Bagian Ketiga
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz
Fitnah Takfir (Pengkafiran)
Perkataan Imam ahli hadits Muhammad Nashirudin al-Albani
Segala puji bagi Allah Ta'ala, kita
memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kita memohon perlindungan
dari kejelekan diri dan kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa yang
diberi petunjuk Allah Ta'ala, maka tidak akan ada yang menyesatkannya,
dan barangsiapa yang disesatkan-Nya niscaya tidak akan ada yang
memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain
Allah Ta'ala Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi
pula bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. ( Ini permulaan
kata-kata Imam al-Albani dan telah direkam pada kaset ke 670 kaset, pada
tanggal 12/5/1415 H yang bertepatan dengan tanggal 7/11/1993 M, dan
perkataan tersebut dicetak dalam kitab (Fatawa Syaikhul al-Bani wa
Muqaaranatuhu bi fatawa al-Ulama, ditulis oleh ‘Ukasyah ‘Abdulmanan hal.
238-253 dan telah dikaji ulang, dishahihkan serta dikomentari oleh
Syekh Muhammad ‘Ied al-‘Abasyi semoga Allah menolongnya. Kemudian,
dipubli-kasikan oleh Majalah Salafiah terbitan pertama 1415 H,
sebagaimana dipublikasikan pula oleh surat kabar al-Muslimun terbitan ke
556 tanggal 5/5/1416 H bertepatan dengan tanggal 29/9/1995 M. Karena
pentingnya perkataan ini, maka yang mulia Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz
sebagai mufti utama kerajaan Saudi Arabia memujinya sebagaimana syaikh
Muhammad Sholeh al-Utsaimin telah memberikan komentar terhadapnya pada
sebagian tempat. Komentar ini telah direkam dalam kaset rekaman dan saya
telah mengcopinya serta telah menetapkannya pada tempat-tempatnya atas
perkataan Imam al-Albani. Syaikh Ibnu al-Utsaimin telah mengkaji ulang
komentar ini, mengesahkannya, menambahkan atasnya serta mengijinkan
untuk dipublikasikan.)
Sesungguhnya masalah pengkafiran secara
umum -bukan hanya untuk para penguasa, tetapi juga untuk rakyatnya-
adalah fitnah besar yang sudah ada sejak lama, yang diadopsi oleh salah
satu kelompok Islam pada zaman dahulu yang terkenal dengan sebutan
al-Khawarij. ( Al-Khawarij adalah kelompok yang bermacam-macam yang
disebutkan dalam buku-buku-buku yang memuat tentang kelompok-kelompok
atau golongan-golongan, dan diantara kelompok al-Khawarij tersebut yang
masih ada sampai sekarang dengan menggunakan nama lain yaitu
"al-Ibadiah". Mereka tidak memiliki aktifitas dakwah, tetapi sejak
beberapa tahun mulai melakukan kegiatan, mereka menyebarkan surat-surat,
buku-buku dan akidah-akidah yang sama persis dengan akidah Khawarij
yang dahulu, tetapi mereka bersembunyi dibalik karakteristik Syi'ah
yaitu taqiyyah (merahasiakan identitas). Maka mereka menga-takan,"Kami
bukan Khawarij", sebenarnya nama tidak akan dapat merubah sedikit pun
dari hakikat yang dinamai. Mereka mereka memiliki kesamaan (dari sisi
kesamaannya) dengan Khawarij dalam masalah pengkafiran terhadap orang
yang melakukan dosa besar. )
Sangat disayangkan bahwa sebagian dari
para da'i (aktifis dakwah) atau orang yang bersemangat, terkadang mereka
keluar dari al-Qur'an dan as-Sunnah tetapi dengan mengatas namakan
al-Qur'an dan as-Sunnah.
Permasalahn ini disebabkan oleh dua hal:
* Pertama: sedikit atau dangkalnya ilmu
* Kedua, dan ini penting sekali
bahwasanya mereka tidak paham terhadap kaidah-kaidah syari'at yang
merupakan dasar atau pon-dasi dakwah Islamiyah yang benar.
Setiap orang yang keluar dari jama'ah yang senantiasa dipuji oleh Rasulullah radhiallahu ‘alaihi dalam banyak hadistnya, bahkan disebutkan pula oleh Allah Ta'ala, dan Allah telah menjelaskan bahwasannya barang siapa yang keluar dari kaidah-kaidah syari'at berarti ia telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Hal itu terdapat dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa:115), sesungguhnya Allah Ta'ala (sangat jelas bagi orang ahli ilmu), bahwa Dia tidak mencukupkan dengan firman-Nya "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kepadanya kebenaran" tetapi menambahkan kepada penentangan Rasul tersebut mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa:115)
Maka mengikuti jalan orang-orang Mukmin
adalah merupakan sesuatu yang sangat penting dilihat dari sisi positif
dan negatifnya. Barangsiapa mengikuti jalan orang-orang Mukmin niscaya
ia akan selamat, dan barangsiapa berpaling dari jalan orang-orang Mukmin
maka tempat kembalinya adalah jahanam dan jahanam itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.
Dari sini banyak sekali kelompok yang
tersesat (dulu dan sekarang) dikarenakan mereka bukan hanya tidak
konsisten dengan jalan orang-orang Mukmin saja, tetapi mereka
menggunakan akal dan mengikuti hawa nafsunya dalam menafsirkan al-Qur'an
dan as-Sunnah. Kemudian, berdasarkan penafsiran tersebut mereka membuat
kesimpulan yang sangat berbahaya, yang mana dengan kesim-pulan tersebut
mereka keluar dari apa yang telah dilakukan orang-orang terdahulu kita
yang shalih.
Dan paragraf dari firman Allah, "Dan
mengikuti jalan selain orang-orang Mukmin." ini diperkuat pula oleh
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits shahih.
Hadits-hadits ini (yang akan saya kemukakan sebagiannya) tidaklah asing
bagi kaum Muslimin yang awam (apalagi bagi kaum muslimin yang pintar)
tetapi yang asing (yang tidak diketahui) dalam hadits-hadits tersebut
adalah bahwasanya hadits tersebut menunjukkan akan pentingnya sikap
konsisten dengan jalan orang-orang Mukmin dalam memahami al-Qur'an dan
as-Sunnah, serta mewajibkan hal itu dan menegaskannya.
Permasalahan ini telah dilupakan oleh
banyak orang-orang pintar, terutama oleh orang-orang yang dikenal dengan
sebutan Jama'ah Takfir (kelompok yang suka mengkafirkan) atau kelompok
lain yang menyatakan dirinya sebagai kelompok jihad, padahal pada
hakikatnya merupakan bagian dari kelompok yang mengkafirkan.
Mereka yang terkadang terdapat dalam
jiwa mereka keshalihan dan keikhlasan, tetapi hal ini saja tidak cukup
untuk menjadikan pelakunya termasuk orang yang beruntung di sisi Allah
Ta'ala. Karena itu bagi seorang Muslim wajib terkumpul dalam jiwanya,
keikhlasan niat hanya untuk Allah semata-mata, dan benar dalam mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Karena itu tidak cukup seorang Muslim
untuk ikhlas dan bersemangat dalam melakukan amal berdasarkan al-Qur'an
dan as-Sunnah dan dakwah kepada keduanya, tetapi harus ditambahkan
kepadanya mengikuti manhaj yang lurus dan benar. Dan hal itu tidak akan
sempurna kecuali dengan mengikuti apa yang sudah dijalankan oleh
generasi terdahulu yang shalih.
Dari hadits-hadits yang dapat
dihubungkan dengan apa yang sudah saya sebutkan adalah hadits tentang
terpecahnya umat menjadi 73 gologan, sebagaimana sabdanya,
إِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَليَ
إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, وَإِفْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَليَ
اثْنَتَيْنَ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَليَ
ثَلاَثِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً.
قَالُوْا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلُ الله؟ قَالَ:الْجَمَاعَةُ.
"Kaum yahudi telah terpecah menjadi 71
golongan, kaum nashara menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka kecuali satu."
