orang Muslim untuk berhijrah dari negara-negara kafir ke negara Muslim apabila hal itu memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, maka hijrah ke negara kafir yang tidak terlalu membahayakan agamanya, walaupun memungkinkannya untuk berlari dengan agamanya. Wallahu a'lam."
Contoh-contoh Sebagian Jenis Tindakan Anarkis/Pengrusakan
Di bawah ini akan kami jelaskan sebagian contoh-contoh atas tindakan pengrusakan yang kami saksikan dan kami dengarkan setiap hari melalui media informasi berikut hukumnya dan pendapat ulama di dalamnya.
Pertama: Pembunuhan duta besar dan para diplomat
Tidak diperbolehkan membunuh para duta besar dan para diplomat apabila mereka masuk dengan cara yang aman. Berkaitan dengan hal itu Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni: "Apabila kafir harbi (yang boleh diperangi) memasuki negeri Islam dengan cara yang aman, maka biarkanlah hartanya, baik ia menghendaki untuk menjadi muslim atau dzimi (berada di bawah perlindungan umat Islam), atau tawarkan kedua-duanya kepadanya kemudian ia kembali ke "Darul harbi" (tempat atau negara kafir). Kemudian kita lihat, apabila dia masuk sebagai pedagang atau sebagai utusan, untuk berekreasi atau keperluan yang ingin didapatkannya kemudian masuk ke negara Islam, maka ia mendapatkan jaminan keamanan untuk jiwa dan hartanya, karena dengan tujuan-tujuan tersebut berarti ia mempunyai niat untuk bermukim di negeri Islam. Maka statusnya sama dengan kafir dzimi apabila ia memasuki negara Islam dengan maksud seperti tersebut."
Adapun para duta besar atau utusan maka ia seperti orang Mukmin, baik dengan membawa surat-surat atau ia berjalan di antara dua kelompok yang bertikai untuk mengadakan perdamaian, atau ia berusaha untuk menghentikan perang untuk beberapa waktu supaya memudahkan pemindahan yang terluka dan terbunuh, atau yang lainnya dari berbagai misi atau tugas yang dapat dikategorikan sebagai tugas diplomasi, Menurut istilah sekarang dikategorikan diplomat dalam rangka perbaikan zaman.
Imam Ahmad serta Abu Daud meriwayatkan dari hadits Na'im bin Mas'ud, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada dua orang utusan Musailamah,
وَ لَوْلاَ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمْ
"Kalau bukan karena bahwa para utusan itu tidak dibunuh, niscaya aku akan membunuh kalian." ( Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2761 dari hadits Nuqim bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu, dan dikeluarkan pula oleh Abu Daud no. 2762, dan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya no juz 1 hal 391 dari hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu. Ahmad Syakir berkata pada hadits no. 3708: Sanadnya shahih.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membaca surat Musailamah, kemudian beliau bertanya kepada keduanya (utusan Musailamah), "Apa yang kamu berdua katakan?quot; Keduanya menjawab, "Kami mengatakan sebagaimana yang ia (Musailamah) katakan." Yakni keduanya mengatakan kenabian Musailamah al-Kadzab.
Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi' kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba timbullah keimanan dalam hati Abu Rafi'. Maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak akan kembali kepada mereka. Aku akan tetap bersama kalian sebagai Muslim." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّيْ لاَ أَخِيْسُ الْعَهْدَ وَ لاَ أَحْبَسُ الْبَرْدَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِنًا, فَإِنْ وَجَدْتَ بَعْدَ ذَلِكَ فِيْ قَلْبِكَ مَا فِيْهِ اْلآنَ, فَارْجَعْ إِلَيْنَا.
"Sesungguhnya aku tidak akan membohongi janji dan menahan yang lemah, kembalilah kepada mereka dengan aman. Apabila setelah itu kamu dapatkan dalam hati kamu apa yang kamu dapatkan sekarang di dalamnya, maka kembalilah kepada kami." (Dikeluarkan oleh Imam Abu Daud No. 2758 dan Imam Ahmad dalam musnadnya Juz 6 halaman 8 dan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak Juz 3 halaman 598. Imam Albani berkata dalam kitab silsilah Shahihah halaman 702, "Sanad yang shahih, semua orang-orangnya dapat dipercaya." Orang-orang Syaikhani selain Hasan bin Ali bin Abi Rafi' dapat dipercaya sebagaimana disebutkan dalam kitab Taqrib." Imam al-Baghawi membahasnya dalam kitab Syarhus Sunnah Juz 11 halaman 163, al-Arnaut berkata,"Sanadnya shahih".)
Dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf, juga dalam kitab as-Sair al-Kabir karya Muhammad dikatakan, "jika ada persyaratan yang disyaratkan bagi seorang utusan, maka kaum Muslimin harus memenuhi persyaratan tersebut, dan tidak dibolehkan bagi mereka untuk berkhianat kepada utusan musuh walaupun orang-orang kafir membunuh jaminan orang Muslim atau tawanan yang ada pada mereka, maka tidak boleh membunuh utusan mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersada,
وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ
"Membalas khianat dengan amanah (menepati janji) adalah lebih baik daripada membalas khianat dengan khianat".
Imam Ibnu Kudamah berkata (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Juz 8 halaman 401), "Apabila al-Musta'man (orang kafir yang memohon perlindungan dari umat Islam) mencuri di negara atau tempat orang Muslim atau ia membunuh atau mengambil tanpa izin kemudian kembali ke negaranya di tempat orang kafir harbi (kafir yang boleh diperangi), kemudian keluar lagi dengan tujuan memohon perlindungan untuk yang kedua kalinya, maka al-Musta'man tersebut diminta untuk memenuhi syarat yang harus ia penuhi pada amanah yang pertama." (Buku Tahsiluz Zad Litahkiki al-Jihad karya Said Abdul Adzim halaman 205-206.)
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, "Apakah pembunuhan terhadap orang yang mempunyai tanggung jawab dalam kenegaraan dan yang lainnya termasuk kategori atau bagian dari khianat? Dan apakah boleh membunuh orang kafir?" (Majmu Fatawa wa-Rasail Syaikh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz 8.)
Maka beliau menjawab, "Tidak diperbolehkan membunuh dengan khianat terhadap musta'man, mu'ahad (yang mengadakan perjanjian) atau dzimmi (yang berada dalam kekuasaan umat Islam) terlebih orang Muslim. Telah dijelaskan dalam hadits bahwa barangsiapa yang membunuh seorang mu'ahad, maka ia tidak akan mencium wanginya surga. (Ket : dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3166 dari hadist Abdullah Bin Amru radhiallahu ‘anhu.) Maka apabila yang dimaksudkan untuk dibunuh itu adalah seorang pemimpin atau yang memiliki tanggung jawab maka dosanya lebih besar. Hal itu dikarenakan ia telah ditetapkan, seperti pimpinan perusahaan atau lembaga. Maka tindakan membu-nuhnya mengandung makna penghancuran pada negara dan apabila diperkirakan bahwasanya ia (yang dibunuh) telah melakukan suatu aniaya atau kezaliman, seharusnya ia diadukan ke mahkamah syari'ah untuk diberlakukan kepadanya hukum Allah Ta'ala.
Kedua: Pembajakan Pesawat atau Kapal Laut, serta Penculikan Orang
Sesungguhnya tindakan itu adalah gambaran dari kebiadaban dan gambaran dari para pengikut orang jahat, yang mana mereka berlindung di balik orang-orang yang tidak berdosa dan mencampakkan diri mereka pada marabahaya, baik mereka itu laki-laki atau perempuan besar atau kecil dari kalangan kaum Muslimin dan orang yang darahnya terlindungi. Dalam perbuatan seperti ini terdapat pengkhianatan yang tercela, mengganggu keamanan, menghilangkan kemaslahatan negara dan manusia. Secara umum perbuatan seperti ini tidak membawa atau mendatangkan kemaslahatan yang berarti. Karena itulah kita mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah haram dan merupakan suatu kejahatan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِيْ هُرَّةٍ حَبَسَتْهَا, حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ, وَ قِيْلَ لَهَا, لاَ أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلاَ سَقَيْتِهَا حَتَّى حَبَسْتِهَا, وَلاَ أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ اْلأَرْضِ
"Seorang perempuan disiksa karena ia mengurung kucing sehinga kucing tersebut mati. Maka perempuan itu pun masuk neraka dan dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak memberinya makan dan tidak memberinya minum dan mengurungnya. Kamu tidak melepaskannya hingga kucing itu dapat memakan serangga-serangga tanah." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3482 dan oleh Imam Muslim No. 2242 dari hadist Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Dan dikeluarkan oleh Imam Muslim juga No. 2243 dari hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.)
Sesungguhnya perbuatan perempuan tersebut merupakan fenomena dari kerasnya hati dan hilangnya rasa kasih sayang dari hati. Rasa kasih sayang tidak akan hilang kecuali dari hati yang sakit, dan perbuatan mereka tadi tidak jauh dari perbuatan perempuan ini.
Sebaliknya dari itu Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Ketika seorang laki-laki melakukan perjalanan ia merasakan haus yang sangat, ia pun menuruni sebuah sumur dan minum darinya kemudian keluar. Tiba-tiba ia mendapatkan seekor anjing yang menjulurkan lidahnya sambil memakan tanah karena rasa haus yang sangat. Ia berkata, "Sungguh anjing ini telah ditimpa rasa haus sebagaimana telah menimpa diriku." Ia kemudian memenuhi sepatunya dengan air kemudian digigit dengan mulutnya. Ia naik dari sumur kemudian memberi minum pada anjing tersebut. Allah Ta'ala pun memujinya dan mengampuni dosanya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah berbuat baik terhadap hewan ada pahalanya bagi kita?" Beliau menjawab, "Pada setiap hewan yang hidup ada pahalanya." (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 2363 dan oleh Imam Muslim No. 2244.) Maka jadikanlah atau ambilah hadits ini sebagai pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan! (Kitab Tahsilu Zad Litahkiki al-Jihad karya Sa'id Abdul Adzim halaman 206-207.)