Para sahabat bertanya, "Siapakah itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab,
"Al-Jama'ah." ( Dikeluarkan Ibnu Majah no. 3992. Ibnu ‘Ashim dalam
as-Sunnah (1/32) no.23. Thabrani dalam al-kabir (18/70). Lalkaai dalam
Syarah Ushul I'tiqadi Ahlus Sunnah (1/101). al-Hakim dalam Mustadraknya
juz 1 hal 47. Mereka semuanya meriwayatkan dari ‘Amru bin ‘Utsman telah
mengatakan kepada kami ‘Ubad bin Yusuf, telah mengatakan kepada kami
shafwan bin ‘Amru dari Rasyid bin Said, dari ‘Auf bin Malik dengan
status hadits "Marfu". Imam al-Albani mengatakan dalam kitab "Silsilah
Shalihah" no.1492: ini sanad yang baik, para perawinya terpercaya serta
termasyur kecuali ‘Abbad bin Yusuf al-Kindi al-Himshi, Ibnu Hibban telah
menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqat, ia (‘Abbad bin Yusuf) dinilai
tsiqah (dipercaya) oleh yang lainnya dan sekelompok orang telah
meriwayatkan darinya. Hadits ini juga memiliki penguat.
Dan dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud no.
4597 dan Imam Ahmad dalam musnadnya juz 4 hal 102, dan Imam Hakim dalam
"Mustadroknya" juz 1 hal 128 dan Ibnu Abi ‘Ashin dalam kitab as-Sunnah
juz 1 hal 7 dan yang lainnya. Diriwayatkan dari Shafwan bin ‘Amru ia
berkata, "Telah berkata kepada saya Azhar bin Abdullah al-Hamzani dari
Abi ‘Amir ‘Abdullah bin Lahyi dari Mu'awiyah dan sunnah ini perawinya
terpercaya kecuali Azhar para ulama telah berselisih tentang dia dan dia
seorang yang jujur," al-Hafidz berkata dalam kitab Takrib, "Dia seorang
yang jujur, para ulama berbicara tentang dia karena anti ahlul bait
(nashb)." Al-Hafidz berkata dalam kitab Takhrijul Kasyaf hal. 63,
"Sanadnya baik," dan al-Hafidz al-Iraqi berkata dalam Takhrij al-Ihya'
juz 3 hal 199, "Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amru
dan ia mengatakannya baik, Abu Dawud dari Mu'awiyah, dan Ibnu majah dari
Anas dan ‘Auf bin Malik, sanad-sanadnya baik dan Imam al-Albani
mengatakan shahih dalam kitab Silsilah Shahihah no. 204. ) Dalam riwayat
lain,
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي
"Yang saya dan para sahabat saya berada
di atasnya." (Dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi no. 2641 dan Imam Hakim di
dalam Mustadraknya juz 1 hal 218, Imam Lalkai didalam kitab Syarhu
Ushuli I'tiqadi Ahli Sunnah juz 1 hal 99, Imam Ajiri dalam kitab Syariat
juz 5 hal 16, Imam Marwaji dalam kitab as-Sunah hal 18, dan Imam Ibnu
Wadhoh dalam kitab al-Bida' wa-Nahyu ‘Anha hal 85 dari hadits ‘Abdullah
bin ‘Amru y. Imam Tirmidzi berkata, "Hadits yang ditafsirkan saya tidak
mengetahuinya seperti ini kecuali dari sisi ini, dan untuk ini ada yang
memperkuat yang mengangkatnya kepada derajat hadits Hasan, dapat dilihat
dari "silsilah as-shahihah" karya Imam al-Albani no. 203 dan no. 1492
juga kitab "Dzilalu al-Jannah" hal 63.)
Maka kita dapatkan bahwa jawaban Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan ayat terdahulu, "dan
mengikuti jalan selain orang-orang mukmin." (an-Nisa': 115) maka yang
pertama kali masuk ke dalam keumuman ayat ini adalah sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau di dalam hadist ini tidak
mencukupkan dengan kata-katanya, "Mengikuti apa yang saya lakukan..."
padahal pernyataan tersebut pada kenyataannya bagi seorang Muslim yang
benar-benar paham terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah terkadang sudah
cukup, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengaplikasikan firman
Allah dengan aplikasi yang ilmiyah pada haknya bahwasanya beliau,
"Dengan orang-orang mukmin bersikap lemah lembut dan kasih sayang."
(at-Taubah: 128).
Diantara kesempurnaan kelembutan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kasih sayangnya terhadap
para sahabat dan pengikut-pengikutnya, beliau menjelaskan kepada mereka
bahwa ciri golongan yang akan selamat adalah orang-orang dan pengikut
golongan tersebut harus mengikuti apa yang telah dilakukan beliau dan
mengikuti pula apa yang dilakukan para sahabat setelah beliau. Dan atas
dasar itulah, maka tidak boleh bagi seorang Muslim secara umum dan para
da'i secara khusus dalam memahami al-Qur'an dan as-Sunnah hanya
didasarkan kepada sarana-sarana yang sudah dikenal untuk memahami,
seperti pengetahuan tentang bahasa Arab, Nasikh-Mansukh dan yang lainya,
tetapi sebelum itu semua hendaknya kembali kepada apa yang telah
dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena
mereka (sebagaimana telah diketahui dari atsar dan riwayatnya) terbukti
paling ikhlas dalam beribadah terhadap Allah Ta'ala, dan mereka lebih
paham dari kita terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah, dan yang lainnya dari
karakter-karakter terpuji yang merupakan Akhlak dan budi pekerti mereka.
Hadits lain yang (dari sisi kandungan
dan faidahnya) menyerupai hadits ini adalah hadits Khulafa ar-Rasyidin
yang diriwayatkan dalam sunnah-sunnah dari hadits ‘Irbadh bin Sariyah
radhiallahu ‘anhu ia berkata,
وَعَظَنَا رَسُوْلُ الله صلى
الله عليه وسلم موْعِظَةٌ وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ, وَذَرِفَتْ
مِنْهَا الْعُيُوْنُ, فَقُلْنَا: كَأَنَّهَا مَوْعِظَةٌ مُوَدِّعٌ
فَأَوْصِنَا يَا رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَ
الطَّاعَةْ, وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ, وَ إِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَيْ إِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ, وَ سُنَّةِ الْخُلَفآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ,
عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ...
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menasihati kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi takut
dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Sepertinya nasihat itu nasihat
perpisahan, maka wasiatkanlah kepada kami wahai Rasulullah!' Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, "Saya nasihatkan kepada kalian
untuk tetap mendengar dan menaati walaupun yang memimpin kalian adalah
seorang hamba sahaya dari Habsyi. Sesungguhnya barangsiapa yang hidup
dari kalian niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Hendaklah
kalian semua berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Khulafa
ar-Rasyidin setelahku, peganglah sunnah tersebut erat-erat." (
Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 4607, Turmudzi no. 2676, Ibnu Majah
no.44, Darimi juz hal 44,45, Ahmad didalam Musnad juz 4 hal. 126 dan
Imam Albani menshahihkan Sanadnya dalam kitab al-Irwa no. 2455 dan
Dzilalul Jannah no.31 dan 54.)
Dan yang menguatkan dari hadits ini
adalah makna jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas
pertanyaan terdahulu, yang mana beliau menganjurkan umatnya pada
pribadi-pribadi sahabatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya,
kemudian beliau juga tidak mencukupkan hal itu saja melainkan berkata
(sebagai tambahan) "dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin setelahku"
Maka dalam kondisi seperti ini kita
harus selalu mendengung-dengungkan dasar yang pokok ini kalau kita ingin
memahami akidah kita, ibadah kita, serta ingin memahami akhlak dan
karakter kita kepada jalan orang-orang terdahulu kita yang shalih
(Shalafus shalih) untuk memahami semua permasalahan yang penting bagi
seorang Muslim, sehingga dapat tercapai dengan benar bahwa ia termasuk
dari gologan yang selamat.
Dari sini banyak kelompok yang tersesat
baik dahulu ataupun sekarang ketika mereka tidak hati-hati terhadap apa
yang ditunjukkan oleh ayat-ayat terdahulu, dan tidak berhati-hati pula
terhadap maksud hadits-hadits "Khulafa ar-Rasyidin" dan begitu pula
terhadap hadits "perpecahan umat" maka sudah merupakan sesuatu yang
sangat alami apabila mereka berpaling, sebagaimana berpalingnya orang
yang mendahului mereka dari Kitab Allah dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam juga dari jalannya salafus shalih.
Dari sebagian mereka yang berpaling
adalah al-Khawarij dahulu dan yang sekarang. Sesungguhnya yang mendasari
pengkafiran pada zaman ini, (bahkan sejak zaman dahulu) adalah ayat
al-Qur'an yang selalu didengung-dengungkan oleh mereka yaitu firman
Allah Ta'ala, "Dan barang siapa yang tidak menghukumi dengan apa yang
diturunkan Allah (al-Qur'an) maka mereka adalah kafir." (al-Maidah 44)
maka mereka mengambil ayat tersebut tanpa pemahaman yang mendalam dan
menyampaikannya tanpa pengetahuan yang akurat. Kita mengetahui bahwa
ayat ini diulang-ulang serta penutup atau akhir dari ayat tersebut
menggunakan tiga lafadz yaitu, "maka mereka adalah orang kafir."
(al-Maidah 44), "maka mereka adalah orang zalim." (al-Maidah 45), "maka
mereka adalah orang fasik." (al-Maidah 46)
Maka diantara kebodohan orang-orang yang
berhujjah atau berdalil dengan ayat ini dan hanya menggunakan ayat
pertama (maka mereka adalah orang kafir) yaitu mereka belum mendalami
paling tidak sebagian nash-nash syariat (baik al-Qur'an ataupun
as-Sunnah) yang di dalamnya terdapat lafazh "al-kufru", maka mereka
menyimpulkan kalimat "al-kufru" tersebut mengandung makna atau maksudnya
adalah keluar dari agama Islam, dan tidak ada perbedaan antara seorang
Muslim yang terjerumus ke dalam kekufuran, dengan orang-orang musyrikin
dari golongan yahudi dan nasrani, serta para penganut agama lain selain
agama Islam.
Padahal lafazh "al-kufru" dalam bahasa
al-Qur'an dan as-Sunnah tidak selamanya dimaksudkan atau dimaknai dengan
makna yang mereka dengung-dengungkan dan mereka selalu menitikberatkan
pemahaman yang salah ini atas makna tersebut.
Maka kedudukan lafazh "al-kafirun"
(dilihat dari sisi bahasanya lafadz tersebut tidak menunjukan pada satu
makna), sama dengan kedudukan dua lafazh terakhir yaitu lafazh
"adz-dzalimun" dan "al-fasikun", sebagaimana orang yang disifati bahwa
ia zalim atau fasik tidak semestinya orang tersebut dianggap keluar dari
agama-nya. Maka begitu juga halnya dengan orang yang disifati bahwa ia
kafir, tidak ada bedanya (tidak dianggap keluar dari agamanya).
Keragaman makna dari satu lafazh ini adalah yang ditunjukkan oleh
bahasa, kemudian syari'at yang datang dengan bahasa Arab (bahasa
al-Qur'an).
Maka untuk itu setiap orang yang
berusaha untuk mengeluarkan hukum atas kaum Muslimin (baik ia sebagai
pemerintah ataupun rakyat) hendaknya memiliki pengetahuan yang luas
tentang al-Qur'an dan as-Sunnah, dan meniti jalan salafus shalih.
Sedangkan al-Qur'an dan as-Sunnah tidak mungkin keduanya dapat dipahami
(begitu juga yang merupakan bagian dari keduanya) kecuali dengan jalan
memiliki pengetahuan bahasa Arab dan sastranya dengan pengetahuan yang
mendalam.
Apabila seorang pencari ilmu memiliki
kekurangan dalam pengetahuan bahasa Arab, maka yang dapat membantunya
untuk menutupi kekurangan tersebut adalah kembali kepada pemahaman orang
yang sebelumnya dari kalangan para pemimpin dan ulama, khususnya mereka
yang hidup pada tiga zaman yang diakui sebagai zaman yang paling baik.
Marilah kita kembali pada ayat
al-Qur'an, "Dan barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang telah
diturunkan Allah Ta'ala (al-Qur'an) maka mereka adalah kafir."
(al-Maidah 44) Maka apakah yang dimaksud dengan kafir dalam ayat
tersebut ? Apakah maksudnya keluar dari agama? Ataukah yang lainnya?
Saya katakan bahwa dalam memahami ayat
ini harus lebih teliti. Sesungguhnya ayat tersebut terkadang bermaksud
"al-kufru al-‘amali" maksudnya adalah dengan perbuatan tersebut
seseorang telah keluar dari sebagian hukum Islam. Yang membantu kita
dalam pemahaman ini adalah seorang cendikia umat dan penterjemah
al-Qur'an, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, yang sudah disepakati
umat Islam semuanya (kecuali orang yang termasuk ke dalam kelompok yang
sesat) bahwasannya ia satu-satunya imam dalam ilmu tafsir.
Seakan-akan telah dibisikkan pada
pendengarannya saat itu dengan apa yang kita dengar sekarang bahwasanya
ada sekelompok manusia akan memahami ayat ini dengan pemahaman yang
dangkal, tanpa penjelasan secara rinci. Maka beliau berkata, "Bukanlah
kafir sebagaimana yang kamu pahami", dan sesungguhnya yang dimak-sud
dengan kufur tersebut adalah kufur yang tidak mengeluarkan seseorang
dari agama Islam yaitu "kufrun duna kufrin." (Ket: Imam al-Albani
berkata dalam kitab Silsilah Shalihah, juz 6 hal 113,114 hadits no.
2552: Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dalam juz 10 hal 355 no.12053
dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas,"Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah (al-Qur'an) maka mereka
adalah kafir." Ia berkata, "Mereka dengan tindakan atau perbuatan
tersebut menjadi kafir, dan bukan berarti kafir terhadap Allah,
Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya."
Dan dalam riwayat lain dari beliau
tentang ayat ini dikatakan, "Sesungguhnya kufur dalam ayat tersebut
bukan kufur sebagaimana mereka pahami, sesungguhnya kufur dalam ayat
tersebut adalah bukan kufur yang mengeluarkan atau memindahkan seseorang
dari agama Islam, kufrun duna kufrin." Dikeluarkan oleh Hakim juz 2 hal
313, dan ia berkata bahwa sanadnya shahih, dan disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi dan yang semestinya keduanya mengatakan atas yang
disyaratkan oleh syaikhani, sesungguhnya sanadnya begitu juga (shahih).
Kemudian saya melihat al-Hafizh Imam
Ibnu Katsir menukil dalam tafsirnya juz 6 hal 163 dari Imam Hakim
bahwasanya ia (Imam Hakim) berkata, "Shahih berdasarkan syarat
as-Syaikhani," maka yang benar bahwa dalam kitab Mustadrak yang dicetak
terdapat kelemahan kemudian diperkuat oleh Ibnu Katsir juga Imam Abu
Hatim dalam sebagian ringkasan.
Dan dalam riwayat lain darinya (Hakim)
dari riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abas ia berkata,
"Barangsiapa yang menentang apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) maka
ia telah menjadi kafir, dan barangsiapa yang mengakuinya (al-Qur'an)
tetapi ia tidak berhukum dengannya maka ia zalim dan fasik," dikeluarkan
oleh Ibnu Jarir no. 12063. Saya (Imam al-Albani) berkata, "Ibnu Abi
Thalhah tidak mendengar dari Ibnu Abas, tetapi perkataan itu baik untuk
menjadi penguat.")
Jawaban yang singkat dan jelas ini
berasal dari penerjemah al-Qur'an -Abdullah bin Abbas- dalam penafsiran
ayat ini adalah hukum yang tidak mungkin untuk dipahami dengan pemahaman
selainnya dari nash-nash yang telah saya singgung sebelumnya. (Ket:
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam komentarnya atas perkataan Imam
al-Albani, "Syaikh al-Albani berhujjah dengan atsar ini (dari Ibnu Abas
radhiallahu ‘anhu) dan begitu juga lainnya dari kalangan para ulama
menerimanya, sekalipun di dalam sanadnya ada perbincangan, tetapi mereka
menerimanya, karena kebenaran hakikatnya atas banyak nash. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Mencaci orang muslim adalah
fasik dan memeranginya kufur." Dikeluarkan oleh Bukhari no. 48 dan
Muslim no. 64 dari hadits ‘Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu.