Syaikh Ibnu Baz berkata, (Ket : Perkataan Syekh Abdul Aziz Bin Baz dipublikasikan dalam buku Fattawa wal Maqalah al-Mutanawi'ah karya beliau sendiri Juz 1 halaman 276-289 sebagaimana telah dipublikasikan oleh majalah Tauhid yang dikeluarkan oleh kelompok Ansoru Sunah al-Muhamdiyah di Mesir tanggal 8-10-01.) "Sudah dimaklumi bagi setiap orang yang memiliki pandangan paling rendah, bahwasanya pembajakan pesawat, dan penculikan seseorang dari kedutaan besar dan yang lainnya, merupakan kejahatan-kejahatan besar dan Internasional yang mengakibatkan kerusakan dan bahaya yang besar, mempersempit gerak langkah orang-orang tak berdosa serta menyakiti mereka yang tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah Ta'ala.
Sebagaimana telah menjadi maklum pula bahwasanya kejahatan-kejahatan ini bahayanya tidak hanya menimpa salah satu negara saja atau salah satu kelompok saja tetapi menyeluruh ke seluruh dunia.
Tidak diragukan lagi bahwa tindakan yang merupakan bagian dari kejahatan seperti ini. Yang harus dilakukan oleh pemerintah dan orang-orang yang memiliki tanggung jawab adalah memberikan perhatian yang serius dan berusaha keras yang mungkin dilakukan untuk menghentikan dan memutuskan kejahatannya. Allah Ta'ala telah menurunkan kitab-Nya al-Qur'an sebagai penjelas bagi segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, serta kabar gembira bagi kaum Muslimin. Allah Ta'ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan sebagai hujjah atas hamba seluruhnya. Allah telah mewajibkan kepada jin dan manusia untuk menghukumi dengan syariat-Nya dan merujuk kepadanya serta mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan manusia kepada kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65); firman Allah, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan siapakah yang lebih baik (hukumnya) daripada Allah bagi orang-orang yang yakin." (al-Maidah: 50)
Firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, juga kepada para pemimpin di antara kamu. Maka jika kamu sekalian berselisih pada suatu urusan, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah dan Rasul, jika kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa: 59).
Para ulama telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan mengembalikan urusan kepada Allah adalah kepada kitab-Nya yang mulia, dan mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan kepadanya pada saat beliau masih hidup dan kepada Sunnahnya yang shahih setelah beliau wafat.
Allah Ta'ala berfirman, "Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka (putusannya) terserah kepada Allah." (asy-Syuura: 10).
Maka ayat-ayat ini dan yang lainnya yang semakna, menunjukkan kepada kewajiban untuk mengembalikan apa yang diperselisihkan manusia kepada Allah Ta'ala dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah yang dimaksud dengan mengembalikan permasalahan kepada hukum Allah Ta'ala, dan menunjukkan pula kepada peringatan dari sesuatu yang menyalahinya dalam segala urusan, dan yang terpenting dari urusan tersebut yang bahaya dan kejelekannya menyeluruh adalah seperti penculikan dan pembajakan.
Maka kewajiban negara yang di dalamnya terdapat pelaku penculikan serta pembajakan adalah menerapkan syari'at Allah kepada mereka, dikarenakan dampak negatif yang diakibatkan kejahatan mereka yang keji terhadap hak-hak Allah dan hamba-Nya, serta menimbulkan bahaya-bahaya yang banyak, dan kerusakan-kerusakan yang besar.
Tidak ada solusi yang dapat memutuskan pangkalnya dan menghentikan kejelekannya kecuali solusi yang telah ditetapkan Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang dalam kitab-Nya yang mulia, dan dibawa oleh hamba-Nya yang paling ikhlas dan utama juga paling penyayang, sebagai pemimpin generasi pertama dan terakhir, beliau adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliaulah satu-satunya solusi yang harus difahami oleh para penculik dan yang diculik, dan harus difahami pula oleh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka dan yang lainnya, hati mereka akan rela kepadanya (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila mereka benar-benar orang yang beriman. Jika mereka bukan orang yang beriman, maka Allah Ta'ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menghukumi mereka dengan syari'at-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya,
"Dan hukumilah di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (orang kafir)." (al-Maidah : 49) dan firman-Nya yang lain, "Dan apabila kamu menghukumi maka hukumilah di antara mereka dengan adil. " (al-Maidah: 42).