Walaupun demikian sesungguhnya memerangi orang Muslim, tidak
mengeluarkan seseorang dari agama Islam didasarkan pada firman Allah,
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya" sampai kepada firman Allah, "Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara maka damaikanlah kedua saudaramu."
(al-Hujurat:10)
Tetapi dengan pemahaman seperti ini
orang-orang yang mengafirkan tidak rela, mereka berkata, "Atsar ini
tidak bisa diterima, dan tidak shahih dari Ibnu ‘Abas." Maka dikatakan
kepada mereka, "Bagaimana mungkin atsar tersebut tidak shahih sedangkan
orang yang lebih senior dari kamu sekalian, lebih utama dan lebih
mengetahui dalam hal hadits telah menerimanya, sementara kalian
mengatakan, ‘Kami tidak menerima.'"
Maka cukuplah bagi kita para pembesar
ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim dan yang lainnya.
Mereka telah menerimanya, membicarakan dan menukilnya, maka atsar
tersebut shahih.
Kemudian anggaplah bahwa permasalahan
(atsar) sebagaimana yang kalian katakan, "Bahwasannya atsar tersebut
tidak shahih dari Ibnu Abas, maka kita memiliki nash-nash lain yang
menunjukkan bahwa lafazh kufur terkadang "mutlak" dan tidak dimaksudkan
dengan yang "mutlak" tersebut kufur yang mengeluarkan seseorang dari
agama Islam, sebagaimana dalam ayat yang disebutkan. Dan sebagaimana
dalam hadits Nabi shalllahu ‘alaihi wasallam,
اِثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌُ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ, وَ النِّيَاحَةُ عَليَ الْمَيِّتِ
"Ada dua hal pada manusia yang dengan
keduanya ia dapat menjadi kufur: mencemarkan nama baik keluarga dan
meratapi kematian seseorang (mayit)" (dikeluarkan oleh Imam Muslim no.
67 dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) hal ini tidak
mengeluarkan seseorang dari agama Islam tanpa diragukan, tetapi
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Albani (semoga Allah menolongnya)
pada awal perkataannya, "Sedikitnya ilmu dan sedikitnya pemahaman
terhadap kaidah-kaidah umum syariat itulah yang telah menyebabkan
kesesatan ini."
Kemudian ada sesuatu yang lain sebagai
tambahan atas hal tersebut yaitu jeleknya keinginan yang mengakibatkan
rusaknya pemahaman. Karena tabiat manusia apabila ia menginginkan
sesuatu, maka pemahamannya harus pindah kepada apa yang ia inginkan.
Kemudian, ia memalingkan nash-nash sesuai keinginan tersebut. Ada satu
kaidah yang terkenal di kalangan para ulama bahwasanya mereka
mengatakan,
اِسْتَدِلْ ثُمَّ اعْتَقِدْ
"Carilah dalil terlebih dahulu kemudian
yakini," jangan meyakini terlebih dahulu kemudian mencari dalil, maka
itu akan membuat kamu tersesat.
Maka yang penting bahwasanya sebab-sebab (kesesatan tersebut) ada tiga, yaitu:
Maka yang penting bahwasanya sebab-sebab (kesesatan tersebut) ada tiga, yaitu:
1. Sedikitnya pengetahuan tentang ilmu syari'at
2. Sedikitnya pemahaman terhadap kaidah-kaidah umum syari'at
3. Jeleknya pemahaman yang didasarkan kepada jeleknya keinginan.)
2. Sedikitnya pemahaman terhadap kaidah-kaidah umum syari'at
3. Jeleknya pemahaman yang didasarkan kepada jeleknya keinginan.)
Kemudian kalimat "al-Kufru" disebutkan
dalam banyak nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits, dan tidak mungkin
(kesemuanya) ditafsirkan bahwa kalimat "al-Kufru" tersebut maksudnya
adalah keluar dari agama Islam. (Ket : Syaikh Ibnu Utsaimin berkata
sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang, "Diantara pemahaman yang
salah adalah perkataan orang yang menganggap Syaikh Ibnu Taimiyah
berkata, "Apabila lafadz "al-Kufru" dalam keadaan muthlak, maka yang
dimaksud adalah kufur besar," dengan perkataan ini ia berdalil atas
pengkafiran yang didasarkan pada ayat (maka mereka adalah kafir) padahal
di dalam ayat tersebut tidak dinyatakan bahwa ini adalah "al-Kufru".
Adapun perkataan yang benar dari
Syaikhul Islam adalah pembedaan beliau rahimahullah antara "al-Kufru"
yang ditambahi alif dan lam (ma'rifat) dan "kufrun" yang tidak ditambahi
alif dan lam (nakirah).
Adapun pensifatan, maka kita boleh
mengatakan: "Mereka adalah kafirun" atau "Mereka adalah al-Kafirun",
berdasarkan atas pensifatan mereka dengan kufur yang tidak mengeluarkan
seseorang dari agama Islam, maka sangat berbeda fi'il yang disifati
dengan fa'il yang disifati. Dan atas dasar itu, sesungguhnya dengan
pentakwilan kita terhadap ayat ini berdasarkan atas apa yang disebutkan,
kita menetapkan bahwasanya menghukumi dengan selain yang diturunkan
Allah (al-Qur'an) bukanlah kufur yang mengeluarkan seseorang dari agama
Islam, tetapi kufur ‘amali, dikarenakan seorang hakim dengan tindakan
tersebut ia telah keluar dari jalan yang benar. Dan tidak dibedakan
dalam hal tersebut antara seseorang yang mengambil undang-undang buatan
manusia dari orang lain kemudian dijadikan hukum di negaranya, dengan
orang yang membuat undang-undang, kemudian menetapkan undang-undang
tersebut atau mengundangkannya. Karena yang terpenting adalah apakah
undang-undang tersebut bertentangan dengan undang-undang samawi
(undang-undang Allah) ataukah tidak.)
Dari sebagian nash-nash hadits tersebut
adalah hadits yang sudah terkenal dalam Bukhari Muslim dari Abdullah bin
Mas'ud radhiallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِم فُسُوْقٌ, وَ قِتَالُهُ كُفْرٌ
"Mencaci maki orang muslim adalah fasik
dan memeranginya adalah kufur" ((Bukhari no. 48, Muslim no.64 dari
hadits ‘Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu).) Maka kufur di sini
adalah maksiat, yang artinya keluar dari ketaatan, tetapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam (beliau sebagai orang yang paling fasih
dalam penjelasannya) sangat keras dalam memberikan larangan, seraya
berkata (dalam hadits tersebut) "Dan memeranginya adalah kufur" dan dari
sisi lain, apakah mungkin bagi kita untuk menafsir-kan bagian pertama
dalam hadits ini (mencaci maki orang Muslim adalah fasik). Dengan makna
fasik yang disebut pada lafazh ketiga dalam ayat terdahulu, ("dan barang
siapa yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan Allah
(al-Qur'an) maka mereka fasik.") (al-Maidah 47).
Jawaban atas pertanyaan ini bahwasannya
fasik disini terkadang muradif (sama maknanya) dengan kufur yang berarti
keluar dari agama Islam, dan terkadang muradif (sama maknanya) dengan
kufur yang tidak berarti keluar dari agama Islam, melainkan maknanya
seperti apa yang dikatakan oleh penterjemah al-Qur'an yaitu "kufrun duna
kufrin" (kufur yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam).
Hadits ini (yang sudah disebutkan, yaitu
mencaci orang Muslim adalah fasik dan memeranginya adalah kufur)
menegaskan bahwa makna kufur terkadang seperti ini, dan makna tersebut
didasarkan kepada firman Allah, "Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika
salah satu dari mereka itu berbuat aniaya terhadap golongan lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah." (al-Hujurat 9).
Allah Ta'ala telah menyebutkan dalam
ayat tersebut golongan yang berbuat aniaya yang memerangi golongan orang
Mukmin yang benar, tetapi walaupun demikian Allah tidak menghukumi
golongan yang berbuat aniaya itu dengan kafir padahal hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, "...Dan memeranginya (orang
muslim) adalah kufur." Jadi memerangi orang Muslim adalah kufur yang
tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam (kufrun duna kufrin),
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dalam penafsiran ayat terdahulu.