Berdasarkan atas apa yang telah kami sebutkan, maka yang harus dilakukan oleh setiap negara yang ditekan oleh para penculik atau pembajak adalah membentuk panitia dari kalangan para ulama syari'at Islam untuk melihat permasalahan tersebut, dan mempe-lajarinya dari berbagai sisi kemudian menghukuminya dengan syari'at Allah.
Para ulama tersebut harus menghukumi permasalahan tersebut berdasarkan pada kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mencari tahu dalam permasalahan tersebut dengan apa yang telah disebutkan oleh para ulama syari'at pada ayat "muhaaribah" (peperangan) dari surat al-Maidah, "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat diamnya) yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar." (al-Maidah: 33). Dan apa yang telah disebutkan para ulama pada setiap madzhab pada bab "Qitho'u Thorik" (perampok), kemudian mereka mengeluarkan hukumnya yang diperkuat oleh dalil-dalil syari'at.
Pemerintah yang ditekan oleh para penculik atau pembajak tersebut harus menerapkan hukum syari'at, sebagai bukti ketaatan kepada Allah, menjunjung tinggi perintah-Nya, menjalankan syariat-Nya, menghentikan kejahatan yang besar ini, dan sebagai motivasi untuk mewujudkan atau mencapai keamanan, serta sebagai rahmat dan keadilan bagi orang yang diculik.
Adapun undang-undang yang dibuat manusia untuk kasus ini tanpa didasarkan pada kitab Allah Ta'ala, dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, semua itu ketetapan manusia dan bagi umat Islam tidak dibolehkan untuk merujuk kepadanya, dan sebagiannya tidak lebih baik dari sebagian yang lain untuk dijadikan rujukan, karena undang-undang tersebut kesemuanya merupakan hukum jahiliyah dan "thogut" yang telah diperingatkan Allah darinya. Keinginan untuk merujuk kepada hukum jahiliyah dan "thogut" ini dinisbatkan kepada orang-orang munafik sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada "thogut" padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari "thogut" itu. Dan syetan bermaksud untuk menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa: 60-61).
Maka tidak dibolehkan bagi pemeluk Islam untuk menyerupai musuh-musuh Allah yang munafik dengan merujuk atau berhukum kepada selain Allah, dan menghalangi manusia dari hukum Allah dan Rasul-Nya.
Juga tidak dibolehkan bagi pemeluk Islam untuk berhujjah dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam dari berhukum terhadap undang-undang buatan manusia, karena semua itu tidak akan membebaskannya dan tidak akan menjadikannya (berhukum terhadap undang-undang yang dibuat manusia) menjadi boleh. Bahkan perbuatan itu termasuk dari perbuatan yang paling mungkar, walaupun hal tersebut dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Keterlibatan mayoritas umat Islam dalam melakukan suatu perbuatan (yang menyalahi syari'at) bukanlah sebagai dalil atas kebolehannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (al-An'am 116).
Setiap hakim atau penguasa yang menyalahi syari'at Islam maka ia termasuk dari hukum jahiliyah, Allah Ta'ala berfirman, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari hukum Allah bagi kaum yang yakin." (al-Maidah: 50).
Allah Ta'ala telah menjelaskan bahwa menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah adalah kufur, zalim, dan fasik. Allah Ta'ala berfirman dalam surat al-Maidah, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." "Barang-siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (al-Maidah 44, 45, 47)
Ayat-ayat ini dan yang lainnya yang semakna, mewajibkan atas umat Islam untuk berhati-hati dari tindakan menghukumi dengan selain yang telah diturunkan Allah, dan hendaknya mereka membebaskan diri dari perbuatan tersebut, kemudian bersegera untuk berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, serta berlapang dada terhadap hukum tersebut dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Apabila ada suatu kasus atau peristiwa yang bahayanya menyeluruh seperti penculikan, maka kewajiban untuk mengembalikan hukumnya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat dan lebih besar dalam kewajibannya, karena Allah Ta'ala Dia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, Dia Hakim yang paling bijaksana, Dia Maha Penyayang, dan mengetahui akan kemaslahatan hamba-Nya, Dia akan menjauhkan dari hamba-Nya marabahaya dan akan menghentikan dari mereka kerusakan pada masa sekarang dan mendatang, maka mereka harus mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pada keduanya terdapat kecukupan, kepuasan, solusi untuk problematika, dan penyelesaian atau pelenyapan setiap kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepada keduanya dan istiqomah atas keduanya, juga menghukumi dengan keduanya dan menghukumi kepada keduanya sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam ayat-ayat muhkamat.
Dikarenakan besarnya bahaya kejahatan ini, saya melihat bahwa yang harus dilakukan adalah mempublikasikan perkataan ini sebagai nasihat bagi umat, membebaskan kewajiban, memberikan peringatan bagi masyarakat umum dengan kewajiban yang besar ini dan sebagai bentuk kerjasama para penanggung jawab untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan."
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, "Sebagian orang melakukan pembajakan terhadap pesawat atau kapal laut, dan mereka menghendaki dengan tindakan tersebut memberikan tekanan terhadap fihak yang memiliki pesawat atau kapal laut ini. Mereka memberikan ancaman terhadap para penumpangnya dengan ancaman pembunuhan, bahkan mereka betul-betul membunuh sebagian dari mereka hingga permintaannya dituruti. Maka apakah hukum perbuatan seperti ini? Apalagi perbuatan seperti ini telah mengejutkan atau mengagetkan para penumpang?" (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin, al-Akidah Juz 8.)
Maka beliau menjawab, "Pemerintah harus melakukan alternatif yang cukup untuk melawan para pembelot, dan menghukumi mereka, dan pemerintah juga harus membekali setiap kelompok dari para pilot dengan orang yang menjaganya, yang bisa menghadapi atau melawan para pelaku aniaya yang berusaha untuk membajak. Sebagaimana mereka melakukan pemeriksaan yang sempurna sebelum menaiki pesawat, mereka tidak membiarkan satu orang pun meninggalkan tempat, kecuali setelah dipastikan bahwasannya setiap orang tidak membawa senjata walaupun hanya sekedar besi kecuali setelah diketahuinya. Berbarengan dengan itu sebagian kelompok ada yang melakukan pemaksaan terhadap sebagian pilot untuk merubah arah. Maka apabila ada orang yang mampu mengalahkan mereka dari kalangan tentara dan penumpang niscaya rencana mereka akan bisa digagalkan.
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan oleh mereka itu adalah kesalahan, kebodohan, kesesatan, serta merupakan tindakan melampaui batas dan mengagetkan orang yang dalam kondisi aman dari para penumpang. Selain itu memberikan ancaman dengan sesuatu yang tidak mungkin mereka (penumpang) lakukan dan tidak mungkin pula untuk memutuskannya, Wallahu a'lam."
Ketiga: Aksi Pengorbanan/Bunuh Diri ( buku Tahsiluz Zad Litah gigi al-Jihad karya Said Abdul Adzim halaman 202-204)
Yazid bin Abi Habib telah meriwayatkan dari Aslam Abi Imron, ia berkata, "Kami memerangi Konstantinopel dan berada pada kelompok Abdurrahman Bin Walid, sedangkan Rum berada dipinggiran kota. Tiba-tiba seorang laki-laki maju untuk menyerang musuh, maka orang-orang berkata, ‘Subhanallah, tidak ada Tuhan selain Allah, ia telah mencampakkan dirinya pada kehancuran.' maka Abu Ayub berkata, ‘Subhanallah, ayat ini telah diturunkan pada kami kaum Anshar, ketika Allah menolong Nabi-Nya dan memenangkan agama-Nya, kami berkata marilah kita menetap pada harta kita, maka Allah menurunkan ayat, "Dan berinfaklah kamu sekalian pada jalan Allah." (al-Baqarah 195)."
Mencampakkan diri kepada kehancuran adalah kita menetap pada harta kita dan menjaganya sementara kita meninggalkan jihad. Adapun Abu Ayub masih tetap melakukan jihad di jalan Allah sehingga beliau dikuburkan di Konstantinopel dan kuburannya berada di sana. Abu Ayub memberitahukan kepada kita bahwasan-nya mencampakkan diri kepada kehancuran sebenarnya adalah meninggalkan jihad di jalan Allah dan ayat al-Qur'an pun diturunkan pada masalah tersebut. Dan hal serupa diriwayatkan pula dari Hudzaifah, Hasan, Qotadah, Mujahid, ad-Dhahhak, dan Imam Tirmidzi meriwayatkan khabar ini dengan maknanya, dan ia berkata bahwa ini adalah hadits hasan gharib shahih.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam kasus tindakan seorang laki-laki yang melawan musuh dengan sendirian dalam kondisi perang. Al-Qasim bin Muhaimirah dan al-Qasim bin Muhammad, juga Abdul Malik dari kalangan ulama Malikiyah, mereka berkata, "Tidak apa-apa jika seseorang dengan sendirian melawan tentara yang besar apabila ia memiliki kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah. Apabila ia tidak memiliki kekuatan itulah yang dikategorikan mencampakkan diri kepada kehancuran."