Maka memerangi sesama Muslim adalah
kedurhakaan dan pelanggaran, kefasikan, dan kekufuran, tetapi ini
maksudnya adalah bahwa kufur itu ada kufur ‘amali dan ada juga kufur
i'tiqadi (keyakinan atau akidah).
Dari sini datanglah perincian yang
akurat yang diterangkan dan dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
RA dan kemudian diteruskan setelah beliau oleh muridnya yang terpercaya
Ibnu Qayim al-Jauziah, yang mana keduanya memiliki keistimewaan dalam
hal pandangan dan propaganda untuk membagi kufur atas pembagian tersebut
(membagi kufur menjadi dua, yaitu kufur ‘amali dan i'tiqadi), yang
panjinya telah diangkat penterjemah al-Qur'an dengan menggunakan kalimat
yang menyeluruh dan ringkas. Maka Ibnu Taimiyah rahimahullah dan
muridnya juga sahabatnya Ibnu Qayim al-Jauziah selalu mempropagandakan
pembedaan antara kufur "‘amali" dan "i'tiqadi", Apabila tidak dibedakan
niscaya seorang Muslim akan terjerumus dikarenakan tidak tahu pada suatu
fitnah, yaitu keluar dari kelompok atau jama'ah kaum Muslimin, seperti
terjerumusnya kelompok Khawarij pada zaman dahulu dan sebagian
pengikutnya pada zaman sekarang.
Kesimpulan perkataan di atas adalah
bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "dan memeranginya
adalah kufur (orang muslim)." adalah kufur yang tidak dimaksudkan
(secara mutlak) keluar dari agama Islam.
Hadits-hadits dalam masalah ini sangat
banyak, kesemuanya merupakan hujjah atau dalil pembatalan atas mereka
yang berhenti pada pemahamannya yang sempit terhadap ayat terdahulu, dan
mereka berpegang teguh untuk menafsirkan ayat tersebut dengan "kufur
i'tiqadi". Maka cukuplah bagi kita hadits ini, karena hadits ini
merupakan dalil yang Qath'i (pasti) atas bahwasanya orang Muslim yang
memerangi saudaranya yang Muslim adalah kufur dengan makna kufur ‘amali
dan bukan kufur i'tiqadi.
Apabila kita kembali pada kelompok yang
mengafirkan sesama Muslim, atau yang merupakan bagian darinya.
Generalisasi mereka terhadap para penguasa (hakim) dan terlebih lagi
orang yang hidup di bawah panji mereka serta tunduk atas perintah
tugasnya adalah kufur dan murtad. Sesungguhnya hal itu didasarkan pada
sisi penglihatan mereka yang rusak, yang berdasar bahwasanya mereka
(yang dianggap kufur) telah melakukan maksiat, maka mereka
mengkafirkannya berdasarkan hal tersebut (perbuatan maksiat). (Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata: kita memohon kepada Allah kesehatan yang
sempurna.)
Diantara hal yang layak disebutkan dan
diceritakan bahwasanya saya telah bertemu dengan sebagian mereka yang
termasuk dari kelompok yang mengkafirkan sesama Muslim, kemudian mereka
diberikan hidayah oleh Allah Ta'ala. Maka saya katakan kepada mereka,
"Kalian telah mengkafirkan para penguasa maka bagaimana mungkin kalian
mengkafirkan para imam masjid, khatib masjid, mu'adzin masjid dan
penjaga masjid? Dan bagaimana kalian mengkafirkan pengajar ilmu syari'at
di sekolah-sekolah dan yang lainnya?"
Mereka menjawab, "Karena mereka telah
rela dengan hukum para penguasa yang telah menghukumi dengan hukum
selain yang telah diturunkan Allah (al-Qur'an)."
Maka saya katakan, "Apabila kerelaan
atau keridhaan ini merupakan kerelaan hati terhadap hukum dengan selain
al-Qur'an, maka ketika kufur amali berubah menjadi kufur I'tiqadi, maka
siapa pun dari para hakim yang menghukumi dengan selain yang diturun-kan
Allah (al-Qur'an) dan ia melihat serta meyakini bahwa hukum ini (selain
al-Qur'an) adalah hukum yang layak untuk dipakai pada zaman ini, dan ia
meyakini pula bahwasanya pada zaman ini tidak layak untuk memakai hukum
syari'at yang telah tertulis dalam al-Qur'an dan as-Sunah, maka tidak
diragukan lagi bahwa hakim ini status kufurnya adalah kufur i'tiqadi,
bukan hanya kufur ‘amali saja. Barangsiapa yang meridhai dan merelakan
keyakinannya serta keridhaannya (hakim tersebut terhadap hukum selain
al-Qur'an) maka ia digolongkan kepadanya." (Imam Albani berkata ada
komentarnya: kemudian mereka orang-orang "murji'ah" modern menjuluki
kita dengan kebatilan.)
Kemudian saya katakan kepada mereka,
"Kalian -pertama-tama- tidak dapat menetapkan setiap hakim yang
menghukumi dengan undang-undang Barat yang kafir atau dengan
kebanyakannya, bahwasanya apabila ditanya tentang menghukumi dengan
selain apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an)? Niscaya ia akan menjawab,
"Bahwasanya menghukumi dengan undang-undang ini (undang-undang Barat)
adalah yang benar dan yang layak pada zaman sekarang, dan bahwasanya
tidak boleh menghukumi dengan al-Islam (hukum Islam), karena mereka
apabila mengatakan hal tersebut niscaya mereka telah menjadi kafir
(kafir yang sebenarnya) tanpa diragukan lagi."
Maka apabila kita berpindah kepada yang
dihukumi (al-Mahkumun) dan di dalamnya terdapat para ulama, orang-orang
saleh, serta yang lainnya, bagaimana kalian menghukumi mereka dengan
kufur hanya karena mereka hidup di bawah hukum yang mencakup diri mereka
sebagaimana hukum tersebut juga mencakup diri kalian? Tetapi kalian
mengumumkan bahwasanya mereka adalah kafir dan murtad, padahal
menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) adalah wajib.
Kemudian, kalian berkata sebagai permohonan maaf bagi diri kalian bahwa
sesungguhnya menyalahi hukum syari'at hanya dengan perbuatan tidak
berarti harus menghukumi pelakunya bahwa ia murtad atau keluar dari
agamanya. Dan ini sama persis dengan apa yang dikatakan kalian, hanya
bedanya kalian me-nambahkan atas mereka menghukumi dengan kufur dan
murtad.
Diantara permasalahan yang memperjelas
kesalahan dan kesesatan mereka, hendaklah ditanyakan pada mereka,
"Kapankah menghukumi seorang Muslim yang mengucapkan dua kalimah
syahadah bahwasanya ia murtad dan meninggalkan agamanya (padahal ia
shalat)? Apakah cukup satu kali ataukah ia harus mengikrarkan bahwa
dirinya murtad atau keluar dari agamanya?"
Sesungguhnya mereka tidak akan pernah
tahu jawabannya, dan mereka tidak mendapat petunjuk kebenaran, maka kami
terpaksa memberikan kepada mereka contoh berikut, maka kami katakan,
"Seorang hakim menghukumi dengan syari'at Islam, begitulah kebiasaan dan
aturannya, tetapi dalam suatu hukum ia melakukan kesalahan, ia
menghukumi dengan selain syariat Islam. Yakni, ia memberikan hak kepada
yang zalim dan mengharamkannya atas yang dizalimi, maka sudah pasti ini
adalah hukum dengan selain yang diturunkan Allah (al-Qur'an)? Apakah
kalian akan mengatakan bahwasanya ia telah berbuat kufur yang
mengeluarkannya dari aga-ma Islam (murtad)?"
Mereka pasti akan menjawab, "Tidak, karena hal ini ia lakukan hanya satu kali."
Maka kami katakan, "Apabila ia
mengeluarkan hukum yang sama untuk kedua kalinya, atau menghukumi yang
lainnya dan menyalahi syari'at Islam juga, apakah ia kufur? Kemudian
kami mengulanginya pada mereka: tiga kali, empat kali, kapankah kalian
mengatakan bahwasanya ia kufur? Mereka tidak bisa menetapkan batasan
dengan banyaknya hukum menyalahi syari'at Islam, kemudian mereka tidak
mengkafirkannya dengan kesalahan-kesalahan dalam hukum tersebut.
Pada suatu saat mereka bisa melakukan
yang sebaiknya (menetapkan hakim sebagai kafir), apabila ia mengetahui
dari hakim tersebut bahwa pada hukum yang pertama ia menganggap baik
terhadap hukum dengan selain al-Qur'an (menghalalkannya) dan menganggap
jelek terhadap hukum syari'at Islam, maka ketika itu menghukuminya
(hakim) dengan murtad adalah benar, sejak dari pertama.
Dan kebalikan dari itu, apabila kita
mendapatkan dari hakim tersebut sepuluh hukum atau ketetapan, dalam
permasalahan yang berbeda, yang mana permasalahan tersebut ia (hakim)
menyalahi syari'at Islam. Jika kita tanyakan kepadanya, "Mengapa kamu
menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah Ta'ala (al-Qur'an)?"
Kemudian ia menjawab, "Saya takut atas diri saya, atau saya disogok
misalnya." Maka ini lebih jelek dari yang pertama, tetapi walaupun
demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa ia kafir, sehingga ia
mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya bahwa ia tidak melihat hukum
dengan apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an), maka hanya ketika itu
saja kita dapat mengatakan bahwasanya ia adalah kafir, keluar dari agama
Islam.
Kesimpulan pembicaraan ini adalah harus
diketahui bahwasannya kufur itu seperti fasik dan zalim kesemuanya
terbagi menjadi dua bagian:
* Kufur, fasik, dan zalim yang
mengeluarkan seseorang dari agama Islam, dan semua itu kembali kepada
penghalalan atau pembo-lehan yang diyakini oleh hati.
* Kufur, fasik, dan zalim yang tidak
mengeluarkan sesorang dari agama Islam, hal ini kembali kepada
penghalalan atau pembolehan perbuatan
Maka setiap kemaksiatan khususnya yang
menyebar pada zaman sekarang berupa pembolehan untuk berbuat riba, zina,
minum arak, dan yang lainnya, semuanya itu termasuk kufur ‘amali. Maka
kita tidak boleh mengafirkan orang-orang yang bermaksiat yang melakukan
suatu kemaksiatan hanya dikarenakan mereka telah melakukan kemaksiatan
dan membolehkannya secara perbuatan atau ‘amali, kecuali apabila nampak
secara jelas dan yakin bagi kita terhadap mereka, dengan keyakinan yang
membukakan bagi kita apa yang terdapat di lubuk hatinya bahwa mereka
tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya secara
keyakinan. Maka apabila kita mengetahui bahwa mereka melakukan
penyim-pangan atau kemaksiatan ini secara hati atau keyakinan, kita
hukumi ketika itu bahwa mereka telah kufur dengan kufur yang
menyebab-kan mereka keluar dari agama Islam (murtad).
Adapun jika kita tidak mengetahui hal
tersebut, maka kita tidak boleh menghukumi mereka dengan mengkafirkan
mereka karena kita takut terjerumus ke dalam kelompok orang yang berada
di bawah ancaman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
"Apabila seorang Muslim berkata pada
saudaranya, ‘Hai kafir!' maka salah satunya dinyatakan kafir".
(dikeluarkan oleh Bukhari No. 6103 dan 6104, dan oleh Imam Muslim No.
158.)
Hadits-hadits yang datang yang semakna
dengan ini banyak sekali, saya sebutkan di antaranya hadits yang
memiliki isyarat yang besar yaitu dalam cerita seorang sahabat (yakni
Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu) yang memerangi salah seorang kaum
musyrikin. Ketika orang musyrik tersebut menyadari bahwa ia berada di
bawah ancaman pedang seorang muslim yang berstatus sahabat, ia berkata,
"Asyhadu allaillahaillallah" maka sahabat itu tidak menghiraukannya dan
kemudian membunuhnya. Ketika kabar tersebut sampai kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau meng-ingkari perbuatan sahabat
tersebut dengan pengingkaran yang sangat. Sahabat pun memberikan alasan
bahwa orang musyrik tersebut tidaklah ia mengucapkan kalimat syahadat
kecuali karena takut dibunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, "Mengapa kamu tidak belah saja hatinya (sehingga tahu apa yang
ada di dalamnya)?" (Ket : dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 4269 dan
oleh Imam Musim No. 96 dari hadist Usamah Bin Zaid y ia berkata,
"Rasulullah mengutus kami kepada sekelompok manusia dari kaum Juhainah
yang disebut dengan al-Hurkot Ia berkata, ‘Saya datang kepada salah
seorang dari mereka kemudian saya mencoba untuk menusuknya, maka orang
tersebut mengucapkan kalimat "Lailahaillalloh" tapi saya tetap
menusuknya kemudian membunuhnya. saya datang kepada Nabi Saw dan
mengabarkan peristiwa tersebut kepadanya, maka beliau berkata, ‘Kamu
membunuhnya padahal ia telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?"
Saya menjawab. ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia melakukan hal itu hanya
untuk menyelamatkan diri (supaya tidak dibunuh).' Beliau menjawab,
"Mengapa kamu tidak belah saja hatinya sehingga tahu apa yang ada di
dalamnya." Dalam riwayat Imam Bukhari Rasulullah a bersabda, "Ya Usamah,
apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimah
‘Laillahaillalloh'?" Saya menjawab, ‘Ia mengucapkan kalimah tersebut
hanya untuk menyelamatkan diri.' Maka beliau masih tetap mengulangi
kata-katanya sehingga saya berharap kalau sebelum hari itu saya belum
masuk Islam.)
Jadi, kufur i'tiqadi tidak ada
keterkaitan yang mendasar dengan sekedar perbuatan (Ket : Imam al-Albani
berkata sebagai komentar, "Dan dari sebagian perbuatan ada perbuatan
yang menyebabkan pelakunya menjadi kufur dengan kufur I'tiqadi, karena
perbuatan tersebut menunjukan atas kekufurannya dengan isyarat atau
petunjuk yang pasti dan yakin, yang mana perbuatannya ini menempati
posisi ungkapannya dengan menggunakan lisan tentang kekufurannya,
seperti halnya orang yang menginjak al-Qur'an, padahal ia tahu bahwa itu
al-Qur'an dan ia menginjaknya dengan sengaja.) namun memiliki
keterkaitan yang mendasar dengan hati.
Kita tidak mengetahui apa yang ada dalam
hati orang fasik, pendusta, pencuri, pezina, lintah darat, dan yang
lainnya kecuali apabila mereka mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.
Adapun perbuatannya telah menyalahi syari'at dalam hal perbuatan.
Kita hanya bisa berkata, "Sesungguhnya
kamu telah melanggar, kamu telah berbuat fasik, kamu telah berbuat
bohong, tetapi kita tidak layak mengatakan sesungguhnya kamu telah
kufur, kamu telah murtad, atau keluar dari agama kamu, sehingga muncul
darinya sesuatu yang bisa kita jadikan hujjah atau alasan di hadapan
Allah Ta'ala untuk menghukumi dia dengan murtad. Kemudian datang
kepadanya hukum yang telah dikenal dalam Islam, yaitu sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, "Barangsiapa yang mengganti agamanya maka
bunuhlah." (dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3017 dari hadist Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhu)
Kemudian saya katakan dan masih terus
saya katakan kepada mereka yang mendengungkan kekafiran terhadap para
hakim yang beragama Islam, anggaplah bahwasanya para hakim adalah kufur
dengan kekufuran yang mengeluarkan mereka dari agama Islam (murtad), dan
anggaplah pula di sana ada hakim yang lebih tinggi dari mereka (yang
dianggap kufur), maka yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini
hendaklah hakim yang lebih tinggi ini menerapkan hukuman pada mereka.
Tetapi sekarang, faidah apa yang kalian
ambil atau kalian dapatkan dari sisi amaliyah apabila kami menerima
-bantahan- yang menyatakan bahwasanya para hakim adalah kufur dengan
kekufuran yang mengeluarkan mereka dari agama Islam (murtad)?
Kemungkinan apa yang akan kalian lakukan atau perbuat?.