Dikatakan apabila ia menuntut mati syahid dan niatnya ikhlas, maka ia boleh melakukannya karena tujuannya adalah satu [mencari keridaan Allah]. Hal itu dijelaskan dalam firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridha Allah." (al-Baqarah: 207). Ibnu Khuwaiz Mindad berkata, "Adapun orang yang melawan 100 atau sejumlah tentara atau sekelompok pencuri dan perampok juga penentang, maka untuk hal itu ada dua ketentuan. Apabila ia mengetahui dan menyangka bahwasanya ia akan dapat membunuh orang yang melawan kepadanya dan ia sendiri akan bisa selamat maka itu adalah baik. Begitu juga apabila ia mengetahui dan menyangka bahwa ia akan terbunuh" (Ket : Menyangka akan mendapatkan kehancuran tidak berarti mengenakan atau memberikan tebusan untuk suatu bangunan yang hancur. Karena yang wajib dilakukan bagi dia (orang yang melawan musuh sendirian) adalah mengusahakan bagi dirinya sebab-sebab yang akan membawanya kepada keselamatan sedapat mungkin dibarengi dengan kehati-hatian dari kemudlaratan dan aniaya dari fihak musuh walaupun pada akhirnya hal tersebut mem-bawanya kepada kematian. ) Tetapi ia mempunyai niat yang kuat untuk mengalahkan musuh atau memberikan cobaan terhadap musuh, atau memberikan kesan dan dampak yang bisa dimanfaatkan oleh kaum Muslimin maka hal itu diperbolehkan pula.
Imam al-Qurthubi berkata, "Saya telah mendapatkan kabar bahwa tentara Muslim ketika mendapatkan kuda, maka kuda kaum Muslimin tersebut melarikan diri karena takut gajah. Maka seorang laki-laki dari mereka dengan sengaja membuat gajah dari tanah dan mencoba menjinakan kudanya dengan gajah tersebut sehingga kudanya menjadi jinak. Maka ketika ia pada waktu subuh ternyata kudanya tidak berlari lagi dari gajah, kemudian dibawanya kepada gajah yang berada di hadapannya maka dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya ia adalah pembunuh kamu." Maka ia berkata, "Tidaklah berbahaya kalau saya terbunuh karena ada jalan yang cukup terbuka untuk kaum Muslimin.
Begitu pula pada peristiwa Yamamah ketika Bani Hanifah berlindung pada suatu taman, sorang laki-laki dari kaum Muslimin (yaitu al-Bara' bin Malik) berkata, "Letakanlah aku pada alat pelontar dan lemparkanlah aku kepada mereka, kemudian mereka melakukannya. Ia membunuh musuhnya secara sendirian dan membukakan pintu."
Imam al-Qurtubi berkata, "Dari sini apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah dengan sabar dan ikhlas?" Beliau menjawab, "Bagimu adalah surga." Maka laki-laki tersebut terjun ke medan perang melawan musuh sehingga ia terbunuh. Sampai ia (Imam al-Qurtubi) berkata, "Muhammad bin Hasan ber-kata, ‘Jika seorang laki-laki melakukan perlawanan terhadap seribu orang dari kaum musyrikin sementara ia sendirian, hal itu tidak apa-apa (boleh) apabila ia yakin akan mampu untuk selamat atau menga-lahkan musuh. Jika tidak demikian (tidak yakin), maka perbuatan tersebut makruh, karena ia telah mencampakkan dirinya pada kehancuran dengan tanpa membawa manfaat bagi kaum Muslimin.' Maka apabila tujuannya supaya seorang Muslim memiliki keberanian terhadap musuh sehingga bertindak seperti yang dilakukannya, maka hal itu boleh juga dilakukan, dikarenakan di dalamnya terdapat faidah atau manfaat bagi kaum Muslimin dari satu sisi. Apabila di dalamnya terdapat manfaat bagi kaum muslimin kemudian ia gugur dalam rangka menguatkan agama Allah dan menghinakan orang kafir, maka ia mendapat kedudukan mulia yang dipuji Allah. Sebagaimana Allah memuji orang Mukmin dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwanya." (at-Taubat: 111) dan ayat-ayat lainnya yang mengandung pujian Allah terhadap orang-orang Mukmin yang mengorbankan jiwanya.
Karena itu, hendaknya ada [ditegakkan] hukum amar ma'ruf nahyi munkar, bahwasanya ketika seseorang mengharapkan manfaat pada agama kemudian mengorbankan jiwanya untuk harapan tersebut sehingga ia terbunuh maka ia berada pada derajat syuhada yang paling tinggi. Allah Ta'ala berfirman, "Wahai anaku dirikanlah shalat dan serulah kepada yang ma'ruf dan cegahlah dari yang munkar kemudian bersabarlah atas apa yang menimpa kamu sesungguhnya hal yang demikian itu adalah sesuatu yang diwajibkan (oleh Allah)." (Luqman: 17).
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda, "Syuhada yang paling utama adalah Hamzah Bin Abdul Muthalib, dan orang yang mengatakan kalimat hak dihadapan pemimpin yang zalim kemudian ia membunuhnya." (Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Ausat Juz 1 halaman 245 dan Imam Hakim Juz 3 halaman 195 dan diangap hadits hasan oleh Imam Albani dalam kitab silsilah Shahihah halaman 374.)
Adapun pembunuhan terhadap sebagian militer dan penduduk dengan cara seperti dalam kondisi kita sekarang ini adalah termasuk dari pengikut jalannya orang-orang jahat, yang mana tindakan itu tidak bisa dipi-sahkan dari khianat yang diharamkan, dan menimbulkan penganiayaan dan kemudaratan yang sangat terhadap orang-orang yang tidak berdosa tanpa membawa kemaslahatan yang berarti.
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, "Ada sebagian orang yang mengikatkan pada perutnya alat peledak kemudian memasuki salah satu gedung pemerintah atau swasta atau memasuki perkumpulan manusia baik kafir ataupun bukan kemudian meledakan dirinya. Apakah hukum perbuatan ini? Apakah perbuatan seperti ini dikatagorikan bagian daripada jihad? Dan apakah pelakunya dapat dikatakan syahid ? ataukah dikatakan bunuh diri?" (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz 8.)
Beliau menjawab, "Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan itu secara zahir adalah bunuh diri, yang mana ia berkeyakinan bahwa ia akan membunuh dirinya sebelum yang lain, tetapi terkadang dibolehkan apabila ia berada di wilayah kafir yang boleh diperangi, dan ia tahu bahwasanya ia akan dibunuh oleh tangan-tangan musuh-musuh baik cepat ataupun lambat, atau ia akan mendapatkan bencana yang sangat keras [dari mereka], dan ia tidak mendapatkan jalan lain kecuali meledakan dirinya, sehingga dapat membunuh yang lainnya dari musuh-musuh yang telah menyiksa kaum Muslimin dengan siksaan yang keji. Dengan melaksanakan hal ini, ia telah membunuh sejumlah musuh yang dapat melemahkan kekuatan mereka dan meminimalisir siksaan mereka, serta menimbulkan rasa takut bagi mereka. Terkadang hal ini dibolehkan walaupun di dalamnya terkandung unsur bunuh diri, yaitu jika ia mengetahui bahwa dirinya pasti terbunuh atau akan mendapatkan tekanan dari musuh kemudian dengan hal itu ia bermaksud untuk membebaskan diri dari siksaan mereka dan ingin membuat dirinya tenang. Urusannya diserahkan pada Allah Ta'ala.
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya pula, "Sebagian orang mengatakan peledakan diri dibolehkan dengan mengqiyaskan terhadap kisah Ghulam Ukhdud, maka apakah jawaban yang mulia terhadap hal itu?' (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin, al-Akidah Juz 8)
Beliau menjawab, "Di sini tidak ada qiyas, dalam kisah Ghulam Ukhdud, tidak disebutkan bahwa ia melakukan bunuh diri. Dalam kisah tersebut bahwasanya mereka pergi dengan anak tersebut (ghulam) untuk melemparkannya dari puncak gunung tetapi Allah menyelamatkannya, kemudian mereka (Ukhdud) pergi dengan anak tersebut ke laut untuk melemparkannya, Allah pun menyelamatkannya pula. Kemudian, ketika anak tersebut mengetahui bahwa mereka akan terus mencoba membunuhnya. Cara yang mesti mereka lakukan untuk bisa mencapai tujuannya tersebut adalah orang yang melemparkannya harus mengucapkan, "Dengan nama Tuhan anak ini." Maka anak tersebut berkata, "Kalian sekali-kali tidak akan dapat membunuhku sehingga kamu melakukan apa yang aku perintahkan, ‘Kumpulkanlah orang-orang pada satu ketinggian, kemudian kata-kanlah, 'Dengan nama Allah sebagai Tuhan anak ini. Kemudian, lemparkanlah aku." Anak ini bermaksud dengan kata-katanya itu agar orang-orang mendengar sebutan nama Allah sehingga mereka semua beriman sebagaimana yang terjadi.
Adapun peledakan ini ia perbuat dengan sengaja bunuh diri, walaupun maksudnya untuk menghancurkan musuh dan memberikan kematian pada mereka. Terkadang bunuh diri diperbolehkan jika ia mengetahui bahwa ia akan disiksa sebelum dibunuh dan mengetahui bahwa pembunuhan itu pasti terjadi, Wallahu a'lam."
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, "Sebagian orang mengatakan bahwasanya ia telah melakukan perbuatan jihad dalam bentuk bunuh diri. Sebagai contohnya dilakukan oleh salah seorang mereka dengan meletakan ranjau pada mobilnya dengan menggunakan alat-alat peledak yang tidak dapat diprediksi oleh musuh, dan ia mengetahui bahwa dirinya pasti mati dalam peristiwa ini." (Dialog bersama Syaikh Ibnu Utsaimin yang diprakarsai oleh Majalah Da'wah Edisi 1598 tanggal 28/2/1418 H bertepatan dengan 3/7/1997 M.)