Apabila mereka menjawab, "Wala' menaati dan Bara' menentang."
Maka kami katakan, "Sikap menaati dan
menentang sangat berkaitan dengan Loyalitas dan penentang yang bersifat
hati, serta perbuatan sesuai dengan kemampuan. Maka untuk keberadaan
keduanya (keta-atan dan penentangan) tidak disyaratkan adanya ungkapan
dan pernyataan kafir atau murtad (terhadap hakim tadi). Bahkan ketaatan
dan penentangan terkadang muncul atau dilakukan terhadap orang yang
berbuat bid'ah, maksiat atau berbuat zalim.
Kemudian saya katakan kepada mereka,
"Itulah mereka orang-orang kafir yang telah mencaplok atau mengambil
alih banyak daerah dari negeri Islam. Kita sangat sayangkan telah
diambil alihnya sebagian negeri Palestina oleh yahudi. Maka apa yang
dapat kami dan kalian lakukan terhadap mereka? Sehingga kalian bisa
meng-ambil sikap sendiri untuk menentang para hakim yang kalian anggap
bahwa mereka adalah kufur."(Ket : Syaikh Ibnu Utsaimin Hafizhahullah
berkata, "Perkatan ini baik, bahwa mereka yang menghukumi para penguasa
dengan pernyataan bahwa mereka adalah kufur, faidah apa yang mereka
dapatkan apabila mereka menghukumi para penguasa tersebut dengan
keku-furan? Apakah mereka mampu menghilangkannya? "Tidak." Mereka tidak
akan mampu menghilangkannya. Apabila yahudi telah mengambil alih
Palestina selama 50 tahun, tapi ternyata umat Islam semuanya baik bangsa
Arab ataupun bukan tidak mampu mengusir mereka dari tempatnya. Maka
bagaimana kita akan pergi sementara kita menguasakan lidah kita kepada
para penguasa yang menghukumi kita? Dan kita tahu bahwa kita tidak bisa
menghilangkannya, dan bahwasannya darah akan ditumpahkan, harta-harta
akan dihalal-kan, dan barangkali harga diri pun akan dihalalkan dan kita
tidak bisa mendapatkan suatu hasil.
Jadi, apa faidahnya? Sehingga walaupun
ada orang yang meyakini dalam hatinya bahwa di antara para hakim itu ada
yang kufur dengan kekufuran yang mengeluarkan dia dari agama Islam,
maka tidak ada faidahnya mempublikasikan dan menyebarkannya kecuali
hanya akan melahirkan fitnah-fitnah.
Perkataan Syekh Imam Albani ini sangat baik.
Tapi kami berbeda pendapat dengannya
dalam masalah, "Bahwasannya beliau tidak menghukumi mereka dengan
kekufuran kecuali apabila mereka (para hakim) meyakini hal itu (meyakini
bolehnya berhukum dengan selain syari'at Allah)," masalah ini
membutuhkan analisa atau pengamatan.
Imam al-Albani mengomentari, "Saya tidak
melihat adanya kemungkinan untuk perbedaan pendapat ini, karena
sesungguhnya saya mengatakan. ‘Apabila seorang manusia (walaupun ia
bukan seorang hakim) melihat atau meyakini bahwa hukum selain hukum
Islam adalah lebih utama dari hukum Islam (walaupun pada prakteknya ia
menghukumi dengan Islam) maka ia adalah kafir. Jadi, sebenarnya tidak
ada perbedaan karena dasarnya secara asal dikembalikan kepada apa yang
ada di dalam hati. Karena kami mengatakan barangsiapa yang menghukumi
dengan hukum Allah, dan ia meyakini bahwasannya hukum selain hukum Allah
adalah lebih utama maka ia kafir (walaupun pada prakteknya ia
menghukumi dengan hukum Allah), dan kekufurannya adalah kufur akidah,
tapi perkataan kami yang ada dalam hati. Selebihnya perkataan Utsaimin
Dalam perkiraan saya bahwa seseorang
tidak mungkin menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan syari'at
Islam kemudian menghukumi hamba Allah dengannya, kecuali ia
menganggapnya boleh dan ia meyakini bahwa undang-undang tersebut (yang
berten-tangan dengan syari'at Allah) lebih baik dari undang-undang
syari'at Islam, maka ia kafir. Ini adalah jelas. Apabila tidak demikian
(tidak meyakini) maka apakah yang telah membawa ia kepada hal itu
(menerapkan undang-undang selain syariat Islam?)"
Terkadang yang menyebabkan ia berhukum
kepada hukum selain Allah adalah perasaan takut kepada manusia yang lain
yang lebih kuat apabila ia tidak menerapkannya. Maka di sini terdapat
unsur menjilat atau mengambil muka terhadap mereka (yang ditakuti). Kami
katakan kepada mereka bahwasanya ini sama dengan menjilat atau
mengambil muka pada perbuatan maksiat yang lainnya.
Dan yang paling penting dalam
permasalahan ini adalah masalah pengkafiran yang menimbulkan perbuatan
atau amal, yaitu tindakan menentang terhadap para pemimpin atau imam,
ini adalah permasalahan yang rumit dan pelik.
Betul, apabila manusia memiliki kekuatan atau kemampuan, ia mampu membersihkan setiap hakim yang kafir yang memiliki kekuasaan atas kaum Muslimin. Niscaya ini akan kita sambut dan sebaik-baiknya keadaan. Apabila kufurnya itu kufur yang nyata dan kita memiliki dalil yang jelas dari Allah r tetapi permasalahannya bukan seperti ini, dan ini bukan permasalahan yang remeh atau ringan).)
Betul, apabila manusia memiliki kekuatan atau kemampuan, ia mampu membersihkan setiap hakim yang kafir yang memiliki kekuasaan atas kaum Muslimin. Niscaya ini akan kita sambut dan sebaik-baiknya keadaan. Apabila kufurnya itu kufur yang nyata dan kita memiliki dalil yang jelas dari Allah r tetapi permasalahannya bukan seperti ini, dan ini bukan permasalahan yang remeh atau ringan).)
Kenapa tidak anda tinggalkan saja
permasalahan ini, dan anda mulai membuat kaidah yang ditetapkan di
atasnya kriteria pemerintahan Islam. Hal ini dilakukan dengan mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dijadikan dasar
untuk membina para sahabat, dan menumbuhkan mereka berdasarkan pada
aturan dan dasar-dasarnya.
Hal ini saya sebutkan berulang-ulang dan
saya tegaskan berkali-kali bahwa setiap kelompok Islam harus bekerja
dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan hukum Islam, bukan saja di
negara Islam bahkan di semua belahan bumi, yang demikian ini adalah
untuk mengaplikasikan firman Allah Ta'ala, "Dialah Allah yang telah
mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang hak untuk mengalahkan
semua agama walaupun orang musyrik membencinya." (at-Taubah: 33 dan
ash-Shaf: 9) telah dijelaskan dalam sebagian hadits yang memberikan
kabar gembira bahwasanya ayat ini akan terealisasi dikemudian hari. (Ket
: Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah i. Ia berkata,
"Saya mendengar Rasullulah a bersabda, ‘Tidaklah malam dan siang itu
pergi sehingga disembah latta dan uzza.' Saya berkata, "Wahai
Rasulullah, sungguh saya mengira ketika Allah menurunkan ayat, "Dialah
Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang hak
untuk mengalahkan semua agama walaupun orang musyrik membencinya"
..bahwasanya itu sudah sempurna". Rasulullah a menjawab,"Sesungguhnya
hal itu akan terjadi dengan kehendak Allah, kemudian Allah mengutus
angin yang baik, maka wafatlah semua orang yang memiliki keimanan
walaupun sebesar biji sawi, dan yang tersisa orang-orang yang tidak
memiliki kebaikan, maka mereka kembali kepada agama nenek moyangnya."
Dikeluarkan oleh Imam Muslim No 2907).)
Agar kaum Muslimin mampu merealisasikan
nash al-Qur'an dan janji Ilahi ini, maka harus ada jalan yang jelas dan
metode yang nyata, maka apakah metode itu dengan mengumumkan revolusi
terhadap para hakim yang dianggap oleh mereka bahwa kekufuran-nya itu
kufur yang mengeluarkan mereka dari agama Islam (murtad)? Kemudian,
bersamaan dengan anggapan mereka yang salah ini mereka tidak mampu
berbuat apa-apa. (Ket : Syekh Ibnu Utsaimin telah ditanya tentang
syubhat (keragu-raguan) berikut yaitu bahwa di sana terdapat syubhat di
kalangan para pemuda yang telah menguasai pemikiran mereka, dan
mengakibatkan mereka menentang para hakim yaitu bahwasanya para hakim
yang menggantikan (hukum syari'at), mereka menerapkan undang-undang
buatan manusia dari dirinya sendiri, dan mereka (para hakim) tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an), maka para pemuda
tersebut menghukumi para hakim dengan kufur dan murtad, dan berdasarkan
itu mereka membuat pernyataan, "Bahwasanya para hakim selama mereka
dalam keadaan kafir wajib diperangi, dan tidak memperdulikan kondisi
lemah, sebab kondisi atau alasan lemah telah dihapus, sebagaimana mereka
berdalil dengan ayat Saef (pedang) yaitu firman Allah, "Apabila sudah
habis bulan-bulan haram itu maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu
dimana saja kamu jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka
dan intailah mereka di tempat-tempat pengintaian jika mereka bertaubat
dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada
mereka untuk berjalan sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha
Penyayang." (at-Taubah: 5), maka tidak ada alasan untuk mengamalkan
kondisi lemah, sebagaimana yang telah dialami oleh kaum Muslimin ketika
di Mekkah.
Maka Syekh Utsaimin menjawab syubhat
ini, dengan menyatakan, "Kita mesti mengetahui terlebih dahulu apakah
pensifatan murtad itu tepat atau tidak terhadap mereka? Dan ini
membutuhkan pengetahuan tentang dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
perkataan atau perbuatan ini adalah murtad, kemudian menerapkannya pada
orang tertentu, apakah ia memiliki syubhat ataukah tidak? maksudnya
terkadang nash al-Qur'an telah menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah
kufur dan perkataan ini adalah kufur, tetapi disana terdapat penghalang
yang menghalangi penerapan hukum kufur ini terhadap orang tertentu.
Adapun penghalang-penghalang itu banyak di antaranya perkiraan (yaitu
kebodohan) dan di antaranya juga kekalahan atau keterpaksaan.
Maka seorang laki-laki yang mengatakan
kepada keluarganya, "Apabila aku mati maka bakarlah aku dan tebarkanlah
abunya di laut. Sesungguhnya apabila Allah berkuasa atasku, niscaya
Allah akan mengadzabku dengan azdab yang tidak pernah diberikan kepada
seorang pun dari makhluk-Nya (dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3291 dan
oleh Imam Muslim No. 2757) dari Abu Said Al Hudri radhiallahu ‘anhu)
laki-laki ini secara dzahir akidahnya kufur dan keraguan terhadap
kekuasaan Allah, tetapi ketika Allah mengumpulkannya dan berkata
kepadanya, ia (laki-laki tersebut) mengatakan,"Ya Allah, sesungguhnya
saya takut kepada Engkau" atau kalimat lain yang senada, sehingga Allah
megampuninya. Maka perbuatan ini menjadi takwil (tafsir) darinya yakni
ia tidak bermaksud seperti itu dan tidak menghendakinya.
Dan contoh lain yang sama dengan kisah
atau cerita laki-laki tersebut adalah seseorang yang sedang merasakan
luapan kebahagiaan, kemudian ia mengambil untanya sambil berkata, "Ya
Allah, Engkaulah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu (dikeluarkan oleh Imam
Bukhari No. 6309 dan Imam Muslim No. 2747 dari Anas Bin Malik
radhiallahu ‘anhu).
Ini adalah perkataan kufur, tetapi orang
yang mengatakannya tidak kufur, karena ia telah dikalahkan (oleh
perasaan bahagia), maka dikarenakan perasaan bahagia yang sangat ia
menjadi salah, sebenarnya ia menghendaki untuk berkata, "Ya Allah,
Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu" tetapi ia malah berkata, "Ya
Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu."
Dan contoh lain adalah orang yang
dipaksa untuk mengatakan perkataan kufur kemudian ia mengatakannya atau
dipaksa melakukan perbuatan kufur, tetapi ia tidak kufur dengan dasar
nash al-Qur'an, "Barangsiapa yang kufur kepada Allah sesudah ia beriman
(akan mendapatkan murka dari Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (tidak berdosa)." (an-Nahl:
106) dikarenakan ia tidak menghendakinya dan bukan atas kehendak sendiri
dan para hakim kita mengetahui bahwasanya mereka dalam masalah
syakhsiah seperti nikah, fara'id (warisan), dan yang lainnya mereka
menghukumi dengan apa yang telah ditunjukkan oleh al-Qur'an sesuai
dengan perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab.
Adapun dalam masalah hukum yang
berkaitan dengan hubungan manusia, maka mereka berbeda dan mereka
memiliki syubhat yang diajarkan kepada mereka oleh ulama Su' yang
dikeluarkan oleh sebagian ulama yang jahat, mereka berkata: sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "kamu sekalian lebih
mengetahui tentang urusan duniamu". (dikeluarkan oleh Imam Muslim No.
2362 dari Rofi' Bin Khadij radhiallahu ‘anhu) ini sifatnya umum, maka
setiap yang termasuk urusan dunia kita memiliki kebebasan di dalamnya,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أنْتُمْ أعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
"Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian."
Ini tidak diragukan lagi sebagai
syubhat. Tetapi apakah hadits tersebut mengizinkan mereka untuk keluar
dari undang-undang Islam dalam menetapkan hudud, dan mencegah arak
(minuman keras) dan yang lainnya?.
Seandainya mereka memiliki syubhat dalam permasalahan ekonomi, maka sesung-guhnya hal ini tidak ada syubhat di dalamnya. Adapun permasalahan atau kesulitan yang dilontarkan, maka Allah telah berfirman di dalamnya apabila Allah Ta'ala setelah mewajibkan berperang, Ia berfirman, yang artinya, "Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka akan dapat mengalahkan duaratus orang musuh dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu niscaya mereka dapat mengalahkan seribu dari orang-orang kafir disebabkan orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (al-Anfal: 65), maka berapakah mereka? Satu berbanding sepuluh.
Seandainya mereka memiliki syubhat dalam permasalahan ekonomi, maka sesung-guhnya hal ini tidak ada syubhat di dalamnya. Adapun permasalahan atau kesulitan yang dilontarkan, maka Allah telah berfirman di dalamnya apabila Allah Ta'ala setelah mewajibkan berperang, Ia berfirman, yang artinya, "Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka akan dapat mengalahkan duaratus orang musuh dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu niscaya mereka dapat mengalahkan seribu dari orang-orang kafir disebabkan orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (al-Anfal: 65), maka berapakah mereka? Satu berbanding sepuluh.
Kemudian Allah berfirman, yang artinya,
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang
sabar niscaya mereka dapat mengalahkan duaratus orang, dan jika di
antarmu ada seribu orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalahkan
duaribu orang dengan seizin Allah dan Allah beserta orang-orang yang
sabar." (Al Anfal 66) dan sebagian ulama berkata sesungguhnya ayat
tersebut dalam kondisi lemah, dan setiap hukum selalu berkaitan dengan
sebabnya, maka setelah Allah Ta'ala mewajibkan kepada mereka untuk
bersabar dalam kondisi satu berbanding sepuluh, Allah berfirman, yang
artinya, "Sekarang Allah meringankan atas kamu sekalian dan Allah
mengetahui bahwasannya di antara kamu sekalian ada kelemahan." Kemudian
kami katakan sesungguhnya kita memiliki nash-nash yang pasti yang
menjelaskan permasalahan ini dan menerangkannya. Di antaranya firman
Allah, yang artinya, "Allah tidak membebani sesorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya." (al-Baqarah: 286) maka Allah Ta'ala tidak
membebani seseorang kecualì sesuai dengan kemampuanya dan
kesanggupannya. Seandainya penentangan kepada penguasa tersebut wajid,
maka hal itu tidak wajid atas kita ketika kita tidak kuasa senantiasa
menghembuskan (hal-hal jelek) kepada pemiliknya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.