Maka beliau menjawab, "Pendapat saya dalam permasalahan ini, sama saja ia membunuh dirinya sendiri, dan ia akan di azab pada neraka jahanam dengan tindakan bunuh diri tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Ket : Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang melakukan bunuh diri dengan menggunakan besi maka besi tersebut akan berada di tangannya kemudian ia akan merasa kesakitan dengan besi tersebut di dalam neraka jahanam dengan kekal selama-lamanya. Barangsiapa yang meminum racun kemudian membunuh dirinya maka ia akan merasakan api neraka dengan kekal di dalamnya. Barangsiapa yang melemparkan diri dari ketinggian gunung kemudian membunuh dirinya maka ia akan jatuh ke dalam neraka jahanam dan kekal di dalamnya." dikeluarkan oleh Bukhari No. 5442, dan Imam Muslim No. 109. dan dalam bab tersebut diriwayatkan dari Tsabit Bin Dhahak dan yang lainnya. ) Tetapi orang bodoh yang tidak tahu dan melakukannya dengan alasan bahwasanya tindakan tersebut adalah baik dan diridai Allah. Saya berharap semoga Allah Ta'ala memaafkannya karena ia melakukan perbuatan ini sebagai bentuk ijtihad. walaupun saya berpedapat sesungguhnya pada waktu sekarang tidak ada maaf baginya, karena tindakan ini merupakan tindakan bunuh diri yang sudah menyebar dan termasyhur di kalangan manusia dan hendaklah manusia bertanya tentang hal itu kepada ahli ilmu, sehingga jelas bagi dia antara kebenaran dan kesesatan. Dan hal yang mengherankan sesungguhnya mereka melakukan bunuh diri, padahal Allah Ta'ala telah melarang hal itu, dan Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" (an-Nisa: 29).
Banyak dari mereka yang tidak menginginkan kecuali balas dendam terhadap musuh dengan segala cara, baik hal itu haram ataupun halal. Mereka hanya menghendaki agar rasa dendamnya terpuaskan dan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita pandangan yang benar terhadap agama dan amal dengan apa yang diridai-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Untuk menambahkan manfaatnya, kami akan menjelaskan hukum bunuh diri:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, "Apakah hukum bunuh diri dalam Islam?" (Fatawa Islamiyah, dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnad Juz 4 halaman 99.)
Maka beliau menjawab, "Bunuh diri adalah pembunuhan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan sengaja dengan sebab apa pun dan itu adalah diharamkan, dan termasuk dosa besar. Hal itu berada dalam keumuman firman Allah Ta'ala, "Dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka terhadapnya dan mengutuknya juga menyediakan azab yang besar baginya." (an-Nisa: 93)
Telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْئٍ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلِّدًا فِيْهَا أَبَدًا
"Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu, maka ia akan disiksa dengannya dalam neraka jahanam dengan kekal selama-lamanya." (Ddikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 5778 dan oleh Imam Muslim No. 109 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim No. 110 dengan serupa dari Tsabit Bin Dhahak radhiallahu ‘anhu.)
Orang yang bunuh diri pada hakikatnya secara umum melakukan hal tersebut karena kesempitan yang menimpanya, baik dari perbuatan Allah atau makhluk. Anda akan mendapati dirinya tidak mampu menghadapi apa yang menimpanya itu. Pada hakikatnya ia seperti orang yang minta perlindungan dari akibat kebakaran, ia telah berpindah dari yang jelek kepada yang lebih jelek. Jika ia mampu bersabar, Allah pasti akan menolongnya untuk mengatasi musibah tersebut, dan sebagaimana dikatakan, "Tetap berada dalam satu kondisi adalah sesuatu yang mustahil."
Dan kesimpulannya, "Wahai kaum Muslimin, kita telah mengetahui dari yang sudah dibahas bahwa masalah peledakan, penculikan, pembunuhan, dan yang lainnya berupa tindakan-tindakan yang merusak adalah dibantah atau ditolak secara syari'ah dan akal, dan tidak akan melakukan perbuatan seperti ini kecuali orang yang dikuasai hawa nafsu dalam dirinya atau orang yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Ia sama sekali tidak menghendaki kebaikan bagi kaum Muslimin.
Adapun orang yang melakukan tindakan tersebut dengan didasari keyakinannya bahwasanya hakim adalah kafir, maka kita harus menekannya atau mempersempitnya dan menentangnya. Karena pernyataannya itu bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bertentangan dengan apa yang dilakukan salafus salih dari umat ini.
Berikut ini kami akan menjelaskan sebagian syubhat (keraguan) yang dipegang oleh mereka untuk kita jawab dengan memohon pertolongan kepada Allah dan dengan apa yang dikatakan oleh para ulama sebagai jawaban atas syubhat ini. Allahlah tempat berlindung dalam mencapai tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.